Kristus Menghancurkan Tembok Pemisah

Khotbah Minggu ke-7 sesudah Trinitatis

Kebaktian 18.00 WIB, HKBP Pulomas

Efesus 2:11-22

Saudara-saudara terkasih dalam Kristus,

Menurut sebuah berita, “Polda Metro Jaya mengatakan bahwa pada bulan Ramadan angka kriminalitas justru lebih meningkat.  Menurut Kepala Biro Operasi Polda Metro Jaya Kombes Agung Budi Maryoto, jenis kejahatan yang sering terjadi pada bulan Ramadhan seperti pencurian dengan kekerasan, pencurian dengan pemberatan, dan hipnotis. Mereka juga mengimbau kepada masyarakat agar tidak mengenakan barang berharga seperti perhiasan emas di tempat keramaian pada bulan Ramadan. Karena itu untuk mengantisipasinya, Kombes Maryoto mengatakan,  “Jika ada yang ingin meninggalkan rumah untuk waktu lama atau mudik diusahakan mengunci rumah dengan benar.”

Memang di tengah angka kejahatan yang meningkat, kita harus waspada. Minggu lalu, tepat pada hari Minggu, rumah orangtua saya di Duren Sawit juga dimasuki oleh maling. Sekitar pukul 16.00, ada orang yang memotong gembok gerbang rumah dengan pemotong besi, lalu membuka pintu depan dengan linggis. Sepertinya mereka juga tahu kalau kami semua biasanya gereja pada hari minggu. Kebetulan pada hari itu adik saya perempuan sedang berada di rumah. Curiga karena mendengar suara pintu terbuka dengan keras, dia memanggil nama saya sambil mengintip dari atas. Orang yang masuk ke rumah langsung berjalan keluar. Adik saya mengunci diri dalam kamar sambil menelepon beberapa orang terdekat di sekitar rumah kami. Puji Tuhan, orang itu tidak mengambil apa-apa meskipun semua barang sudah terletak di atas tempat tidur kami. Efek sesudah percobaan pencurian ini lebih luar biasa menimpa keluarga kami. Mungkin sama seperti orang yang pernah mengalami hal serupa. Dari dua kunci yang dipakai minggu lalu untuk membuka rumah, sekarang ada 5 kunci untuk masuk ke rumah, termasuk pintu teralis yang ditambah di pintu depan rumah.

Kami sekarang membangun tembok yang memisahkan kami dari dunia luar. Hal ini memang sangat berbeda dengan konsep rumah ketika saya tinggal di Belanda. Di sana, konsep rumah memang terbuka, dengan pintu yang langsung berhadapan dengan jalan raya. Namun, ada satu ironi, dengan konsep rumah terbuka, mereka jarang bicara dengan tetangga. Tapi di sini, dengan pagar menjulang tinggi sampai sinar matahari pun terhalang pagar, kita justru sering bicara dengan tetangga. Ketika saya kembali ke sini, saya melihat pagar rumah semakin menjulang tinggi, ada yang menggunakan kawat besi berduri di atas pagar setinggi 2 meter, dengan tulisan “welcome”. Lain lagi dengan cerita teman saya yang menghabiskan masa kecilnya di balik tembok rumahnya. Kebetulan dia memang dibesarkan dalam lingkungan orang berada, dia sering ingin main dengan temannya di luar, tapi tidak bisa. Dia sering berkhayal seandainya orangtuanya tidak punya uang sehingga dia boleh main dengan teman-temannya. Pertanyaannya, apakah pagar tinggi dibangun untuk menjadi tembok pemisah dunia dengan kita atau memisahkan kita dengan dunia?

Saudara-saudara terkasih,

Hari ini kita akan bicara soal tembok pemisah.  Ketika Rasul Paulus menulis surat kepada jemaat Efesus, mereka sedang menghadapi perpecahan karena adanya dua kelompok Jemaat, Jemaat orang Yahudi, dan non Yahudi. Bagi Jemaat Kristen yang baru ini, perbedaan antara asal usul ternyata berpengaruh. Orang Yahudi merasa bahwa dirinya adalah pilihan Tuhan. Mereka merasa bahwa sebagai bangsa terpilih, status mereka di dalam Jemaat haruslah berbeda daripada Jemaat non Yahudi. Bangsa Israel sudah lama merasa bahwa hanya merekalah  bangsa yang dipilih Tuhan.

Karena perasaan spesial ini, bangsa Israel selalu beribadah dengan berkata, “hai bangsa-bangsa,” yang menunjuk kepada orang lain di luar Yahudi. Misalnya,

Mzm. 7:8 “Biarlah bangsa-bangsa berkumpul mengelilingi Engkau, dan bertakhtalah di atas mereka di tempat yang tinggi.”

Mzm. 45:18 ”Aku mau memasyhurkan namamu turun-temurun; sebab itu bangsa-bangsa akan bersyukur kepadamu untuk seterusnya dan selamanya.”

Mzm. 49:2 “Dengarlah, hai bangsa-bangsa sekalian, pasanglah telinga, hai semua penduduk dunia,”

Mzm. 66:8 “Pujilah Allah kami, hai bangsa-bangsa, dan perdengarkanlah puji-pujian kepada-Nya!”

Mzm. 79:1 “Ya Allah, bangsa-bangsa lain telah masuk ke dalam tanah milik-Mu, menajiskan bait kudus-Mu, membuat Yerusalem menjadi timbunan puing.”

Ketika perkataan “hai bangsa-bangsa” ini dikatakan dalam ibadah, Sinagoge, atau tempat beribadah, maka hal ini memang dikatakan kepada orang-orang yang berada di luar tembok bait Allah. Dalam masa itu, bait Allah penuh dengan tembok yang memisahkan banyak bagian dalam bait Allah, terutama tembok untuk memisahkan bangsa Israel dari bangsa-bangsa lain. Di tembok-tembok ini ada peringatan bahwa orang non Yahudi tidak boleh masuk ke ruang dalam, dengan peringatan bahwa yang masuk akan dihukum mati.

Paulus mengingatkan situasi ini kepada Jemaat di Efesus. Bahwa pada suatu waktu, Jemaat di Efesus pernah dipisahkan oleh tanda sunat, dan tembok pun dibangun karena perbedaan ini. “2:11. Karena itu ingatlah, bahwa dahulu kamu–sebagai orang-orang bukan Yahudi menurut daging, yang disebut orang-orang tak bersunat oleh mereka yang menamakan dirinya “sunat”, yaitu sunat lahiriah yang dikerjakan oleh tangan manusia, — 2:12 bahwa waktu itu kamu tanpa Kristus, tidak termasuk kewargaan Israel dan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan, tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia.” Artinya ketika tembok itu ada, bangsa non Yahudi ada di luar keselamatan, dan di luar hadirat allah.

Namun, surat Paulus ini tidak berhenti di situ. Paulus berkata bahwa Kristus telah menghancurkan tembok yang ada. Sekarang tidak ada lagi tembok yang memisahkan dalam bait Allah, bahwa orang Yahudi dan non Yahudi semua sama di hadapan Allah. Galatia 3:28 menyebutkan, “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” Di dalam salib dan pengorbanan Kristus kita semua yang tadinya jauh dari keselamatan, yang secara literal berada di luar bait Allah, sekarang ada di dalamnya. Kristus telah mendamaikan segala perbedaan dan karena itu kita semua sekarang adalah anggota keluarga Kerajaan Allah.

Saudara-saudara terkasih, kehidupan yang penuh dengan tembok pemisah bahkan masih ada pada masa ini.

Kita semua mungkin pernah mendengar atau bahkan pernah melihat langsung tembok Berlin yang dulu memisahkan Jerman Barat dan Timur. Tembok Berlin dibangun pada 13 Agustus 1961 oleh DDR (Republik Jerman Timur). Tembok ini berfungsi untuk mencegah penduduk Jerman Timur melarikan diri ke Jerman Barat. Waktu itu Jerman Timur memilih untuk memisahkan diri dari bantuan Barat sesudah Nazi dikalahkan. Jerman Barat menerima bantuan ini sambil memasukkan demokrasi sebagai landasan negara mereka, sementara Jerman Timur tetap memegang asas sosialis. Dalam asas sosialis, semua warga memiliki hal yang sama, karena prinsipnya adalah kesamaan tanpa perbedaan. Hasilnya adalah pemisahan ekstrim, semua rumah, baju, mobil di Jerman Timur tertinggal dari kemajuan saudara mereka di Jerman Barat. Tembok ini setinggi 3,6 m dan selebar 1,2 m, dan memiliki banyak pos penjagaan. Orang di Jerman Barat hanya bisa memandang rumah saudaranya di Jerman Timur tanpa bisa bertemu langsung. Mereka sering berbicara lewat rumah tinggi dan orang di Jerman Timur melihat kemajuan yang terjadi di Barat. Akibatnya banyak orang yang berusaha melewati tembok ini. Banyak yang meninggal dalam usahanya menyeberangi tembok ini (5000 usaha, 200 meninggal).

Di tahun 9 November 1989, setelah beberapa negosiasi, dan jatuhnya blok dunia timur dan Uni Sovyet, pemerintah Jerman Timur mengumumkan bahwa penduduknya boleh dengan bebas pergi ke Jerman Barat. Akhirnya tembok ini dihancurkan dan total runtuh pada tahun 1990, kecuali beberapa bagian yang sengaja dilestarikan sebagai peringatan.

Ada juga satu tembok lagi yang juga terhampar dengan luas yaitu “the great wall of China” yang mengamankan bangsa Cina dari serbuan bangsa-bangsa asing.

Sekarang, Israel juga berusaha membangun sebuah tembok baru di jalur Gaza untuk membatasi gerakan bangsa Palestina.

Saudara-saudara terkasih, ini memang menjadi tantangan buat kita semua orang percaya yang memiliki tembok pemisah di dalam hidup kita.

Manusia sering membangun tembok pemisah, ketika Allah menghancurkannya melalui Kristus. Kita, umat Tuhan sendiri, sering membatasi pesan keselamatan ini hanya kepada golongan yang dekat dengan kita, atau orang-orang yang kita anggap layak untuk menerima keselamatan Allah.

Kristus datang untuk semua orang. Tapi gereja kadang membeda-bedakan orang yang layak dilayani. Gereja memang bukan restoran, tetapi saya melihat banyak kesamaan antara gereja dan restoran dalam hal pelayanan. Gereja tidak bisa memilih pelanggan jenis apa yang boleh masuk ke dalam gereja, seperti sebuah restoran. Semua orang diundang masuk ke dalam rumah Tuhan. Bahkan Gereja juga punya banyak pelanggan gratis, yang tidak memberi dan hanya menuntut untuk dilayani. Tetapi justru itulah tugas dan panggilan gereja untuk meneruskan berita keselamatan ini bahwa Kristus datang untuk semua orang.

Sayangnya, masih ada yang berpendapat lain, “Kristus datang untuk semua orang, tetapi gereja saya hanya untuk orang tertentu.”

Gereja sering menjadi lembaga yang memperbesar perbedaan. Pada tahun 1964, DGI (sekarang PGI) hanya memiliki 36 anggota, namun sekarang PGI telah memiliki paling tidak 92 anggota gereja. Gereja yang muncul biasanya datang dari konflik antar gereja. Karena itu sering sekali tembok yang telah dihancurkan Kristus dibangun lagi oleh gereja. Kita cenderung ingin memilih orang jenis apa yang cocok masuk ke gereja kita, berdasarkan suku, profesi, bahasa, atau yang lainnya. Saya mengatakan ini juga sebagai sebuah oto kritik. Begitu banyak gereja baru yang berkembang, semua membawa seleranya masing-masing dan bukan pesan keselamatan Kristus bagi semua orang. Karena itu gereja sekarang justru menjadi seperti restoran padang dengan nama berdasarkan selera masing-masing. Misalnya gereja asal sumatera utara yang menjadi banyak gereja, dari HKBP, atau gereja di nias yang ada 6 sinode, atau bahkan gereja indonesia di belanda yang sudah terpisah-pisah.

Jangankan gereja, kita sendiri juga sering membangun tembok pemisah dengan saudara-saudara kita. Banyak alasan kita membangun ‘tembok’  yang tidak terlihat ini, untuk melindungi kita dari dunia luar seperti tembok tinggi mencegah maling, atau mencegah orang keluar dari komunitas kita seperti tembok berlin. Kadang-kadang kita membangun tembok gereja, supaya tidak ada pengaruh luar yang masuk dalam gereja kita, misalnya dalam ibadah, kita alergi terhadap jenis ibadah tertentu.

Atau dalam hubungan keluarga, orang Batak juga suka membangun tembok yang sebenarnya tak ada. Misalnya ketika saya praktek di Samosir, di kampong Pakpahan, di situlah saya baru tahu bahwa Pakpahan terdiri dari berbagai keturunan, dan bahwa ketika saya pergi ke tempat lain, orang lain akan berkata, “ndang hita i.”

Saudara-saudara terkasih dalam Kristus,

Pesan hari ini mengatakan bahwa Allah telah menghancurkan segala tembok yang ada di antara kita sebagai umat Tuhan. Tidak ada yang lebih spesial, entah karena mereka lebih lama menjadi Kristen, atau menjadi orang yang menyumbang lebih banyak, atau lebih aktif, tidak ada lagi tembok, kita semua anggota keluarga Allah. Marilah kita menjaga gereja kita menjadi rumah Allah yang tanpa tembok dan saling menerima dalam keluarga Kerajaan Allah.

 

Viewed 18423 times by 6974 viewers

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *