Pembohongan dalam Postingan Media Sosial?

Instagram, facebook, dan beberapa media sosial sedang mendukung penampilan kebohongan terhadap “masa” melalui tampilan sebuah “momen.”

Tampilan foto dan postingan sosial media adalah usaha menampilkan sebuah momen agar momen itu menjadi abadi. Sebuah momen belum tentu menggambarkan sebuah masa dengan baik. Momen adalah snapshot sebuah masa, pada detik atau beberapa waktu tertentu dalam foto, yang seolah-olah menggambarkan keseluruhan masa. Masa adalah sebuah periode waktu tertentu yang menggambarkan pekerjaan atau situasi yang sedang anda hadapi. Masa tidak memiliki batas waktu yang pasti dan berbeda bagi setiap orang, terutama bagi yang menjalaninya. Contoh perbedaan antara masa dan momen adalah: masa kerja adalah pkl. 8-16, tapi momen kerja yang difoto adalah pkl 10.15.

Pemilihan momen selalu menjadi tindakan yang mengkhianati masa. Ambil contoh sebuah masa libur, lalu saya harus memilih momen mana yang tertangkap dalam sebuah atau beberapa foto/video yang menggambarkan keseluruhan masa tersebut. Foto yang saya tampilkan adalah representasi dari keseluruhan masa tersebut. Saya bisa saja pergi ke beberapa tempat wisata di Bali, lalu menampilkan beberapa momen yang tertangkap kamera di sosial media, dan momen tersebut menjadi representasi masa liburan kamu. Karena itu, saya harus memilih kapan harus mengambil foto, dan waktu serta pose yang tepat bagi momen tersebut. Saya bisa saja pergi ke beberapa objek wisata, namun memilih momen foto di depan panta Kuta sebagai representasi masa libur. Mengapa Kuta? Karena saya pikir Bali terasosiasi dengan pantai, pasir, rileks, turis, budaya Bali yang khas, makanannya, dan lainnya. Jika saya mengambil foto makanan McDonalds di Denpasar, saya merasa tidak terlalu memerlihatkan Bali kepada audiencemu. Saya berada dalam proses pemilihan momen yang tidak akan pernah bisa menggambarkan keseluruhan masa liburan saya. Tapi, saya harus memilihnya dengan membayangkan dua hal: tempat momen tersebut terlaksana dan objek masa.

Pertama, tempat momen. Yang saya maksud dengan tempat momen bukanlah tempat sebagai lokasi, namun, tempat sebagai wadah. Apa tempat yang paling tepat untuk mengambil representasi masa? Apakah foto lokasi, makanan, warna, sebuah benda dapat menjadi tempat momen diletakkan? Saya harus memilih apa tempatnya, dan pemilihan ini berarti saya sedang mengatakan kepada momen yang lain bahwa tempat momen mereka tidak menjadi representasi yang baik akan keseluruhan masa libur saya. Tempat pergi beli makanan di McDonald Denpasar pasti tidak akan saya pilih dibanding tempat berjemur di pantai Kuta. Tempat momen ini adalah foto kaki di pasir dengan caption “the best way to relax is to return to mother nature.”

Tempat momen juga menjadi pembohongan publik karena saya sedang menunjukkan bahwa seolah-olah saya berjemur di pantai padahal saya hanya menghabiskan beberapa menit untuk mengambil foto kaki saya di pantai. Pembohongan ini kita sebut sebagai pencitraan. Pemilihan tempat momen berhubungan dengan pencitraan yang ingin kita tampilkan kepada objek masa.

Ada dua objek bagi representasi momen ini. Pertama adalah mereka yang mengalaminya, dalam hal ini saya sendiri, dan bagi orang yang melihatnya. Objek masa yang pertama adalah saya sendiri. Saya mungkin ingin mengingat momen itu dengan sengaja sebagai poin penting dalam masa liburan. Ketika saya sedang kecewa terhadap momen-momen lain, misalnya kondisi kamar hotel yang tidak sesuai deskripsi ketika dipesan, makanan yang mungkin kurang enak, maka momen di pantai Kuta menjadi pelipur lara. Saya sedang memberi sugesti kepada diri saya sendiri untuk masuk dalam proses selective memory. Saya ingin memperkuat ingatan momen menyenangkan dan mengurangi atau menghapus ingatan momen kurang menyenangkan. Apakah ingatan akan momen bisa dihapus? Antara ya dan tidak. Ingatan akan momen lain bisa terhapus ketika saya memaksa diri saya untuk fokus kepada satu momen spesifik. Misalnya, saya mengingat momen final piala dunia 2014 karena saya ada di Pulau Samosir untuk sebuah seminar, tapi saya tidak bisa mengingat apa yang saya lakukan pagi itu. Karena emosi saya akan momen menonton final begitu kuat, dan saya tidak menghabiskan energi untuk fokus kepada momen lain di hari itu, otak saya melupakan sebuah masa untuk mengingat momen. Sama dengan menonton final Piala Dunia 2014, momen foto kaki di pantai Kuta adalah representasi dan harapan akan apa yang semestinya saya lalui di masa liburan saya. Basically, I’m consciously selecting a moment to represent the time, in the hope that it will bring pleasant emotions when I recall the memory in the future.

Objek masa kedua adalah orang lain. Ketika saya memosting foto liburan, saya memiliki bayangan mengenai siapa yang akan melihat foto tersebut. Seorang pemimpin umat tidak mungkin memasang fotonya mencium pasangannya dalam baju renang di pantai Bali ketika dia tahu semua anggota jemaatnya akan melihat dan mungkin akan keberatan. Pemilihan momen berkaitan erat dengan objek masa. Siapa yang menjadi objek dari penampilan momen tersebut? Saya akan selalu memilih apa yang saya tampilkan berdasarkan objek masa. Atau, saya juga bisa memilih siapa objek masa saya dengan membatasi pertemanan dan follower atau private postings. Seorang pesohor publik atau celebrity tidak memiliki keuntungan untuk memilih siapa objek masanya, sehingga semua fotonya selalu dipikirkan dengan sadar untuk mengurangi gesekan atau sebaliknya menarik perhatian sebanyak mungkin orang.

Ketika saya pada akhirnya memilih untuk menampilkan momen sekejap duduk di pasir pantai Kuta sebagai representasi masa libur saya, saya sedang mengkhianati masa liburan tersebut secara keseluruhan, dan saya sedang membohongi objek masa.

Namun, tampilan sosial media membuat saya tidak hanya berpikir soal momen saya, tapi juga dengan cepat menilai sebuah masa orang lain dari tampilan sebuah atau beberapa momen. We are now in the time of “please judge a book by it’s cover.”

As a pastor, and a theologian-philosopher, I see this tendency everywhere. Masyarakat cepat sekali menjatuhkan penghakiman tentang sebuah masa berdasarkan tampilan momen yang disuguhkan kepadanya. Apakah Prabowo menjadi orang yang buruk karena slip of the tongue tentang sarjana yang menjadi pengemudi ojek, atau apa hubungan penangkapan tokoh agama yang menyiksa muridnya dengan pemerintahan yang membenci ulama? Gaya berpikir momen mewakili masa adalah cara sempit dan malas untuk mencari fakta masa yang sesungguhnya. Sayangnya, media sosial mengagungkan momen, didukung oleh sebuah industri besar momen: smartphone kamera canggih, tempat liburan, museum instagramable, makanan yang ditampilkan dengan indah, termasuk hoaks.

Bagi mereka yang memosting foto, pembohongan yang dilakukan melalui pemilihan momen sebagai representasi masa tidak bisa kita hindari, kecuali anda menampilkan video yang representatif atas masa tersebut. Yang perlu belajar adalah objek dari postingan tersebut untuk memilah dan menelaah kebenaran dari sebuah masa dan mencari hal sesungguhnya yang direpresentasikan momen tersebut.

Satu cara untuk menghindari penilaian yang terlalu dini adalah dengan menyadari bahwa satu atau beberapa momen tidak boleh menjadi representasi keseluruhan dari masa. Cari momen-momen lain yang berkorespondensi dengan momen yang anda lihat atau tampilkan, dan belajarlah untuk mencerna masa.

Viewed 188659 times by 42830 viewers

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *