HIKMAT MENCARI KEBENARAN

REFLEKSI TEOLOGIS NATAL 2018

YESUS KRISTUS HIKMAT BAGI KITA

BINSAR JONATHAN PAKPAHAN

Tema Natal bersama PGI dan KWI 2018 adalah “Yesus Kristus Hikmat bagi Kita” (Bdk. 1Kor. 1:30a). Hikmat adalah suatu hal yang semakin sulit untuk kita temukan di zaman yang membanjiri kita dengan berbagai informasi. Berkat semakin bebas dan derasnya arus informasi, kita bisa membaca semua hal yang kita inginkan di dunia maya. Era keterbukaan informasi membuat kita bisa menikmati bukan hanya informasi yang benar tetapi juga, baik disengaja atau tidak, informasi yang tidak benar. Sayangnya, yang terjadi persaingan dalam pemilihan informasi mana yang lebih benar atau apa yang kita sebut sebagai the truth.

Dalam perkembangan abad ke-21, tantangan mengenai pencarian kebenaran akan semakin kuat karena kita dibanjiri oleh berbagai versi dari kebenaran. Karena kemudahan penyebaran informasi, para penyedia konten tidak bisa memastikan kebenaran berita yang sedang beredar di teknologi informasi yang mereka miliki. Pada 2017, Amerika Serikat dikejutkan oleh berita bahwa Facebook digunakan oleh beberapa pengguna asal Rusia untuk membantu penyebaran berita bohong (hoax) mengenai lawan politik Presiden Donald Trump pada masa kampanye 2016. Pemerintahan Trump bahkan mengeluarkan sebuah pernyataan bahwa apa yang mereka gunakan pada saat ini adalah alternative facts. Menjelang Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019, kita akan menghadapi situasi yang semakin membingungkan kita dalam memilih kebenaran.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) (2017) terhadap 1,116 responden, 91,8 persen responden mengatakan bahwa hoax yang paling banyak beredar adalah soal politik dan 62,8 persen responden mengaku sering menerima hoax di telepon mereka melalui aplikasi pesan. CNN Indonesia bahkan mencatat bahwa ada sekitar 800 ribu situs penyebar konten palsu yang bertugas untuk mengarahkan opini mengenai suatu kejadian atau situasi tertentu.

Berangkat dari fakta di atas, kita sekarang disebut sedang memasuki dunia pascakebenaran (post-truth). Menurut Oxford Dictionary, post-truth adalah “word of the year 2017”. Definisi post-truth adalah “Relating to or denoting circumstances in which objective facts are less influential in shaping public opinion than appeals to emotion and personal belief.” Emosi menjadi penentu utama dalam pemilihan kebenaran akan sebuah informasi dibandingkan fakta atau apa yang sebenarnya terjadi. Dalam era pascakebenaran, apa yang benar adalah apa yang saya rasa benar, atau apa yang sesuai dengan perasaan saya, dibandingkan dengan apa yang sebenarnya terjadi. Dunia pascakebenaran adalah dunia yang mempertanyakan setiap informasi, kemudian memilih kebenaran bukan karena fakta, melainkan karena perasaan. Hal ini juga didorong oleh semakin beragamnya informasi yang diterima, sehingga kebenaran menjadi sumir.

Munculnya perasaan sebagai sarana pemverifikasi fakta tidak bisa lepas dari perkembangan filsafat. Pasca filsafat fenomenologi, kebenaran bukan lagi mengenai objek semata, melainkan siapa subjek yang mengamati objek tersebut. Husserl mengatakan,

“Phenomenology is the study of structures of consciousness as experienced from the first-person point of view. The central structure of an experience is its intentionality, its being directed toward something, as it is an experience of or about some object. An experience is directed toward an object by virtue of its content or meaning (which represents the object) together with appropriate enabling conditions.”

Pengalaman dan sudut pandang subjek menentukan jawabannya mengenai apa itu objek. Karena itu, penelitian fenomenologi tidak selalu berkisar kepada objek, melainkan kepada subjek. Fenomenologi mencoba mengarahkan kita untuk menggambarkan pengalaman seperti dirinya sendiri, sebagaimana subjek mengalaminya, tanpa penjelasan metafisika atau teoretis. Melalui kesadaran murni, seseorang bisa mengetahui apa yang dialaminya.

Filsafat ini didukung oleh perkembangan teknologi yang sekarang menyajikan fakta alternatif terhadap sebuah peristiwa, karena target yang disasar bukan lagi peristiwa tersebut, namun bagaimana subjek menginterpretasi peristiwa tersebut. Berita yang disajikan dari berbagai sudut pandang mempengaruhi pembaca sehingga kebenaran menjadi pilihan bagi subjek. Pada akhirnya, emosi – atau perasaan – para pendengar menjadi tujuan utama para pembuat berita. Seseorang menjadi percaya karena pengalamannya membuatnya merasa berita itu sesuai dengan dirinya.
Pesan natal seperti apa yang cocok untuk kita renungkan dalam menghadapi situasi demikian? Apa yang bisa kita ambil dari peringatan akan kelahiran Kristus di 2018, dengan segala tantangannya? Jawabannya adalah hikmat akan membantu kita memilih kebenaran. Apa ciri hikmat itu?

Pergumulan Paulus dan Jemaat Korintus
Setelah meninggalkan Tesalonika dan Athena, dalam perjalanan Pekabaran Injilnya yang ke-2 (thn. 49), Paulus bersama dengan Silvanus dan Timotius sampai ke kota Korintus. Paulus bisa dikatakan berhasil mengabarkan Injil di kota ini. Korintus adalah kota yang besar, ibukota provinsi Akhaya, sebuah kota yang menjadi pusat perdagangan yang ramai. Paulus tinggal di situ paling tidak selama dua tahun, menjual tenda, dan bertemu dengan Silas (Kis. 18:5, 11, 18). Ia sendiri mendapat tantangan dari persekutuan sinagoge Yahudi Ortodoks. Paulus kemudian berhasil mendirikan Pos Pekabaran Injil dengan bantuan seorang yang pernah bekerja di sinagoge Ortodoks tersebut. Dalam waktu tersebut, sebelum kembali ke Yerusalem, Paulus berhasil mendirikan persekutuan Kristen “yang kuat, bersemangat, dan berjumlah agak besar, dengan kebanyakan anggotanya berasal dari orang-orang bukan Yahudi” (Wahono 2002, 419).

Setelah meninggalkan Korintus, jemaat di Korintus kemudian berada dalam perpecahan. Paulus melayangkan surat ini menjawab beberapa masalah yang diajukan kepadanya (lht. 1Kor. 7:1). Paulus mendengar berita yang buruk mengenai jemaat itu (mengenai hal seks: 1Kor. 5:1-13; mengenai perbedaan pandangan: 1Kor. 6:12-14; 7:1-28), dsb. Jemaat Korintus juga ada dalam perpecahan internal. Ada beberapa orang yang bertugas sebagai pekabar Injil di Jemaat sendiri yang akhirnya menimbulkan perpecahan (Lihat narasi perbedaan golongan Paulus, Apolos, dan Kefas di 1Kor. 1:12). Karena berdebat masalah siapa yang lebih berhikmat dan lebih bijak, juga siapa yang lebih berkuasa dalam mengabarkan Injil, jemaat di Korintus jadi terpecah. Konflik juga muncul akibat perdebatan mengenai golongan Jemaat mana yang lebih benar dan penting: apakah golongan Yahudi atau Yunani yang menjadi Kristen. Menurut orang Yahudi, mereka lebih berhikmat daripada orang Yunani karena mereka adalah bangsa pilihan. Sementara orang Yunani menganggap mereka lebih penting karena mereka adalah orang lokal dan sudah lama belajar pengetahuan dan filsafat.

Paulus menulis surat ini untuk menasihati bahwa manusia dipanggil oleh Allah bukan karena ukuran manusia. Paulus mengingatkan mereka bahwa “apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri di hadapan Allah” (1Kor. 1:28-29). Perpecahan juga sepertinya menyangkut siapa kelompok yang lebih penting dan banyak tugasnya dan tidak. Ada orang yang merasa fungsinya lebih penting dari yang lain.
Karena itu, apa yang dihadapi Jemaat waktu itu juga adalah persoalan mencari kebenaran: siapakah yang paling benar? Ada satu peringatan yang ingin Paulus sampaikan kepada Jemaat yang menghadapi masalah seperti ini. Di 1 Korintus 2:1-12 Paulus berbicara secara gamblang mengenai hikmat Allah.

Kemudian dalam 1 Korintus 12, Paulus mengingatkan bahwa semua anggota jemaat adalah satu tubuh. Dengan memberi contoh satu tubuh, Paulus mengatakan bahwa semua orang memiliki fungsi dalam Gereja, baik itu kecil atau besar. Semua fungsi ini memiliki arti dan penting, betapapun kecilnya dia bagi tubuh. Paulus juga mengajarkan orang untuk berserah kepada Allah dan membiarkan hikmat Allah dalam Kristus yang mengambil alih dan berkuasa. Hikmat manusia tidak berarti jika dibanding dengan hikmat yang dari Allah. Paulus menekankan bahwa dia datang kepada Jemaat di Korintus bukan dengan hikmat, melainkan “dengan keyakinan akan kekuatan Roh, supaya iman kamu jangan bergantung pada hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah” (1Kor. 2:4-5).

Hikmat untuk Memilih Kebenaran
Dalam 1 Korintus, kita melihat sebuah situasi di mana hikmat tidak ada, yaitu ketika orang bertengkar untuk menentukan siapa yang lebih berhikmat dalam menentukan kebenaran. Bahkan, Paulus menyatakan bahwa mereka yang memiliki hikmat akan semakin rendah hati, Paulus mengingatkan mereka bahwa “apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri di hadapan Allah” (1Kor. 1:28-29).
Sebenarnya ketika perpecahan terjadi dalam menentukan siapa yang lebih berhikmat sudah berlawanan dengan hikmat itu sendiri. Seharusnya kedua kelompok yang mengaku memiliki hikmat, melihat bahwa pertengkaran justru menunjukkan kurangnya hikmat. Pertengkaran seperti ini rupanya terus terjadi hingga masa kini. Banyak orang yang berselisih karena merasa dirinya lebih berhikmat dari yang lain.

Pertanyaan buat kita memang adalah bagaimana kita bisa melihat hikmat Allah? Bagaimana kita bisa mengenali sesuatu sebagai sebuah hikmat atau kebodohan. Bagaimana kita bisa mengerti jalan pikiran Allah ketika kita sendiri tidak bisa sepenuhnya mengerti jalan pikiran pasangan kita? Atau, jangankan hikmat Allah, bagaimana kita bisa tahu bahwa seseorang lebih berhikmat dari yang lain? Atau, bagaimana anda tahu bahwa anda sendiri berhikmat?

Karena itu, nasihat yang terpenting dalam pesan Natal 2018 adalah mengenal kapan hikmat itu hilang dalam menentukan kebenaran. Ketika konflik pecah karena perebutan kekuasaan semata, atau ketika seseorang merasa dirinya lebih berhikmat dalam menentukan apa yang Allah inginkan dari manusia, kita dapat memastikan bahwa hikmat justru sedang meminggir pelan-pelan dan hilang. Hikmat dalam Kristus harusnya membawa damai sejahtera. Damai bukanlah negative peace di mana kita tidak memiliki konflik terbuka namun terus menjalani perang dingin. Damai dalam hikmat menunjukkan keberanian untuk menyatakan kebenaran dan tidak takut akan konsekuensi menyatakan kebenaran. Hikmat juga menuntut kita untuk tidak menyombongkan diri dan siap untuk memeriksa diri dan klaim kebenaran yang kita nyatakan. Karena itu, hikmat juga tidak bisa lepas dari komunitas, karena dalam komunitas ada konfirmasi dan negasi, untuk menguatkan apa itu hikmat. Namun, kita sendiri bisa mengenali kapan hikmat tidak ada, karena itu pastikan hikmat Allah dalam Kristus bersama dengan kita dalam Natal 2018 dan memasuki 2019.

Viewed 73542 times by 8908 viewers

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *