TIDAK PERCAYA QUICK COUNT?

Setelah Pemilihan Umum kemaren (17/4), dan hasil Quick Count (QC) berbagai lembaga survey keluar, kita melihat bahwa pendukung Calon Presiden di dunia maya tidak mengubah persepsi mereka mengenai siapa pemenang pilpresnya. Dari beberapa Lembaga yang sama, para pendukung pak Prabowo bisa menerima ketika hasil QC di Pilkada 2017 sesuai dengan harapan mereka, dan menolak QC Pilpres 2019 ketika tidak menampilkan keinginan mereka. Perdebatan mengenai angka disamakan dengan perdebatan mengenai pemilihan siapa yang memenangkan debat capres dan cawapres seminggu sebelumnya. Pendukung paslon 1 dan 2 sama-sama mengklaim bahwa idola merekalah yang menjadi pemenang debat.Sementara penentuan pemenang dalam sebuah debat memerlukan verifikasi subjektif dan bisa jadi menghasilkan kesimpulan yang berbeda, dalam kasus Quick Count, verifikasi faktual mengenai metodologi, jumlah TPS yang menjadi sample, cara menghitung, data lapangan dsb, harusnya memberi satu kesimpulan factual berdasarkan data. Hebatnya, banyak yang merasa bahwa hasil QC juga ditentukan oleh mereka yang memesan hasil QC tersebut.Ternyata, pada masa sekarang ini kebenaran menjadi pilihan yang kita ambil berdasarkan perasaan kita atas sebuah fakta. Jika demikian, pertanyaan utama adalah bagaimana menilai kebenaran (the truth) ketika dia menjadi sumir, apakah melalui pencarian faktual mengenai apa yang terjadi, atau perasaan kitalah yang mendorong kita untuk memilih apa itu kebenaran.
Era keterbukaan informasi membuat kita bisa menikmati bukan hanya informasi yang benar tetapi juga, baik disengaja atau tidak, informasi yang tidak benar. Yang terjadi pada masa ini adalah pembaca memilih informasi mana yang lebih disukainya bukan karena dia benar, melainkan karena dia ingin mendengar informasi itu.Kita sekarang disebut sedang memasuki dunia pascakebenaran (post-truth), yang berarti “berhubungan atau berkenaan dengan keadaan di mana fakta objektif menjadi lebih kurang memengaruhi pembentukan pendapat publik dibandingkan kepercayaan dan perasaan personal” (Oxford Dictionary). Emosi menjadi penentu utama dalam pemilihan kebenaran akan sebuah informasi dibandingkan fakta atau apa yang sebenarnya terjadi. Dalam era ini, apa yang benar adalah apa yang saya rasa benar, atau apa yang sesuai dengan perasaan saya, dibandingkan dengan apa yang sebenarnya terjadi. Dunia pascakebenaran adalah dunia yang mempertanyakan setiap informasi, kemudian memilih kebenaran bukan karena fakta, melainkan karena perasaan.Perkembangan teknologi informasi sekarang memungkinkan penyajian fakta alternatif terhadap sebuah peristiwa, karena target yang disasar bukan lagi peristiwa tersebut, namun bagaimana pembaca menginterpretasi peristiwa tersebut. Berita yang disajikan dari berbagai sudut pandang mempengaruhi pembaca sehingga kebenaran menjadi pilihan bagi subjek. Pada akhirnya, emosi – atau perasaan – para pendengar menjadi tujuan utama para pembuat berita. Seseorang menjadi percaya karena pengalamannya membuatnya merasa berita itu sesuai dengan dirinya.Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa “benar” adalah “sesuai sebagaimana adanya (seharusnya); tidak berat sebelah, adil, lurus (hati); dapat dipercaya (cocok dengan keadaan yang sesungguhnya); tidak bohong.” Sementara “Kebenaran” adalah “keadaan (hal dan sebagainya) yang cocok dengan keadaan (hal) yang sesungguhnya; sesuatu yang sungguh-sungguh (benar-benar) ada; kelurusan hati, kejujuran.” Dalam arti Bahasa Indonesia, kebenaran adalah soal penyajian informasi yang tidak berat sebelah, yang bisa juga kita artikan sebagai penyajian informasi secara utuh atau tidak menyembunyikan informasi. Kebenaran dalam bahasa Indonesia juga dihubungkan dengan kejujuran. Tentu, hal ini menjadi agak sedikit menyulitkan ketika seseorang menyatakan informasi yang salah dengan jujur, karena dia tidak mengenai kebenaran informasi itu. Penyembunyian informasi juga dianggap melawan kebenaran. Karena itu kebenaran dalam bahasa Indonesia lebih menyerupai penyampaian informasi sepenuhnya tanpa ada yang ditutupi, dengan hati yang adil dan dapat dipercaya.Dalam definisi Bahasa Indonesia, kebenaran memang lebih dekat unsur kepercayaan dan perasaan terhadap siapa yang menyampaikan informasi tersebut. Alih-alih memeriksa sumber informasi, orang kemudian memilih percaya karena informasi yang diterimanya lebih sesuai dengan apa yang selama ini telah dipikirkannya, atau sebagai konfirmasi buat dirinya. Karena itu, kualitas sang pembicara menjadi lebih penting daripada apa yang dibicarakannya. Pemahaman akan kebenaran yang dekat dengan perasaan juga tidak jauh dari cara orang memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden, yaitu kedekatan emosional dan bukan kebenaran faktual.Dalam dunia politik, perasaan menjadi faktor penentu yang bersaing dengan fakta. Perasaan yang bisa digunakan dalam politik adalah: takut, kebencian, patriotisme, nasionalisme, harapan. Dalam Pemilihan Presiden, politik rasa takut dan pencitraan juga dimainkan kedua belah pihak. Kubu Joko Widodo menunjukkan kelemahan kubu masa lalu Prabowo yang terkait dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia dan dukungan kelompok yang tidak menghendaki keberagaman. Sebaliknya kubu Prabowo menuding Joko Widodo sebagai boneka asing yang akan menghancurkan Indonesia di 2030, komunis, meragukan ke-Islam-annya, atau isu bahwa Jokowi akan menghancurkan umat Islam. Dalam masa kampanye, kedua belah pihak juga membuat beberapa iklan yang menggugah emosi kebanggaan dan rasa terharu sebagai rakyat Indonesia. Emosi yang dimainkan memiliki pengaruh yang kuat dalam sebuah kompetisi politik.Satu cara yang bisa kita harus ingat bersama adalah bahwa ketika seseorang memilih untuk memercayai sebuah informasi (Qucik Count, Exit Poll, atau Real Count versi siapa pun), coba tanya mengapa anda percaya kepada informasi tersebut? Jika anda tidak percaya pada sebuah polling atau QC karena perasaan sendiri, anda akan mudah termakan hoaks jika informasi dikirim oleh orang yang dipercaya, atau yang memiliki kedekatan emosional dengan anda.Jika anda hendak bersikap kritis, lakukanlah verifikasi faktual, cari informasi mengenai Lembaga yang memberi data, seberapa sering dia tepat dan salah, lalu bandingkan dengan berbagai Lembaga serupa.Orang-orang di kubu pak Prabowo yang sudah mengetahui kebenaran faktual dari hasil quick count berbagai lembaga survey akan diam. Coba lihat siapa yang sekarang tidak muncul lagi alias diam. Tetapi, mereka yang yakin kebenaran karena emosi semata, akan mencoba membakar semangat untuk tidak mundur karena yang benar adalah apa yang mereka rasa benar, bukan apa yang mereka lihat dan verifikasi dari data sebagai kebenaran.Saran saya, mari kembali bersatu dan gunakan data bukan perasaan untuk melihat fakta dan kebenaran. Bangsa kita sudah menyelesaikan Pemilu 2019. Di sana-sini ada kekurangan karena kita melakukan pemilihan terumit sepanjang sejarah demokrasi. KPU dan para pemilih kewalahan karena harus menyiapkan 5 kertas dengan nama-nama berbeda, yang harus dipilih (dan dilipat) di hari yang sama. Tidak sedikit para anggota KPPS yang terjaga sampai pagi untuk melakukan rekapitulasi data. Siapa pun pemenang real count KPU, bangsa Indonesia yang keluar sebagai juara.Pemilu telai usai,
mari lanjut bekerja dengan damai.
Kini kami kembali jadi kita,
karena pemenangnya adalah Indonesia!Binsar Jonathan Pakpahan
Pengajar Filsafat dan Etika di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta#indonesiaraya #pemilu2019 #pemilu2019damai #pemilu

Viewed 167537 times by 40830 viewers

One Comment

  1. good posting! So, what is truth by you?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *