Kembali Ke Rumah Allah

Khotbah Minggu 21 November 2010

Peringatan Orang Meninggal – Tutup Tahun Gerejawi

2 Korintus 5:1-10

Kembali Ke Rumah Allah

Saudara-saudara yang terkasih dalam Kristus,

Minggu ini adalah minggu yang istimewa buat kita semua. Minggu sebelum minggu advent adalah minggu terakhir dalam kalender gerejawi kita. Ini adalah sebuah minggu tutup tahun, jadi kalender gerejawi kita bukan dimulai dari 1 januari, melainkan minggu pertama advent.  Sebagai minggu terakhir dalam kalender gereja, kita memperingati dan berefleksi akan apa yang terjadi dalam tahun tersebut. Kita juga mengingat saudara-saudara kita yang sudah kembali ke pangkuan Allah.

Tahun ini saya juga kehilangan seorang yang sangat berarti buat saya. Saya akan berbagi cerita ini karena ini adalah sebuah pengalaman yang mungkin dirasakan oleh saudara-saudara ketika kita kehilangan orang yang kita sayangi.

Ketika saya pulang ke Indonesia bulan Juni yang lalu, saya tahu bahwa ompung (nenek/oma) saya sakit keras. Beliau berusia 82 tahun dan sudah hampir 10 tahun berjuang melawan hepatitis c. Saya tahu bahwa kepulangan saya adalah saat terakhir kali saya bisa bertemu dengan beliau. Saya hanya pernah mengenal satu oma, yaitu dia. Orangtua ayah saya sudah meninggal ketika ayah masih muda. Jadi oma ini adalah oma yang membela saya ketika saya nakal, yang memberi uang jajan ekstra, yang menghibur kalau dimarahi orangtua, dia adalah oma yang sangat saya sayangi. Sebelum saya pulang, saya beberapa kali menelepon dia dan meminta dia untuk menunggu saya pulang. Satu hal yang selalu dia bilang bahkan sebelum dia kritis adalah, “Jangan lagi berdoa umur panjang, oma sudah ingin kembali ke Rumah Allah.”

Lalu, ketika saya tiba di Indonesia, saya diminta untuk segera terbang ke Medan karena keadaan oma sudah kritis. Saya segera ke Medan. Malam itu, hari Jumat, saya menemuinya di Rumah Sakit di Medan. Keadaannya sangat payah, tetapi dia masih sadar. Dia melihat saya dan tersenyum… Lalu dia berkata, “Kamukah itu Binsar? Sampai juga kamu ya.” Lalu dia melanjutkan ucapannya lagi, “Jangan lagi doakan kesembuhanku, oma sudah ingin kembali ke rumah Allah.” Ini adalah ucapan yang terus menerus diucapkannya kepada kami.

Hari minggu, saya memimpin kebaktian minggu di kamarnya di rumah sakit. Lalu semua putra putrinya sepakat untuk berdoa agar kehendak Tuhanlah yang terjadi atas hidup oma. Setelah kebaktian saya usap kepala oma, menciumnya, dan berkata, “Pulanglah oma dalam damai.” Lalu oma berkata, “Sudah selesai semua cucuku.” Oma meninggal dunia tiga jam kemudian, diiringi doa dan nyanyian gereja dari keturunannya yang hadir di situ. Satu hal yang saya ingat adalah, dia selalu berkata, “Saya mau pulang ke rumah Allah.” Ompung tahu bahwa dia akan kembali ke Rumah Allah. Dan dia kembali ke rumah Allah.

Saudara-saudara yang terkasih dalam Kristus,

Cerita yang saya bagi adalah pengalaman personal. Tetapi saya yakin bahwa saudara juga mengenali cerita tersebut dalam kehidupan saudara. Yang ingin saya bagikan adalah keyakinan dari ompung saya, Maria Pasaribu, bahwa dia kembali ke Rumah Allah. Dia bahkan sudah lama menanti hari kepulangannya. Mungkin kalau saya tidak memintanya untuk menunggu, dia sudah lama pulang ke rumah Bapa.

Orang-orang yang akan kita peringati hari ini sudah pergi dari tengah-tengah kita. Mereka sudah meninggalkan kita. Kalau mereka hidup untuk Tuhan, mereka akan kembali ke rumah Bapa di sorga. Mereka sudah tenang bersama sang Penciptanya.

Memperingati kepergian orang-orang yang sudah meninggal sebenarnya bukan untuk mereka yang telah pergi. Kita melakukannya  untuk kita sendiri. Kita melakukannya untuk menghibur hati yang terluka karena ditinggal pergi suami, isteri, ayah, ibu, anak, atau anggota keluarga yang lain. Mereka sudah kembali ke rumah Bapa. Tugas mereka sudah selesai. Tetapi kita masih di sini.

Karena itu, yang menjadi pesan buat kita hari ini ada dalam dua pertanyaan ini. Yang pertama, apakah kita sudah melepaskan dan merelakan kepergian orang yang kita kasihi? Lalu pertanyaan kedua, apakah kita sendiri sudah siap kalau kita dipanggil oleh Allah untuk kembali ke hadapanNya?

Paulus menulis surat ini sebagai sebuah kesaksian kepada Jemaat Korintus. Paulus ingin berkata bahwa di balik kehidupan di dunia ini, ada sebuah kehidupan yang kekal bersama Bapa di surga. Betapapun sulitnya hidup di dunia ini, itu tidak berarti jika disbanding dengan kesenangan abadi yang akan kita peroleh nanti.

Ketika itu Paulus dan para rasul yang lain masih menghadapi kesusahan dan penganiayaan karena pemberitaan Injil. Tidak sedikit dari mereka yang disiksa dan dikejar oleh pemerintahan Romawi, dan juga dimusuhi  oleh orang Yahudi karena mengajarkan sebuah ajaran baru. Para pengabar Injil harus mengalami penderitaan dan kesusahan. Paulus tidak melihat bahwa penderitaan itu adalah sesuatu yang merugikan, ini hanya sebuah “penderitaan ringan… kemuliaan kekal jauh lebih besar dari pada penderitaan kami (2 Kor. 4:17).” Paulus mengatakan dengan penuh keyakinan, bahwa “Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat yang kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia (2 Kor. 5:1).” Artinya Paulus meyakini akan adanya sebuah kemuliaan kekal bagi manusia yang hidup di dalam Allah. Penderitaan di dunia ini tidak ada artinya dibandingkan kesenangan abadi bagi orang yang hidup di dalam Tuhannya.

Inilah pelajaran untuk kita hari ini dari dua pertanyaan di atas. Pertama, apakah kita sudah siap melepaskan kepergian orang yang kita kasihi? Melepas dan merelakan mereka bukan berarti melupakan ikatan yang pernah ada. Melepaskan mereka pergi berarti siap untuk maju ke depan. Kematian bukanlah akhir, melainkan sebuah awal baru. Mereka yang mendahului kita telah memulai langkah baru, dan kita semua pasti menuju ke arah yang sama. Karena itu saudara, ibadah ini juga adalah penghiburan, penguatan, yang memberi kehangatan kepada saudara bahwa Jemaat ini, kita semua, mengingat kesedihan saudara. Kita semua adalah persekutuan orang-orang berduka yang saling menguatkan. Merelakan kepergian membantu kita melangkah ke depan.

Karena itu saudara, pertanyaan kedua adalah refleksi untuk diri sendiri. Apakah kita siap untuk kembali kepada Allah?

Saya dulu suka sekali menonton Aircrash Investigation di National Geography. Acara ini menyelidiki kecelakaan pesawat yang terjadi. Tidak semua kecelakaan berlangsung tragis. Ada juga beberapa survivor yang hidup dan kemudian diwawancarai oleh jurnalis tv ini. Yang ditanya adalah, “Apa yang anda pikirkan ketika anda memasuki menit terakhir kehidupan anda?” Biasanya kehidupan orang yang selamat menjadi berubah setelah mereka melihat kematian.

Setiap kali kita mengingat kematian, kita mengingat kehidupan. Jika kita siap untuk kembali kepada Bapa di surga, maka kita juga pasti siap untuk hidup. Tanyalah kepada diri saudara sendiri, apakah saudara sudah siap, apabila Allah ingin memanggil saudara malam ini juga? Apakah saudara akan berkata, “Saya mau pulang ke Rumah Allah” dan menyambut panggilanNya dengan senyum dan pengharapan? Apakah saudara sudah siap untuk bertemu dengan Yang Mahakuasa?

Saudara-saudara, melalui dua pertanyaan itu, kita memperoleh kekuatan dan penghiburan, sekaligus evaluasi untuk diri sendiri. Apakah kita siap pulang ke rumah Allah?

Kata pulang memberi juga beberapa arti. Pulang artinya kita kembali ke tempat kita berasal. Kadang-kadang ada orang yang tidak mau pulang ke rumahnya sendiri karena tidak siap, mungkin masih ada pekerjaan yang belum selesai, atau masih ingin menikmati perjalanan di luar, atau tidak merasa nyaman pulang ke rumah. Rumah asal kita adalah rumah yang penuh dengan kesenangan bersama Allah.  Dan satu hal yang pasti, kita memang harus pulang.

Saudara, Paulus juga ingin menyampaikan sebuah pesan penghiburan, sebuah pesan penguatan untuk mereka yang menderita. Paulus berkata, “selama kita masih hidup dalam kemah ini (maksudnya dunia ini), kita mengeluh oleh beratnya tekanan, karena kita mau mengenakan pakaian yang baru itu tanpa menanggalkan yang lama, supaya yang fana itu ditelan oleh hidup (ay. 4).” Karena itu, jika saudara menderita untuk Tuhan, untuk kebenaran, jangan takut karena itu cuma sementara dibandingkan kehidupan kekal bersama Bapa di surga.

Karena itu kita bergembira karena Tuhan Yesus sudah menyiapkan tempat bagi kita, Yohanes 14:2 berkata “Di Rumah BapaKu banyak tempat tinggal. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagiMu.”

Marilah merayakan hidup di dalam Kristus, bertobat atas kesalahan-kesalahan kita, menyelesaikan semua urusan duniawi kita. Mereka yang mendahului kita sudah kembali bersama sang Pencipta. Pertanyaannya adalah apakah kita siap untuk kembali pulang? Sudah selesaikah, dan sudah siapkah kamu untuk kembali pulang? Kiranya Allah menghibur yang sedang berduka, menguatkan mereka, dan membantu kita untuk siap pulang ke hadapan Allah. Amin.

Pdt Binsar Jonathan Pakpahan

Overdenking voor Zondag 21 november 2010

Ter nagedachtenis van de overledenen en de afsluiting van het kerkelijk jaar

Schriftlezing 2 Korinthe 5: 1-10

1 Wij weten dat wanneer onze aardse tent, het lichaam waarin wij wonen, wordt afgebroken, we van God een woning krijgen: een eeuwige, niet door mensenhanden gemaakte woning in de hemel. 2 Wij zuchten in onze aardse tent en zouden willen dat onze hemelse woning er nu al over wordt aangetrokken. 3 We zijn er echter zeker van dat we ook ontkleed niet naakt zullen zijn. 4 Zolang we in onze aardse tent verblijven zuchten we onder een zware last, omdat we niet willen dat deze kleding wordt uitgetrokken; we willen dat er nieuwe over wordt aangetrokken, zodat het sterfelijke door het leven wordt verslonden. 5 Hiervoor heeft God zelf ons gereedgemaakt, door ons de Geest als onderpand te geven.

6 Dus wij blijven altijd vol goede moed, ook al weten we dat zolang dit lichaam onze woning is, we ver van de Heer wonen. 7 We leven in vertrouwen op God; wat komen gaat is nog niet zichtbaar. 8 We blijven vol goede moed, ook al zouden we ons lichaam liever verlaten om onze intrek bij de Heer te nemen. 9 Daarom ook stellen wij er een eer in te doen wat God wil, zowel in dit bestaan als in ons bestaan bij hem. 10 Want wij moeten allen voor de rechterstoel van Christus verschijnen, zodat ieder van ons krijgt wat hij verdient voor wat hij in zijn leven heeft gedaan, of het nu goed is of slecht.

Terug naar Gods huis

Dierbaarste zusters en broeders in Christus,

Deze zondag is heel speciaal voor ons allen. De zondag voor Advent, is de laatste zondag van het kerkelijk jaar. De afsluitingszondag van het kerkelijk jaar. Dus onze kerkelijke kalender begint niet op 1 januari, maar het begint met de eerste adventszondag. En de laatste zondag spiegelen wij terug naar wat er in het verleden jaar zijn gebeurd. En wij brengen in gedachtenis onze zusters en broeders die terug gaan naar het Vaders huis.

Dit jaar verloor ik iemand die mij zeer ter harte ligt. Ik wil dit verhaal met u delen, in de hoop dat het u kan helpen met uw eigen verlies.

Toen ik in afgelopen juni naar Indonesia terug ging, wist ik dat mijn oma erg ziek was. Zij is al 82 en vecht al jaren tegen hepatitis C. Ik weet dat bij mijn terugkeer, dit de laatste ontmoeting met oma zal zijn. De enige oma die ik ooit heb gekend. Mijn vader verloor zijn ouders al op jonge leeftijd. Deze oma is dus de enige oma die mijn beschermde, als ik eens stout was, die mij extra zakgeld schonk, die mij troost als ik standjes kreeg, mijn zeer zeer dierbare oma. Voordat ik naar huis ging, belde ik haar een paar keren op om toch maar op mijn komst te wachten. Wat zij vaak zegt, voordat het kritisch voor haar werd, was: bid voor mij geen lang leven, ik wil al terug gaan naar het Vaders huis.

En toen ik in Indonesia aankwam, moest ik direct doorvliegen naar Medan, oma oma’s toestand al heel kritisch was. En op die vrijdagavond, zie ik haar in het ziekenhuis te Medan. Het was al heel erg, maar ze was nog helder. Zij zag mij en ze glimlachte. En zei, o, ben jij het Binsar, je bent toch gekomen. En praatte verder, je hoeft niet meer voor mijn beterschap te bidden, oma wil al heel graag naar huis, terug naar ons Vaders huis. En deze woorden herhaalde ze aan een stuk door. En de zondag daarna, bediende ik een dienst in haar kamer in het ziekenhuis. En al haar zonen en dochters waren het eens om te bidden dat Gods wil geschiedde over oma. Na de dienst streek ik over haar hoofd, kuste haar en zei: Ga naar huis oma, in vrede. En oma antwoordde: Het is afgelopen al mijn kleinkinderen. En oma overleed drie uren later, onder de gebeden en gezangen van haar aanwezige nakomelingen aldaar.

Dat vergeet ik nooit, dat zij bleef zeggen: ik wil naar huis gaan, naar het Vaders huis. Mijn ompung weet, dat zij terug zou gaan naar het Vaders huis. En daarheen is zij dan ook gegaan.

Dierbaarste zusters en broeders in Christus,

Wat ik met deel is een heel persoonlijk verhaal. Maar ik ben er zeker van dat u dit verhaal herkent in uw leven. Wat ik met wil delen is de overtuiging van mijn ompung, mijn oma, Maria Pasaribu, dat zij terugging naar het Vaders huis. Zij zat al heel lang op deze thuisgang te wachten. Waarschijnlijk als ik haar niet vroeg te wachten, dan was zij al eerder weggegaan.. De dierbare mensen die wij vanmiddag gedenken zijn al lang uit ons midden weggegaan. Ze hebben ons al verlaten. Als zij in de Here hebben geleefd, dan zijn zij terug gegaan naar het Vadershuis in de hemel. Zij zijn al veilig en vredig bij hun Schepper.

Om de overleden mensen te gedenken, is geen taak voor degenen die al zijn weggegaan. Gedenken doen wij voor onszelf. Wij gedenken om onze pijn te verzachten, te troosten door de heengang van de echtgenoot, de echtgenote, de vader, de moeder, het kind of andere familieleden. Zij zijn terug gegaan in het Vadershuis. Hun taak is volbracht. Maar wij zijn hier nog.

Vandaar, bestaat de boodschap voor ons in de volgende twee vragen. De eerste vraag, Hebben wij ons al kunnen vinden in de heengang van onze dierbaren? En de tweede vraag, hebben wij ook al voorbereidingen getroffen voor het geval dat God ons terug roept om voor Zijn aangezicht te verschijnen?

Paulus schreef deze brief al seen getuigenis voor de Korinthe gemeente. Hij wil zeggen, dat achter dit wereldse leven, er nog een eeuwig leven met de Hemelse Vader is. Hoe moeilijk dit wereldse leven ook is, alles valt in het niet, vergeleken bij de zaligheid straks in de hemel.

Ondertussen bevinden Paulus en de andere apostelen toendertijd in moeilijke tijden en martelingen door de evangelisatie. Velen zijn achtervolgd en gemarteld door de Romeinse overheid, en de ondervinden vijandigheid van de Joden door hun nieuwe leer. De evangelisten ondervinden moeilijkheden en ellende. Maar Paulus ondervindt al die ellende niet als nadeel, het is maar een kleine ongemak, de eeuwige zaligheid is veel groter dan ons lijden (2 Kor 4:17). 17 De geringe last die we tijdelijk te dragen hebben, brengt ons een eeuwige luister, die alles omvat en alles overtreft. .Vol overtuiging zegt Paulus verder: we van God een woning krijgen: een eeuwige, niet door mensenhanden gemaakte woning in de hemel. (2 Kor 5:1) En dat geldt voor mensen die in de Here leven. Vergeleken met de eeuwige heerlijkheid voor mensen die in de Here leven, is al dat lijden niets.

Dit is onze les voor vanmiddag naar aanleiding van die twee vragen. Ten eerste, zijn wij bereid om onze dierbare te laten gaan? Los laten en laten gaan, dat betekent niet de lang gekoesterde binding te vergeten. Laten gaan betekent klaar staan voor een stap naar voren. De dood is immers geen einde, maar een nieuw begin. Degenen die ons voorgaan zijn een nieuwe stap begonnen, en wij gaan allemaal beslist in de zelfde richting. Vandaar dat deze eredienst troost, sterkte en warmte geeft aan u allen, deze gemeente gedenkt al uw verdriet. We zijn een gemeenschap van treurenden die elkaar aansterken. Laten gaan is een stap vooruit.

En de tweede vraag heft met een reflective voor onszelf te maken. Zijn wij zelf al klaar om eens naar God terug te gaan? Vroeger keek ik veel naar Air Crash Investigation op de zender van National Geographics. Dit programma onderzoekt vliegtuigongelukken. Niet alle ongelukken zijn tragisch. Er zijn soms overlevenden, die later bevraagd kan worden door de TV journalisten. Een vraag: Wat dacht u toen u in de laatste minuut van uw leven verkeerde?  Meestal verandert het leven van een overlevende die zoeven kort voor de dood heeft gestaan. Bij iedere gedachte aan de dood, denk je ook aan het leven. Als wij klaar staan voor terug gaan naar God, dan staan wij ook klaar voor het leven. Vraag uzelf, bent u klaar,als God u vanavond terug roept? Kunt u zeggen, ik wil naar het Vadershuis terug gaan, en u ontvangt die uitnodiging met een glimlach en vol hoop? Bent u klaar om de Almachtige te zien? Zusters en broeders, deze twee vragen zijn bedoeld om ons kracht en troost te schenken, die ons tegelijk ook evalueert. Zijn wij bereid om naar huis te gaan naar het Vadershuis?

Naar huis gaan ken took verschillende betekenissen. Naar huis gaan terug naar waar wij vandaan komen. Er zijn mensen, die niet terug willen, omdat zij nog niet klaar staan, of omdat hun werk nog niet af is, of omdat zij nog willen genieten van het leven daarbuiten, of ze voelen zich thuis niet meer thuis. Waar wij vandaan komen is het gelukkig huis samen met God. Een ding staat wel vast, eens gaan wij naar huis.

Gemeente, Paulus wil ook een bericht van troost doorgeven, om te sterken degenen die lijden. Paulus zei: (vers 4) Zolang we in onze aardse tent verblijven zuchten we onder een zware last, omdat we niet willen dat deze kleding wordt uitgetrokken; we willen dat er nieuwe over wordt aangetrokken, zodat het sterfelijke door het leven wordt verslonden.  Daarom gemeente, wanneer u lijdt voor de Here, voor de waarheid, wees niet bang, want dat duurt voorlopig vergeleken met het eeuwig leven met de Vader in de hemel.

Laat ons daarom blij zijn, want de Here Jezus heeft al woningen voor ons klaarstaan. Johannes 14: 2 zegt:  2 In het huis van mijn Vader zijn veel kamers; zou ik anders gezegd hebben dat ik een plaats voor jullie gereed zal maken?

Laat ons dit leven in Christus vieren, ons bekeren van onze zonden, al onze wereldse zaken afmaken. Degenen die ons voorgaan zijn al bij de Schepper terug. Staan wij ook klaar om naar huis tegaan, is de vraag? Is alles al af, en kunnen wij al naar huis gaan? Moge God de treurenden troosten en aansterken en ons helpen in onze voorbereiding terug naar huis te gaan, naar God. Amen.

Ds Binsar Jonathan Pakpahan

Viewed 29092 times by 11724 viewers

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *