Allah Turut Menderita Atau Turut Berjuang?

Jun 18, 2009 6:18 PM

by binsar

This was an old paper I wrote in the seminary. Interesting article

The God of Victims, atau The God Who is Struggling With The Victims![1

Pendahuluan

The God of Gospel is clearly a candidate for the role of the God of victims.[2 René Girard menyatakan thesis ini di dalam kalimat pembuka essainya. Allah yang ada di dalam Injil jelas adalah seorang kandidat bagi peran Allah para korban. Istilah yang digunakan oleh Girard adalah istilah yang sangat sering terdengar belakangan ini. Allah yang ada di Injil adalah Allah yang turut menderita. Allah yang turut menangis bersama para korban.

Yang menjadi permasalahan di sini ada pada kata yang digunakan oleh Girard. Allah para korban. Secara linguis, Allah para korban berarti Allah yang bersama-sama dengan korban. “Christ is the God of victims primarily because he shares their lot until the end.[3 Kristus adalah Allah yang turut berbagi penderitaan bersama para korban. Ada semacam rasa penyerahan di dalam kata tersebut. Ada rasa penerimaan, dan Allah adalah Allah yang menderita bersama kita.

Penulis ingin mengusulkan sebuah bentuk psiko-linguis yang baru. Bukan dengan menggunakan istilah “Allah Para Korban”, melainkan “Allah yang berjuang bersama para korban.” Dengan menggunakan istilah “berjuang bersama”, pengertian Allah Para korban diberikan sebuah makna baru yang lebih dalam. Sebuah kata yang lebih memberikan rasa optimisme di dalam maknanya. Penulis akan mengeksplorasi lebih lanjut usulan ini di dalam paper ini. Penulis akan membahas filosofi semangat hidup orang Indonesia dalam memahami posisi Allah di dalam penderitaannya. Psikolinguistik yang digunakan oleh Kristeva[4 sedikit banyak memberi masukan tersendiri bagi filosofi semangat yang baru ini. Usulan ini sendiri diharapkan akan dapat membawa angin baru di dalam berteologi di Indonesia. Berteologi di dalam konteks penderitaan, dan berteologi dengan “Allah yang berjuang bersama para korban.”

Tabah atau Optimis?

Ketika korban mengalami penderitaan, kata penghiburan manakah yang lebih positif kedengarannya, “Tetap tabah!” atau “Tetap optimis!”. Baiklah kita menilainya dengan hati-hati. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “tabah” berarti: “tetap dan kuat hati (dalam menghadapi berbagi bahaya, dan sebagainya).” Sementara itu “optimis”, yang adalah resapan dari kata optimist dalam KBBI berarti: “orang yang selalu berpengharapan (berpandangan baik) dalam menghadapi segala hal.” Kedua kata ini dapat digunakan sebagai kata penghiburan bagi orang yang sedang dilanda kesusahan. “Tetap tabah!” dan “tetap optimis!”. Sekali lagi, manakah yang terdengar lebih positif?

Kata “tetap tabah!” adalah kata yang memang menghibur, namun memiliki makna agar sang korban tetap menerima penderitaan yang dialaminya dan agar dia tetap kuat hati, atau tetap sabar dalam menghadapi penderitaan. Kata “tetap optimis!” adalah kata yang terdengar lebih positif maknanya. Makna kata ini lebih membuat kita terdorong untuk memandang segala sesuatu dari segi positifnya dan tidak ragu untuk mencoba dan memperbaharui nasib kita, meskipun terkadang kita gagal.

Secara psikolinguitik, bahasa berhubungan dengan jiwa. Bahasa adalah struktur dinamis, dan itu mendorong identitas kita. Sebelum ada identitas, bahasa sudah terlebih dahulu ada. Karena itu bahasa juga mempengaruhi tindakan kita karena dia berhubungan dengan jiwa. Bahasa apa yang digunakan sangat berpengaruh dan menentukan apakah dia menjadi “optimis” atau “sabtu)

Begitu juga yang terjadi dengan istilah “Allah para korban.” Kata ini sepertinya membuat kita lebih “tabah” dan bukan menjadi lebih “optimis”. Ketabahan tersebut, ditambah dengan mental yang selalu menerima takdir dan suratan tangan, ditambah dengan budaya sopan santun dan penuh dengan basa-basi (tidak langsung ke permasalahan), menambah lengkap kombinasi yang dapat menjadikan orang Indonesia tetap tabah menerima penderitaan yang mereka alami. Bahkan kemudian hal ini bisa lebih menjerumuskan ketika dirasakan (semoga tidak) bahwa Allah hadir bagi orang yang susah, dan oleh karenanya sebaiknya terus menjadi korban agar Allah tetap bersama kita. Kombinasi sifat-sifat semacam ini akan menjadi sebuah hal yang sangat menjerumuskan, dan membuat orang lupa untuk memperbaiki keadaan yang sedang mereka hadapi.Allah Para Korban

Girrad mengatakan bahwa yang dimaksudkannya dengan Allah para korban bukanlah Allah yang tidak melakukan apa-apa dalam menolong korbannya. Namun Allah tidak dapat memaksa manusia. Yang dapat dilakukan Allah adalah membujuknya, dan berusaha meyakinkan bahwa Allah bekerja bersama mereka.

Di sini psikolinguistik berperan. Secara psikologis, pemahaman bahwa “Allah adalah Allah bagi para korban,” tanpa memberikan arti lebih lanjut kepada kata-kata tersebut adalah sangat merugikan. Secara psikologis, mental korban yang terbangun adalah mental orang yang tertindas. Psikologi yang tercipta adalah psikologi pasrah dan menerima penderitaan karena Allah beserta mereka.

Dengan mengatakan ”Allah para korban” tanpa memberikan arti apa-apa di dalamnya adalah berarti menyerahkan diri kepada keputusan Allah karena Dia ada bersama kita, dan itu adalah keputusan-Nya. Hal ini berkaitan erat dengan semangat untuk membawa perubahan bagi penderitaan yang dialami para korban. Korban akan merasa lebih menerima keadaan penderitaannya karena Allah hadir bersama mereka. Allah adalah Allah bagi para korban. “Kita yang menjadi korban memiliki hak khusus dan keistimewaan karena Allah bersama kita.” “Kita harus pasrah kepada nasib yang telah menimpa kita. Kita berserah saja kepada takdir. Itu sudah suratan tangan kita.”

Sebuah masalah timbul di sini. Pemberian label yang sedemikian terhadap Allah, dan mengenalkannya kepada korban penderitaan, tanpa memberikan dorongan untuk keluar dari penderitaan yang dihadapi oleh korban tersebut, akan membuat mereka terlena dalam ketidakberdayaannya. Ketika para korban sudah terlena dalam ketidakberdayaannya, mental para korban akan selamanya menjadi mental korban, mental orang yang tertindas, tanpa ada kemauan merubah nasib mereka.

Secara simbolik, penyertaan Allah itu harusnya berarti Allah yang turut bekerja bersama korban dan turut membantu korban tersebut keluar dari penderitaan yang mereka hadapi. Allah para korban tidak berarti Allah yang sudah menyediakan tempat bagi para korban itu dan menyediakan diri untuk menemani mereka. Allah para korban tidak berarti Allah yang sudah menentukan nasib dan takdir bagi para korban tersebut untuk menderita. Girrard secara implisit sudah mengemukakan hal ini.

Namun kata memiliki dampak kepada arti dari keseluruhan. Kata yang digunakan Girrard tersebut bersifat memanjakan (paling tidak menurut penulis di dalam konteks Indonesia sekarang ini). Dampaknya bisa kita lihat dalam konteks penderitaan Indonesia. Budaya “menerima” atau “nerimo” takdir yang menimpa mereka, menjadi mendapat legitimasi atas keterlenaan penderitaan korban tersebut. “Allah para korban” sepertinya belum cukup memadai (atau mungkin belum cukup merangsang) para korban untuk bangkit dari keterlenaannya. Kata-kata “Allah para korban” adalah kata-kata yang lebih cocok sebagai kata penghiburan dan kata penguatan. Kata-kata tersebut belum dapat menjadi pendorong korban keluar dari penderitaannya.

Konteks Indonesia

Penderitaan yang sedang dialami oleh sebagian besar rakyat bangsa Indonesia (karena masih ada sebagian kecil lagi yang masih bergelimang dengan harta), adalah penderitaan yang harus dihadapi. Penderitaan tersebut seharusnya jangan hanya diterima, tetapi juga harus diperbaiki. Semangat ini harus dimulai dari falsafah hidup dan kata-kata yang digunakan sebagai wakil dari tindakan kita.

Teologi ketabahan banyak berkembang di Indonesia, dan Asia pada umumnya. Allah dipandang sebagai Allah yang turut menderita bersama kita. Allah turut merasakan penderitaan dan turut menangis bersama kita. Namun, proses yang lebih lanjut sering terlupakan oleh masyarakat itu sendiri, bahwa Allah yang turut menangis bersama korban tersebut adalah Allah yang menginginkan juga ada usaha untuk memperbaiki keadaan dari para korban tersebut. Jangan-jangan proses yang terlupakan ini dikarenakan keterlenaan sang korban tersebut.

Allah turut menderita bersama korban, tetapi Allah juga berusaha membangun korban tersebut dengan penyertaan-Nya tersebut. Ini adalah sisi “optimis” dari teologi ketabahan. Namun, nama “teologi ketabahan” sendiri sudah memberikan sebuah arti yang pasif dan reseptif, berbeda dengan isinya yang menggambarkan bagaimana Allah kemudian menginginkan sebuah usaha dari para korban untuk memperbaiki keadaan. Penulis merasa bahwa penggunaan kata yang tepat dan juga arti yang dibawa di dalam kata itu adalah sebuah hal penting dalam memberi nama atau dalam segala hal (bahkan berpengaruh pada mental sebuah bangsa).

Seringkali pemaknaan kata tersebut berhenti hanya sampai kepada rasa penerimaan nasib, rasa pasrah. Ini mungkin agak sedikit terbawa dengan filsafat timur (tao) yang mengatakan bahwa alam ini haruslah seimbang. Apabila engkau menjadi seorang petani, jadilah seorang petani yang baik. Apabila engkau menjadi seorang hamba, jadilah seorang hamba yang baik. Apabila engkau seorang penguasa, jadilah seorang penguasa yang baik. Apabila semua orang melaksanakan tugasnya dengan baik, alam akan berjalan dengan baik pula. Akhirnya pemaknaan terhadap Allah yang menderita, atau Allah para korban, berhenti kepada pemaknaan bahwa Allah menderita bersama kita, karena itu adalah suratan nasib. Itu adalah takdir. Arti kata sebenarnya yang ingin dicapai, yaitu Allah yang mau berjuang bersama korban menjadi tertinggal karena berhentinya pemaknaan sampai kepada ‘takdir’ tersebut.

Secara pribadi penulis merasa kejatuhan yang sedang dialami bangsa Indonesia pada saat ini sedikit banyak dipengaruhi oleh semangat hidup yang bersikap menerima dan pasrah terhadap nasib. Pandangan bahwa Allah sudah menentukan nasib semua orang. Dan karenanya apabila bangsa Indonesia sedang terpuruk, maka itu sudah takdir dari Allah yang tidak bisa dilawan lagi. Keterpurukan tersebut adalah sesuatu hal yang wajar dan normal, sehingga dia diterima apa adanya. Lebih lanjut lagi, hal ini membuat banyak orang menyerah terhadap penderitaan yang dialaminya. Ini adalah dampak dari ke-“tabah”-an.

Sebuah Rekonstruksi

Apakah arti sebuah nama? Nama bisa sangat berarti bagi pemiliknya, dan bisa juga tidak berarti apa-apa bagi penyandang nama tersebut. Namun secara psikologis, ada sebuah dorongan dan harapan yang diberikan ketika seseorang (orangtua, famili, kerabat, dan siapa saja) memberikan nama kepada seorang manusia baru yang hadir di dunia ini.

Teologi di kebanyakan daerah di Indonesia (atau kalau bisa dikatakan di banyak daerah juga di Asia) adalah teologi yang menyatakan bahwa Allah turut menderita bersama para korban. Memang arti kata tersebut tidak sampai di situ. Allah yang menderita. Namun, sebenarnya maksudnya adalah Allah yang berempati terhadap penderitaan yang dihadapi oleh para korban, dan mau berjuang bersama mereka. Selain nada penguatan, nada penerimaan nasib, ada juga secercah nada optimisme (seharusnya) di dalam kata “Allah yang turut menderita.” Penulis ingin menawarkan sebuah proses dekonstruksi dan sebuah pemberian kata baru, dengan makna yang lebih “optimis”.

Teologi yang berkembang di Amerika Latin (theology of liberation) dan Amerika Utara (black theology) adalah teologi yang membebaskan. Teologi mereka yang lahir dari filosofi hidup mereka yang penuh semangat pembaharuan membawa semangat baru bagi pembebasan mereka atas penderitaan perbudakan, kemiskinan, dan lain-lain. Hal ini tercermin dari irama musik dan perayaan-perayaan kebudayaan mereka. Negro Spiritual adalah bentuk musik dan ekspresi orang-orang kulit hitam di Amerika Serikat dalam menghadapi perbudakan yang disetujui oleh gereja. Semua teologi dan gerak kehidupan mereka diisi dengan semangat pembebasan. Rasa optimis menyelimuti setiap langkah orang kulit hitam. Rasa optimis bahwa Allah akan membebaskan mereka dari penderitaan mereka. Allah memang turut menderita, namun Allah juga akan membebaskan. Semangat ini membuat para korban di Amerika Latin dan Amerika Utara, korban perbudakan maupun kolonialisasi, menjadi lebih tergerak memperjuangkan kebebasan mereka sendiri. Mereka tidak pasrah menerima takdir. Mereka tidak terlena sebagai korban. Dan akhirnya mereka dapat bangkit mengatasi perbudakan itu.

Penulis merasa jika teologi di Indonesia ingin lebih berhasil, maka istilah “Allah Para Korban” harus diparafrasekan dan diberi kata yang bermakna lebih positif. Penulis mengusulkan “Allah Yang Berjuang Bersama Para Korban.” “The God Who Is Struggling With The Victims.” Kata ‘berjuang bersama’ akan menunjukkan bahwa Allah tidak pasif di dalam penyertaannya dengan para korban. Allah adalah Allah yang aktif berjuang bersama para korban agar mereka bisa keluar dari penderitaan mereka.

Allah Yang Berjuang Bersama Para Korban

Allah yang ada di dalam Injil jelaslah seorang Allah yang turut berjuang bersama para korban. Kristus menunjukkan hal ini melalui perjuangannya yang radikal pada masa itu. Yesus bukanlah seorang penyelamat yang pasif, dan juga tidak serta merta menolong yang lain. Secara agresif, dia memperbaharui keadaan orang-orang yang mengalami penderitaan, bahkan orang-orang datang kepada Dia untuk meminta pertolongan-Nya.

Sudah saatnya teologi ketabahan dimaknakan ulang atau dinamakan ulang, terutama bagi konteks Indonesia. Allah yang ada di Injil adalah Allah Yang Turut Menderita. Kebutuhan bangsa Indonesia saat ini adalah action dan bukan hanya sikap yang menerima. Semangat akan pembebasan harusnya bisa menjadi sebuah jalan baru bagi teologi di Indonesia, dan Asia pada umumnya, memberikan rasa optimis yang diperlukan para korban tersebut dalam menghadapi penderitaannya dan juga semangat untuk melaksanakan usaha perbaikan tersebut. “Allah Yang Berjuang Bersama Para Korban.”


[1 Terjemahan penulis: Allah Para Korban, atau Allah Yang Berjuang Bersama Para Korban!

[2 Rene Girard, “The God of Victims” dalam Graham Ward (ed.), The Postmodern God, A Theological Reader (Oxford: Blackwell Publishers, 1997), h. 105.

[3 Ibid., h. 107.

[4 Julia Kristeva, “From The Beginning was

Viewed 13171 times by 4099 viewers

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *