Belajar Meraba Sang Gajah

sixBELAJAR MERABA SANG GAJAH

Pencarian dan Penentuan Kebenaran dalam Dunia Postmodern melalui Analisis Filosofis mengenai Kisah Enam Orang Buta dan Sang Gajah

 

Kebenaran Allah adalah mutlak. Sebagai orang yang datang dari latar belakang kekristenan dan berpendidikan teologi, saya harus berangkat dari presuposisi ini.

Namun bagaimana kita sebagai makhluk terbatas mengetahui apa itu kebenaran?

Ada hal yang menarik dalam cerita 6 orang buta yang belajar mengenali seekor gajah melalui rabaan tangan mereka.

Untuk memulai tafsir, konteks menjadi hal yang sangat penting untuk dipahami. Satu hal yang bisa saya tangkap dalam cerita 6 orang ini adalah bahwa kebutaan adalah konteks umum.

Orang pertama mengatakan gajah seperti tembok sebab yang dia meraba adalah perut gajah; orang kedua mengatakan gajah seperti tombak karena yang dipegangnya adalah gadingnya gajah; orang ketiga mengatakan gajah seperti ular karena yang dirabanya adalah belalainya; orang keempat mengatakan gajah seperti pohon karena yang dirabanya adalah kakinya; orang kelima mengatakan gajah seperti kipas angin karena yang dipegangnya adalah telinga gajah; dan orang buta keenam mengatakan gajah itu seperti tali karena yang dirabanya adalah ekornya gajah. Merold Westphal (2009) mengatakan bahwa meski keenam orang tersebut memiliki tafsir berbeda, tidak ada yang mengatakan bahwa gajah itu adalah keybord atau lemari arsip; karena objeknya memang tidak menggambarkan hal yang demikian.

Saya mau membawa kisah ini ke dalam pertanyaan lebih lanjut. Jika 6 orang buta meraba gajah dan berusaha mendeskripsikan apa gajah itu, apakah mereka tahu bahwa ada 5 orang lain yang sedang mencoba meraba dan bahwa mereka semua buta? Bukankah jika semua orang mengetahui kekurangannya, dia akan mau mendengarkan keterangan yang disampaikan oleh orang yang lain? Bagaimana cara menyatukan pendapat mereka semua, dan bagaimana cara mereka yang buta untuk mengetahui atau memiliki imaji yang menyeluruh? Apakah dengan cara membuat mereka bertukar tempat (crossing over) bisa membuat mereka mengafirmasi keseluruhan gajah yang sedang mereka teliti itu? Bagaimana mereka tahu apa itu gajah kalau tidak ada dari mereka yang pernah melihat gajah secara keseluruhan. Lalu, bolehkah mereka memberi nama yang berbeda dari nama yang dimiliki gajah itu, sebagai penamaan dan pemaknaan akan pertukaran informasi mengenai hal yang mereka raba? Jika mereka sudah memberi nama, bolehkah mereka memperkenalkan nama baru terhadap orang lain dengan nama yang berbeda? Bisakah gajah itu sendiri membenarkan dan mengafirmasi pendapat mereka lalu mengatakan bahwa itulah sang gajah sesungguhnya? Apakah gajah itu sendiri bisa menjelaskan dirinya dan memiliki pemahaman yang benar mengenai ke’gajah’annya?

Pembicaraan mengenai tafsir selalu memiliki hubungan dengan sang penafsir. Bagaimana kondisi dan peran sang penafsir dalam mengartikan objek? Apakah objek juga bisa menjadi subjek yang menerangkan dirinya kepada subjek yang lain? Saya meragukan kemungkinan ini, bahwa tidak semua objek bisa menjadi subjek.

Beberapa filosof menghindari pembicaraan mengenai kebenaran dan mulai mencari jejak dan ciri kebenaran tanpa mendefinisikan apa itu kebenaran. Karena itu, kebenaran menjadi pembicaraan mengenai kesepakatan kriteria.

Kebenaran jadi bicara soal ciri/rambu/kriteria, yang berasal dari pengalaman yang enam orang. Apakah yang enam orang yang menyepakati beberapa kriteria mereka akan mampu menerima ciri lain yang diajukan oleh orang yang merasa juga telah meraba sang gajah.

Metode meraba juga perlu dibicarakan. Apakah ada yang meraba dengan mengusap hanya sebesar lingkaran tangannya, atau adakah yang hanya meraba dengan seputar siku tangannya.

Kriteria menerima hasil laporan rabaan dan siapa yang akan meraba juga perlu disepakati untuk kemudian terbuka untuk direvisi. Hal-hal ini menjadi krusial untuk meraba, mengetahui, dan menyepakati makna sang objek yang kemudian menjadi subjek pada dirinya sendiri.

Penjelasan di atas menggambarkan kekuatan dan kelemahan dari pencarian kebenaran dalam dunia postmodern. Karena itu, dalam beberapa hal, kita memerlukan lompatan kepercayaan untuk meyakini suatu hal adalah benar, dan memiliki keraguan untuk mempertanyakannya, bukan untuk membongkarnya sama sekali, melainkan untuk memperkokoh fondasi apa yang kita anggap benar tersebut.

Dalam pergumulan ini, suatu pegangan akan kepastian, membuat seseorang bisa berkelana jauh karena yakin bisa kembali ke tempat asalnya. Ketika dia kembali ke tempat asal, dia yang telah berkelana pasti memiliki pemahaman yang berbeda dibanding ketika dia memulai perjalanannya.

Sebagai seseorang yang lebih dulu mengambil studi teologi lalu memperdalam filsafat, saya menganalisis kedua starting points dalam studi lebih lanjut lagi mengenai bidang lainnya akan memperkaya pemahaman seseorang akan apa yang dia percaya. Namun, dengan pegangan iman, saya mampu mempertanyakan di banyak kesempatan mengenai apa yang saya percaya, dan membangunnya dengan lebih sistematis dan kritis, tanpa pernah meragukan bahwa saya akan kehilangan tafsir saya karena saya sedang meraba satu bagian dari sang gajah. Saya hanya perlu mendengar suara yang lain yang juga sedang meraba gajah itu.

Viewed 50641 times by 4617 viewers

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *