Jemaat Sebagai Keluarga Allah

1 Timotius 5:1,2 & 1 Timotius 3:15

Saudara-saudara yang terkasih dalam Kristus,

Setelah berada di Belanda dan mengamati keluarga Indonesia, Belanda, dan campuran, maka saya ingin berbagi hasil pengamatan saya mengenai jenis keluarga di Belanda ini, khususnya di dalam GKIN. Pengamatan saya ini saya bagi berdasarkan cara anak merespons dan memanggil orangtua atau orang yang lebih tua dari mereka

Yang pertama adalah keluarga yang memanggil orangtuanya dengan “U”. Anak-anak dalam keluarga ini juga banyak memanggil orang tua lainnya dengan sebutan U. Mereka biasanya rajin mengikuti kumpulan-kumpulan keluarga. Ada juga anggota keluarga tipe ini yang lahir di Belanda, tetapi orangtuanya masih memegang prinsip pengajaran di Indonesia. Mereka akan segan terhadap anggota keluarga yang lebih tua dan biasanya sulit berkata tidak apabila diminta tolong oleh keluarganya. Tidak ada konflik kecil karena banyaknya perasaan yang dipendam. Tetapi konflik besar dalam keluarga seperti ini biasanya berlangsung lama karena kurang keterbukaan dan ada perasaan segan dan hormat kepada yang lebih tua. Biasanya mereka memanggil pendeta dengan sebutan “Pendeta”atau “Dominee” atau “Bapak”.

Yang kedua adalah keluarga di mana orangtua dipanggil “Mama” dan “Papa”, tetapi dengan kombinasi “jij”. Mereka ini biasanya sudah dibesarkan di Belanda. Keluarga ini biasanya terlihat fleksibel. Dalam keluarga ini orangtua masih bisa bersuara dan memiliki hak veto terhadap anaknya. Sang anak memiliki kebebasan dalam menentukan hidupnya, tapi dia masih mendengarkan suara orangtuanya. Kehidupan dengan anggota keluarga lain dekat, tetapi hanya dengan keluarga inti. keluarga ini biasanya demokratis, tetapi pada tahap tertentu, orangtua masih berkuasa. Konflik dalam keluarga ini tidak besar karena banyak perdebatan kecil, tetapi jarang sekali terjadi perasaan yang dipendam. Orangtua tetap memegang keputusan terakhir. Biasanya mereka memanggil pendeta dengan Pendeta atau nama.

Yang ketiga adalah keluarga yang masih memanggil “mama” dan “papa” tetapi kadang-kadang memanggil nama orangtuanya juga. Dalam keluarga ini semua anggota adalah mandiri. Mereka ini umumnya tidak begitu tertarik terhadap kehidupan keluarga setelah mereka keluar dari rumah. Mereka memiliki beberapa teman dekat tetapi tidak banyak. Anak-anak sudah dibiarkan sendiri sesudah mereka kuliah. Orangtua tidak punya hak suara lagi atas hidup anak mereka ketika mereka sudah dewasa. Interaksi dengan keluarga dilakukan dalam kesetaraan. Keluarga ini sangat terbuka dalam menyatakan perasaan mereka dan karenanya tidak ada perasaan yang terpendam. Perbedaan pendapat dihargai dan tidak semua orang harus menyetujui keputusan yang diambil. Biasanya anggota keluarga memanggil Pendeta dengan nama depan.

Ketiga contoh interaksi di dalam keluarga ini tidak mutlak. Kadang sebuah keluarga memiliki dua jenis tipe yang terbagi dalam dua generasi. Dan ketiga contoh ini semuanya sepertinya ada di dalam gereja kita GKIN secara umum.

Kita tentu sering mendengar ungkapan gereja sebagai sebuah keluarga. Bahwa kita semua adalah bersaudara di dalam Kristus. Namun, saya ingin mengingatkan bahwa konsep kita tentang keluarga juga tidak sama. Karena itu perlakuan kita terhadap saudara seiman kita juga tidak sama.

Saudara-saudara yang terkasih dalam Kristus,

Tema khotbah hari ini adalah mengenai gereja sebagai keluarga Allah. Tema Gereja sebagai keluarga sangat terlihat di dalam surat Paulus kepada Timotius yang pertama. Paulus menggunakan analogi keluarga untuk menjelaskan tatanan, sistem, dan kewajiban di dalam Gereja. Paulus juga memanggil Timotius sebagai “anak” (1 Tim 1:2, 18) untuk mengungkapkan kasihnya dan juga hubungan guru dan murid di antara mereka. Karena itu Paulus juga menasihati Timotius untuk “tidak memarahi dengan keras orang yang lebih tua dari padanya, melainkan mengajak orang yang lebih tua untuk mendengarkan kata-katamu seolah-olah ia bapakmu. Perlakukanlah orang-orang muda sebagai saudara,  dan wanita-wanita tua sebagai ibu. Wanita-wanita muda hendaklah engkau perlakukan sebagai adik, dengan sikap yang murni.”

Hal ini diberitahu kepada Timotius karena dia masih berusia muda (antara usia 30-35) ketika dia memulai pelayanannya sebagai pemimpin jemaat. Karena itu Paulus memberi petunjuk kepadanya mengenai bagaimana bertindak kepada orang yang nanti akan dipimpinnya di dalam Jemaat.

Petunjuk untuk melihat Gereja sebagai sebuah keluarga juga diberikan sebagai syarat seseorang yang ingin menjadi penatua.  Seseorang yang ingin mengurus Jemaat harus terlebih dahulu mampu mengurus keluarganya sendiri (1 Tim. 3:5).  Kemampuan untuk “mengepalai” keluarga juga dibutuhkan dalam mengelola Jemaat (dalam bahasa Yunani (be at the head (of), rule direct; be concerned about, care for, give aid). Artinya manajemen yang digunakan di dalam gereja adalah manajemen kekeluargaan.

Lalu, tema Jemaat sebagai sebuah keluarga sangat terlihat di 1 Timotius 3: 15, Paulus mengingatkan Timotius, bahwa jika dia terlambat datang menemui Timotius, Timotius tetap sudah tahu “bagaimana orang harus hidup sebagai keluarga Allah, yakni jemaat dari Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran.”

Surat Paulus sangat jelas menunjukkan bahwa sebuah gereja adalah seperti sebuah keluarga, yang saling memperlakukan seorang dengan yang lain seperti anggota keluarga sendiri, merawat kalau ada yang kesusahan (1 Tim. 5:5,16).

Saudara-saudara terkasih dalam Kristus,

Persaudaraan seperti apa yang kita maksud ketika kita menvatakan gereja sebagai sebuah keluarga? Ini adalah sebuah hal yang penting dalam memahami persaudaraan kita di dalam gereja. Ini juga yang membuat beberapa gereja memiliki pemahaman yang berbeda mengenai gereja sebagai sebuah keluarga, karena memang tiap orang memiliki tafsiran yang berbeda mengenai keluarga.

Kalau begitu ada baiknya kita kembali ke Alkitab untuk melihat apa yang Paulus maksud dengan keluarga. Keluarga di sini adalah kumpulan manusia yang saling mengasihi, tapi juga memiliki rasa hormat terhadap anggota keluarga yang lain. Ada sebuah struktur hierarki di dalam keluarga Yahudi zaman Paulus hidup. Biasanya yang memegang kendali di budaya Yahudi yang patriarchal adalah sang Bapak. Perempuan juga memiliki peran yang tidak kalah penting meskipun tidak begitu sering disebutkan. Yang bisa kita contoh adalah hubungan keluarga yang sangat erat di antara mereka sehingga yang satu rela berkorban untuk yang lain.

Yang terutama adalah bahwa dalam persaudaraan ini ada sebuah ikatan yang erat dengan rasa hormat. Struktur gereja tidak dibangun atas asas demokrasi, melainkan teokrasi yaitu dipimpin oleh Tuhan. Artinya, pada suatu saat sebuah keluarga mendengarkan keputusan akhir dari Tuhan melalui musyawarah keluarga yang keputusan akhirnya biasanya diambil oleh orang yang dituakan di dalam keluarga.

Inti khotbah hari ini sebenarnya adalah bagaimana kita bisa hidup sebagai sebuah keluarga di dalam Tuhan. Kehidupan kita di dalam Jemaat adalah kebersamaan kita dengan berbagai kepribadian dan juga latar belakang. Artinya orang yang duduk di sebelah anda, di depan anda, di belakang anda, semuanya adalah anggota keluarga anda dalam Kristus. Sebagai anggota keluarga, dalam pengertian yang Paulus berikan, kita harus memperlakukan yang lain dengan hormat dan kasih sayang.

Di dalam tradisi Yahudi, ketika konflik terjadi di dalam sebuah keluarga, hukuman bisa dijatuhkan, perdebatan boleh terjadi, namun pada akhirnya semua kembali menjadi rukun karena itu adalah keluarga. Ikatan keluarga sangat dekat, bahkan lebih dekat dari agama. Karena itu orang mengatakan bahwa Yahudi itu sebenarnya sebuah budaya bukan hanya sebuah agama. Ini bisa kita lihat sebagai sebuah nilai positif bahwa di dalam konflik kita masih tetap bersama karena kita adalah keluarga.

Saudara-saudara,

Hubungan keluarga yang hendak kita terapkan di dalam gereja juga merupakan cerminan dari hubungan keluarga yang kita miliki di rumah. Apabila kita memperlakukan saudara-saudara kita di gereja dengan hormat dan kasih sayang berarti kita juga melakukan hal yang sama di rumah.

Apabila hubungan keluarga kita rommelig, maka kita juga akan berlaku hal yang sama di dalam gereja. Apabila semua orang boleh bicara di rumah, semua menganut prinsip demokrasi, maka kita juga akan menerapkan prinsip yang sama di dalam gereja. Apabila kita biasa bergantung pada anggota keluarga lain, dan memiliki ekspektasi yang besar terhadap keluarga, maka kemungkinan kita juga jadi kecewa ketika anggota gereja yang lain tidak menolong kita ketika kita berada dalam kesulitan. Sementara bagi mereka yang biasa independen di dalam keluarga, mereka cenderung melakukan semuanya sendiri dan hanya akan meminta tolong ketika diperlukan.

Ini adalah hal yang perlu kita sadari dan kita ingat bersama ketika kita memasuki keluarga Tuhan. Sadarilah bahwa ketika kita masuk ke dalam keluarga Tuhan maka tidak ada lagi pola berkeluarga seperti orang Batak, Manado, Chinese, Jawa, yang ada adalah pola berkeluarga dalam Kristus sebagai kepala gereja. Jika demikian, kita akan mulai memperlakukan yang lain dengan hormat dan penuh kasih.

Konflik terjadi di dalam gereja, di dalam keluarga kita ini, ketika orang membawa pengertian keluarganya sendiri ke dalam gereja – apapun itu. Pola yang berjalan di rumah kita masing-masing belum tentu bisa berjalan di gereja karena kita semua punya pengertian yang berbeda. Tetapi dengan mengingat Kristus sebagai kepala keluarga, maka kita menjadi lebih sensitif dan lebih pengertian terhadap anggota keluarga yang berbeda dengan kita. Anggota keluarga yang berbeda juga merupakan bagian dari keluarga kita. Kita mengasihi dan menghukum yang lain seperti layaknya anggota keluarga yang lain di dalam keluarga Tuhan.

Saudara-saudara terkasih dalam Kristus,

Lihatlah sekeliling saudara. Lihatlah ke depan, ke belakang, ke samping kiri, kanan, inilah saudara-saudaramu dalam Kristus. Inilah orang-orang yang saling menghormati dan menyayangi di dalam Kristus. Ingatlah ini, dan teruslah hidup bersama, dalam damai dan kasih, dalam Kristus. Amin.

—–

Vertaling

1 Timoteüs 5:1,2 & 1 Timoteüs 3:15

De Gemeente als Familie van God.

“…voor het geval ik mocht worden opgehouden. Dan weet je hoe men zich moet gedragen in het huis van God, dat wil zeggen de kerk van de levende God, fundament en pijler van de waarheid.”

Geliefde broeders en zusters in Christus,

Nu ik al enige tijd in Nederland ben en Indonesische, Nederlandse en gemengde gezinnen heb geobserveerd, wil ik graag mijn observaties over dit soort gezinnen in Nederland, met name binnen de GKIN, delen. Deze observaties van mij zijn vooral gebaseerd op hoe kinderen reageren op ouders of andere familieleden die ouder zijn dan zij, en hoe zij hen aanspreken.

In de eerste plaats zijn er de families waarbij de ouders met “U” worden aangesproken. Kinderen in deze gezinnen spreken andere ouderen ook vaak aan met “U”. Ze nemen gewoonlijk deel aan familiebijeenkomsten. Sommige leden van dit soort gezinnen zijn in Nederland geboren, maar de ouders houden nog altijd vast aan de opvoedprincipes van Indonesië. Zij hebben ontzag voor de oudere familieleden en zullen het moeilijk vinden nee te zeggen als de familie om hulp vraagt. Er zijn niet veel kleine conflicten omdat veel gevoelens verborgen gehouden worden. Maar grote conflicten duren in dit soort gezinnen doorgaans lang omdat men minder open is en er een gevoel van ontzag en respect is voor de ouderen. Meestal spreken zij een voorganger aan met het woord “Voorganger” of “Dominee” of “Bapak” (Vader).

Ten tweede zijn er de gezinnen waarin de ouders met “Mama” en “Papa” worden aangesproken, maar in combinatie met het woord “jij”. Deze zijn meestal in Nederland opgegroeid. Dit soort families komt meestal flexibel over. In deze families hebben ouders nog een stem en het vetorecht over hun kinderen. De kinderen hebben vrijheid in het bepalen van hun leven, maar zij luisteren nog altijd naar hun ouders. Zij leven dicht bij andere familieleden, maar enkel met die van het kerngezin. Deze gezinnen zijn meestal democratisch, maar tot op zekere hoogte hebben de ouders nog altijd de macht. Conflicten binnen deze gezinnen zijn niet groot, er wordt veel gedebatteerd over kleine kwesties maar gevoelens worden zelden onderdrukt. Definitieve beslissingen blijven door de ouders genomen worden. Doorgaans spreken zij een dominee als “Voorganger” aan, of noemen hem bij de naam.

Ten derde zijn er families waarbij de ouders nog als “mama” en “papa” worden aangesproken, maar af en toe ook bij naam. In deze families is ieder familielid zelfstandig. Ze zijn over het

algemeen niet zo geïnteresseerd in het gezin nadat zij het huis hebben verlaten. Zij hebben enkele goede vrienden, maar niet veel. De kinderen worden al met rust gelaten als zij naar de universiteit gaan. Hun ouders hebben geen recht van spreken meer over de levens van hun kinderen wanneer zij al volwassen zijn. Interactie met de familie vindt plaats op basis van gelijkwaardigheid. Dit soort families zijn zeer open in het uiten van gevoelens en daardoor zijn er geen verborgen emoties. Verschillen van mening worden gerespecteerd en niet iedereen hoeft genomen besluiten goed te keuren. Meestal noemen familieleden uit dit soort families de voorganger bij de voornaam.

De drie voorbeelden van interacties binnen families zijn niet absoluut. Soms is er sprake van twee types binnen een familie, en is er een onderscheid tussen twee generaties daarbinnen.

En deze drie voorbeelden lijken allemaal in onze kerk, de GKIN in het algemeen, te bestaan.

Wij horen zeker vaak de uitdrukking dat de kerk als een familie is. Dat wij allen broeders en zusters zijn in Christus. Maar ik wil jullie eraan herinneren, dat ons concept van het gezin ook niet hetzelfde is. Daarom is de manier waarop wij met broeders en zusters omgaan ook niet altijd hetzelfde.

Geliefde broeders en zusters in Christus,

Het thema van de preek van vandaag gaat over de kerk als Gods gezin. Het thema van de kerk als gezin wordt gevonden in de eerste brief van Paulus aan Timoteüs. Paulus gebruikt de analogie van het gezin om de structuur, het systeem en de verplichtingen binnen de kerk te verhelderen. Paulus spreekt Timoteüs ook aan als “zoon” (1 Tim. 1:2, 18) om zijn liefde uit te drukken en tevens de relatie van leraar en leerling die er tussen hun bestaat. Daarom raadt Paulus Timoteüs ook aan: “Ga niet tekeer tegen een oude man. Als je hem vermaant, beschouw hem dan als een vader, zoals je jonge mannen als broers moet zien, oude vrouwen als moeders en jonge vrouwen als zusters – en dit in alle zuiverheid.”

Dit werd verteld aan Timoteüs omdat hij nog jong was (tussen 30 en 35 jaar), toen hij begon met zijn bediening als leider in de gemeente. Daarom gaf Paulus hem advies zoals hoe hij moest handelen met mensen die binnenkort door hem in de Gemeente geleid zouden worden.

Advies om de kerk als een familie te zien, wordt ook als voorwaarde gegeven aan hen die ouderling willen worden. Iemand die zorg wil dragen voor de Gemeente moet eerst in staat zijn om zijn eigen familie te verzorgen (1 Tim. 3:5). In staat zijn om aan het hoofd te staan van een gezin is ook nodig bij het beheer in de Gemeente. (In het Grieks ‘prostenai’, aan het hoofd staan van, direct leiden; zich zorgen maken over, zorgen voor, hulp bieden). Dit betekent dat het management dat wordt gebruikt in de Gemeente een familiegeoriëneerd management is.

Voorts, het thema van de Gemeente als een gezin staat zeer duidelijk in 1 Timoteüs 3:15, Paulus herinnert Timoteüs eraan dat als hij te laat aankomt om Timoteüs te ontmoeten, Timoteüs echter al weet “hoe men zich moet gedragen in het huis van God, dat wil zeggen de kerk van de levende God, fundament en pijler van de waarheid”.

De brief van Paulus laat zeer duidelijk zien dat een kerk is als een familie, waarin mensen met elkaar omgaan als eigen familieleden, en zorgt voor hen die in moeilijkheden zijn. (1 Tim. 5:5,16).

Geliefde broeders en zusters in Christus,

Wat voor soort broederschap bedoelen we als wij de kerk uitleggen als een familie? Dit is een belangrijke kwestie bij het begrijpen van onze broederschap in de kerk. Dit is ook de reden waarom een aantal kerken een ander begrip hanteren van de kerk als gezin, want iedereen heeft een andere interpretatie van het gezin.

Als dat zo is, is het goed dat we teruggaan naar de Bijbel om te zien wat Paulus bedoelde met ‘gezin’ of ‘familie’. Hier is een familie een verzameling van mensen die elkaar liefhebben, maar die ook respect hebben voor andere familieleden. Er was een hiërarchische structuur in de joodse gezinnen ten tijde van Paulus. Wie normal gesproken de controle had binnen de patriarchale Joodse cultuur was de vader. Vrouwen hadden ook een rol die niet minder belangrijk was, hoewel deze niet zo vaak genoemd werd. Een voorbeeld dat we kunnen navolgen is die van een zeer hechte familieband, zodat de een bereid is zich op te offeren voor de ander.

Het belangrijkste is dat er een hechte band in deze broederschap is, met een gevoel van respect. De structuur van de kerk is niet gebouwd op de beginselen van de democratie, maar van een theocratie die wordt geleid door God. Dat wil zeggen, dat een gezin op een gegeven moment luistert naar de definitieve beslissing van God door middel van familieoverleg waarbij de uiteindelijke beslissing meestal genomen wordt door iemand die in het gezin als ‘oud’ wordt aangezien of die men als oudste beschouwt.

De kern van de preek van vandaag is werkelijk hoe wij kunnen leven als een familie in de Heer. Ons leven binnen de gemeente is onze saamhorigheid met verschillende persoonlijkheden en achtergronden. Dat betekent dat de personen die naast je zitten, en voor en achter je, allemaal familieleden van je zijn in Christus. Als familieleden in de betekenis die Paulus geeft, moeten wij anderen behandelen met respect en genegenheid.

Binnen de Joodse traditie, als er een conflict ontstaat binnen een familie, kan er een straf worden opgelegd, kan er een debat plaatsvinden, maar uiteindelijk zal iedereen weer eensgezind worden want het betreft een familie. Familieverbanden zijn zeer hecht, zelfs hechter dan die van het geloof. Daarom zeggen mensen over Joden dat zij in feite een cultuur vormen, en niet alleen een geloof. Wij kunnen dit beschouwen als een positieve waarde, dat wij in een conflict nog steeds samen zijn, omdat wij familie zijn.

Broeders en zusters,

De familierelaties die wij willen toepassen binnen de kerk vormen ook een weerspiegeling van de familierelaties die wij thuis hebben. Als wij onze broeders en zusters in de kerk met respect en genegenheid behandelen, betekent dit dat wij thuis hetzelfde doen. Als onze familierelatie rommelig is, zullen wij ons ook zo gedragen in de kerk. Als iedereen zich mag uitspreken binnen het gezin, en iedereen het principe van de democratie navolgt, zullen wij ook hetzelfde principe toepassen binnen de kerk. Als wij gewend zijn afhankelijk te zijn van andere familieleden, en grote verwachtingen hebben ten aanzien van de familie, zullen wij waarschijnlijk ook teleurgesteld zijn als andere leden van de kerk ons niet helpen als wij ons in moeilijkheden bevinden. Terwijl het voor hun gewoon is om onafhankelijk te zijn binnen hun familie en zij alles gewoonlijk zelf doen en alleen om hulp zullen vragen als dit echt nodig is.

Dit is iets wat wij ons moeten realiseren en waaraan wij ons samen moeten herinneren als wij ons aansluiten bij het gezin van de Heer. Ons realiseren dat als wij ons aansluiten bij het gezin van de Heer, er geen familiestructuren meer zijn zoals die van de Bataks, Menadonezen, Chinezen en Javanen, maar dat er een familiestructuur binnen Christus als hoofd van de kerk. Als dit zo is, zullen wij beginnen anderen te behandelen met respect en vol liefde.

Conflicten ontstaan binnen de kerk, binnen onze families, als mensen hun eigen begrip van hun familie binnen de kerk brengen – wat dit ook is. Structuren die werken binnen onze huizen hoeven niet zeker ook te werken binnen de kerk, want wij hebben allemaal verschillende ideeen erover. Echter, met de gedachte aan Christus als hoofd van het gezin, worden wij meer gevoelig en mee begripvol ten aanzien van familieleden die anders zijn dan ons. Familieleden die verschillend zijn vormen ook onderdeel van onze familie. Wij hebben anderen lief en straffen ze net zoals andere familieleden binnen het gezin van de Heer.

Geliefde broeders en zusters in Christus,

Kijk om je heen. Kijk naar voren, naar achteren, links en rechts naast je, dit zijn broeders en zusters in Christus. Dit zijn mensen die elkaar respecteren en liefhebben in Christus. Denk hieraan, en leef verder gezamenlijk in vrede en liefde, in Christus. Amen.

Viewed 20781 times by 7342 viewers

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *