Politik Pendidikan dan Perubahan Sosial

(paper kelompok semester 9, STTJ)

Pendahuluan

taken from @nursarifahainy.wordpress.com

Pendidikan pasti menghasilkan perubahan. Perubahan tersebut dapat terjadi hanya pada individu terdidik, tetapi juga dapat terjadi pada aras sosial. Pendidikan memberikan sumbangan pada perubahan sosial yang terjadi pada individu maupun masyarakat.

Kita juga akan melihat lebih lanjut bagaimana sebenarnya pendidikan itu terkait dengan politik, yaitu politik pendidikan. Politik pendidikan adalah policy yang ditetapkan sebagai kebijakan pemerintah untuk menjalankan pendidikan di negaranya.

Kemudian yang menjadi pertanyaan lebih lanjut adalah, apakah benar politik pendidikan dapat memecahkan problem sosial? Jikalau memang politik pendidikan membawa sebuah perubahan sosial (terlepas dari diskursus apakah perubahan itu baik atau buruk), maka perubahan macam apa yang seharusnya dibawa oleh politik pendidikan tersebut? Mengapa terjadi pembedaan antara pendidikan dan pengajaran?

Selain menanyakan hal-hal tersebut, kelompok juga mengajukan sebuah usulan pendidikan yang dapat membawa perubahan sosial ke arah yang lebih baik dalam kehidupan berbangsa di negara yang sedang kacau ini. Pendidikan yang baru terhadap paradigma kekerasan, yang notabene terjadi setiap hari di negara kita, mungkin saja pada aras sosial akan dapat memberikan sebuah sumbangan pemikiran baru terhadap perubahan sosial negara. Hal-hal ini yang akan dibawa dan dibahas lebih lanjut oleh kelompok di dalam bacaan kita.

Politik pendidikan

Pendidikan selalu sepihak. Pendidikan yang diberikan oleh pendidik selalu berdasarkan keinginan pola penguasa yang menetapkan kurikulum. Dan karenanya politik ternyata sangat berkait erat dengan pendidikan. Politik adalah kebijakan. Siapa yang menguasai politik atau siapa yang menjadi pemimpin, dialah yang kemudian menentukan arah pendidikan. Hal seperti ini bisa membawa ke dua hal, positif dan negatif.

Karena bahaya-bahaya tersebut Ivan Illich menggambarkan bahwa pendidikan formal justru harus ditolak. Peningkatan ilmu selalu dikaitkan dengan keberhasilan. Imaginasi murid dilatih untuk menerima jasa bukan nilai.[1] Pelembagaan ternyata akan mengakibatkan polusi fisik, polarisasi sosial dan impotensi psikologis. Degradasi nilai ini ternyata semakin dipercepat ketika orang mengganggap kebutuhan nonmaterial itu sebagai suatu komoditi. Karena itu sistem pendidikan formal harus ditolak.[2]

Politik modern telah selalu melupakan perannya sebagai pendidik karena adanya gambaran “jasa” tersebut. Pendidikan hanya dipandang sebagai sebuah tujuan dan bukan sebagai proses belajar. Karenanya perubahan sosial yang seharusnya dibawa dalam pendidikan, dilupakan. Semua tergantung kepada kebijakan penguasa dalam menentukan kebijakan.

Apabila ternyata pemerintah yang menetapkan kebijakan pendidikan adalah sebuah pemerintahan yang baik, yang serius ingin memajukan pendidikan di negaranya, maka dunia pendidikan di negara tersebut akan maju. Sebaliknya, apabila pemerintah yang menetapkan kebijakan politik pendidikan adalah pemerintahan yang kurang perduli terhadap pendidikan, bahkan cenderung ingin menguasai pendidikan tersebut, maka politik pendidikannya akan menjadi sangat subyektif. Sebagai sebuah contoh, pelajaran sejarah adalah sebuah pelajaran yang sangat rentan terhadap manipulasi pendidikan. Sejarah bisa saja ditulis berdasarkan pemenang sejarah, dan bukan berdasarkan apa yang sebenarnya terjadi.

Secara negatif, pendidikan bisa dipandang sebagai perpanjangan tangan penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya karena mereka memberikan pendidikan berdasarkan apa yang mereka suka dan inginkan agar kelanggengan kekuasaan mereka tetap terjaga. Politik pendidikan yang dibawa oleh pemerintahan yang cenderung memandang pendidikan sebagai sebuah perpanjangan tangan penguasa akan menjadi sebuah politik pendidikan yang sepihak, berdasarkan apa yang ingin diberikan oleh penguasa.

Sebaliknya, apabila kita memandang politik pendidikan secara positif, di mana pemerintah yag menetapkan kebijakan-kebijakan tersebut adalah benar-benar serius terhadap perubahan sosial, maka politik pendidikan yang dibawa akan memberikan sebuah perubahan sosial yang positif. Masyarakat akan bisa dididik melalui pendidikan yang ditetapkan oleh politik pendidikan sebuah pemerintahan tertentu.

Pendidikan yang diberikan juga harus sedemikian rupa sehingga tidak menekankan pada perbedaan-perbedaan sosial dan kecerdasan. Pendidikan yang negatif cenderung selalu menguntungkan kaum yang kuat. Padahal semestinya pendidikan itu bersifat membebaskan.

Perubahan sosial

Politik pendidikan yang kita bicarakan di atas ternyata sanggup membawa sebuah perubahan sosial. Pendidikan pasti membawa perubahan. Ke mana arahnya, itu mesti kita bicarakan dahulu.

Ketika sebuah pemerintahan yang memegang politik pendidikan secara positif, di mana mereka melihat pendidikan sebagai sebuah usaha mencerdaskan dan bukan sebagai perpanjangan tangan penguasa, maka perubahan sosial yang dibawanya dapat menuju ke sebuah arah yang lebih baik.

Ketika Amerika Serikat masih membenahi sistem pendidikannya, problema-problema baru juga timbul. Ketika pemisahan ras masih sangat kuat, dan pemerintah Amerika berusaha membaurkan mereka yang berkulit hitam dan yang berkulit putih, maka yang terjadi adalah anak-anak kulit putih dengan golongan ekonomi menengah keatas memiliki kesempatan yang lebih baik untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas dibandingkan mereka (kulit hitam) yang berasal dari golongan sosial kelas menengah. Problem sosial jarang – kalaupun pernah terjadi – dapat dipecahkan semata-mata dengan pendidikan.[3]

Boeve mengatakan bahwa perkembangan dunia saat ini telah dikuasai oleh “master narasi ekonomi”. Segala sesuatu dihitung berdasarkan keuntungan yang dihasilkannya. Hal yang sama juga terjadi pada dunia pendidikan. Pada tekhno-sains, perkembangan ilmu tersebut memiliki tujuan perkembangan ekonomi. Modal-modal besar yang mendanai setiap penelitian yang dilakukan memiliki sebuah tujuan keuntungan ekonomi di belakangnya.[4]

Di Indonesia, banyak orang berpikir bahwa pendidikan telah berubah menjadi sarana untuk memperoleh keuntugan ekonomi. Pendidikan hanyalah digunakan sebagai batu loncatan untuk mencari pekerjaan. Pendidikan hanya menjadi sarana. Pendidikan adalah proses pembentukan secara keseluruhan dan bukan tujuan itu sendiri. Hal ini menjelaskan maraknya praktek jual-beli gelar saat ini. Kegandrungan orang akan gelar terjadi karena orang melihat gelar pendidikan hanya sebagai sarana aktualisasi diri, juga sebagai penambah gengsi seseorang, yang pada akhirnya juga bertujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi.

Pendidikan juga harus menekankan kepada pendidikan karakter, terutama hal moral dan pembentukan nilai-nilai. Porsi terbesar dari kegagalan dunia pendidikan terhadap kaum muda dewasa ini diakibatkan pendidikan ilmu-ilmu sosial yang hanya menjejalkan informasi hafalan dan tidak menyentuh kepada pembentukan watak, moralitas, sikap, atau proses berpikir peserta didik.[5]

Pendidikan yang mebawa nilai-nilai tersebut akan menyadarkan peserta didik bahwa pendidikan bukanlah jasa, melainkan sebuah proses yang terjadi terus menerus. Proses pendidikan yang membawa nilai akan memberikan sebuah perubahan sosial yang membebaskan. Pelajaran ini harus datang dari sang tertindas sendiri dan orang-orang yang sungguh setiakawan terhadap mereka.[6] Menuju pendidikan yang membebaskan ini, Freire mengatakan bahwa pertanyaan yang harus ditanyakan aalah mungkinkah kita melakukan perubahan tersebut.[7]

Pendidikan juga lebih sering dipakai sebagai sebuah proses penyadaran ketika seseorang atau sebuah komunitas sudah melakukan hal yang destruktif terhadap kehidupan, seperti melakukan kekerasan. Melalui pendidikan yang baik, hal ini dapat dengan perlahan ditransformasi menjadi sebuah hal yang mengajarkan sebuah perubahan sosial yang tanpa kekerasan. Namun, kembali lagi kepada politik pendidikan tersebut, siapakah yang sebenarnya menjalankan politik tersebut? Apakah ada kepentingan yang bermain di dalamnya?

Relasi mengenai kedua hal ini, politik pendidikan dan perubahan sosial, terutama di Indonesia, akan dibahas dalam bagian lebih lanjut dari paper ini.

Politik pendidikan di dalam konteks Indonesia

Berbicara tentang konteks Indonesia dalam kaitannya dengan pendidikan, biasanya kesan yang langsung terlintas adalah rendahnya angka pendidikan, buruknya mutu pendidikan, kurikulum yang tak menentu dan terlalu berat untuk kemampuan nara didik, nasib para pengajar yang terabaikan, dan kinerja pengajar yang sering kali sekedarnya.

Dalam bagian ini kelompok hendak menyajikan keadaan politis dari pendidikan di Indonesia, bukan hanya kesan semacam di atas, yang umumnya ada di kalangan masyarakat.

Menurut Anthony Giddens pendidikan mempunyai hubungan yang sangat kompleks dengan pemerataan. Seharusnya pendidikan dapat membantu penegakan keadilan, namun sering pendidikan malah menghasilkan ketidakadilan dan mempertajamnya. Inilah yang terjadi dalam konteks Indonesia. Memang pendidikan dapat mengurangi ketidakadilan terutama pada kelompok masyarakat pinggiran, tetapi pada saat yang sama pendidikan malah melanjutkan ketidakadilan yang telah ada dalam masyarakat. Jurang perbedaan bukan mengecil namun malah melebar. Di kalangan bawah siapa yang tidak mendapat pendidikan yang memadai sukar pula mendapat pekerjaan yang lumayan, dan di kalangan yang lebih tinggi jurang makin melebar di antara mereka yang menikmati pendidikan tinggi dan yang tidak.

Giddens mengiyakan bahwa pendidikan tidak dapat mengembangkan keadilan. Namun ia menambahkan bahwa kita tidak dapat memulangkan masalah ketidakadilan pada pendidikan saja, seakan hanya pendidikan yang dapat menciptakan keadilan. Untuk mengurangi ketidakadilan, senjata yang diperlukan bukan hanya pendidikan tetapi juga keputusan-keputusan politik.[8]

Pendidikan harus membantu orang untuk menjadi manusia yang berwatak. Mohammad Hatta membedakan pendidikan dan pengajaran. Pendidikan membentuk karakater, pengajaran memberikan pengetahuan yang dapat digunakan dengan baik oleh anak-anak yang mempunyai karakter. Maka bagi Hatta yang utama bukanlah sekolah menengah umum atau sekolah kejuruan, melainkan pendidikan watak yang bisa membuat manusia hidup dalam pergaulan sesama yang adil dan sejahtera.[9]

Ketidakadilan pendidikan di Indonesia semakin dipertajam dengan mahalnya biaya pendidikan. Bagi orang yang tidak mampu tahun ajaran baru adalah tahun yang penuh penderitaan karena begitu besar biaya yang harus dikeluarkan untuk anak-anak mereka. Pendidikan memang memakan biaya, tetapi haruskah biaya itu dibebankan pada warga negara yang jelas-jelas tidak mampu menanggungnya?

Tujuan akhir pendidikan adalah pembebasan dan emansipsi masyarakat dari kebodohan, kemiskinan dan penderitaan mereka. Semua warga negara berhak atas pembebasan dan emansipasi itu. kesempatan untuk memperoleh pendidikan harus diberikan kepada semua orang.

Pendidikan harus mampu mengangkat anak kelas pekerja setara dengan anak kelas menengah, anak mereka yang menganggur setara dengan anak mereka yang aktif bekerja. Pendidikan di Indonesia masih sangat jauh dari hal di atas. Pendidikan kita belum membebaskan dan mengangkat anak-anak didik untuk kelak benar-benar menjadi warga negara. Karena tidak tersedianya kesempatan yang sama, di Indonesia banyak anak putus sekolah, akibatnya banyak anak buruh yang tetap menjadi buruh, anak penganggur yang tetap menjadi penganggur kendati mereka sempat mendapat pendidikan. Dilihat secara menyeluruh pendidikan kita tidak berhasil mengemansipasi masyarakat. Pendidikan yang seharusnya membebaskan malah menindas sebagian warga yang tidak mampu.

Berangkat dari konteks masyarakat kita di Indonesia, adakah hubungan antara pendidikan dengan politik? Bagi sebagian besar masyarakat kita pendidikan dan politik adalah dua hal yang berbeda dan berpisah, dan antara keduanya tidak ada hubungan. Pandangan masyarakat ini tampak dengan jelas pada sikap para politisi kita terhadap masalah-masalah ekonomi, politik dan pendidikan. Saat ini yang menjadi pusat perhatian para politisi kita ialah masalah ekonomi dan politik. Masalah pendidikan sepertinya dipinggirkan dari dalam alam pikiran para politisi kita. Pendidikan adalah masalah yang relatif tidak penting. Pendidikan adalah suatu “non-issue”, suatu hal yang mudah, yang dapat ditangani oleh siapa saja.[10]

Ada satu hal yang dilupakan para politisi kita, yaitu bahwa keadaan kehidupan pendidikan pada waktu sekarang akan mempengaruhi kondisi kehidupan ekonomi dan politik di masa depan. Jika kita sekarang membiarkan kondisi pendidikan kita saat ini maka dapat dipastikan bahwa kehidupan ekonomi dan politik kita di masa depan akan semakin menyedihkan. Para politisi kita tidak menyadari bahwa pendidikan selalu bersifat antisipatoris dan preparatoris, yaitu selalu mengacu ke masa depan dan selalu mempersiapkan generasi muda untuk kehidupan masa depan.

Mochtar Buchori mengungkapkan ada sebuah fenomenon historis yang memperlihatkan bahwa antara pendidikan dan politik terdapat suatu hubungan. Di Indonesia pada periode 1908-1945 ditandai dengan kehadiran pemimpin-pemimpin politik yang penuh dedikasi dan gigih dalam perjuangan mereka mengusahakan Indonesia merdeka. Sebaliknya dalam periode antara 1959 dan 1998, kita saksikan bersama kehadiran pemimpin-pemimpin dan pelaku-pelaku politik yang tidak memiliki idealisme yang cukup nasionalistik dan patriotik, atau kalau memilikinya, mereka tidak mampu menyatakannya dalam bentuk perilaku politik yang pantas diteladani. Mengapa timbul kontras yang begitu tajam dari kedua periode itu? Mengapa perilaku dan budaya politik bangsa ini merosot begitu tajam? Mochtar Buchori menggunakan tiga generalisasi untuk menjelaskan kontras yang tajam ini. Pertama, adanya perbedaan dalam mutu pendidikan dasar yang mereka terima sebelum mereka memasuki kehidupan politik. Kedua, karena pada era sebelum kemerdekaan, dunia politik dipenuhi oleh para kalangan terdidik, sedangkan dalam era pasca-kemerdekaan, dunia politik dihuni oleh golongan yang relatif kurang terdidik tetapi mampu menggalang dukungan dari masyarakat. Ketiga, adanya perbedaan “semangat zaman”. Dalam periode 1908-1945 “semangat melawan dan membebaskan” tumbuh dengan baik, sedang dalam periode 1959-1998 semangat melawan dan membebaskan ini diperlemah secara sistematis, dan akhirnya menjadi lumpuh sama sekali. Semangat zaman yang ada selama Orde Baru ialah semangat “mengabdi penguasa”.

Dari ketiga generalisasi yang diberikan dapat dilihat bahwa pendidikan bukan satu-satunya faktor yang menjadi sumber dari timbulnya perbedaan yang bersifat inter-generasional dalam  budaya politik. Namun tidak juga menyangkal tesis mengenai pentingnya peranan pendidikan dalam pembinaan budaya politik.     Untuk dapat berpolitik secara baik, seseorang harus mempelajari seperangkat kemampuan politik dasar. Tidak ada sekolah yang dapat mempersiapkan calon pelaku politik secara tuntas, yaitu sampai calon pelaku politik menguasai kemampuan-kemampuan politis dasar. Dengan demikian proses pengembangan diri menjadi pemimpin politik atau pelaku politik yang baik menuntut kemampuan mendidik diri sendiri, kemampuan belajar yang tinggi. Menjadi pemimpin yang setara dengan para perintis kemerdekaan diperlukan kemampuan belajar yang tinggi. Makin tinggi kemampuan belajar ini, makin cepat kedewasaan politik tercapai. Kemampuan ini dari mana datangnya?

Dari pendidikan umum yang diterima seseorang sebelum memasuki kehidupan politik. Makin kokoh pendidikan umum yang diterima makin besar seseorang menguasai kecakapan politik yang mendasar. Pengembangan budaya politik hanya dapat dilakukan oleh generasi yang memiliki kemampuan intelektual yang cukup tinggi. Pendidikan umum inin mencakup kecakapan-kecakap intelektual yang bersifat umum, meliputi pengetahuan bahasa, matematika, pengetahuan tentang lingkungan fisik, pengetahuan tentang lingkungan sosial dan kultural, dan pengetahuan tentang diri sendiri. Pengetahuan tentang diri sendiri ini adalah yang sangat penting. Bagaimana pun cerdasnya dan terpelajarnya seseorang, kalau dia tidak mengenali dirinya dengan baik, maka ia tidak akan dapat menempatkan dirinya secara tepat dalam lingkungannya.

Masyarakat sebenarnya mendambakan kehadiran suatu generasi baru dalam kehidupan politik kita. Suatu generasi yang lebih santun dan lebih bertanggungjawab dalam segenap tindak-tanduknya. Tanpa intervensi-intervensi dalam pendidikan kita sekarang rasanya sulit kita mempunyai generasi baru itu. Perlu adanya reformasi pendidikan. Reformasi yang akan memberikan kepada generasi baru kemampuan intelektual umum yang cukup, dan yang akan memberikan mereka kemampuan belajar yang cukup tinggi. Reformasi pendidikan ini harus diarahkan ke pembinaan kemampuan intelektual yang akan menjadi dasar dari kemampuan generasi muda untuk mengembangkan budaya politik yang lebih santun daripada budaya politik yang ada saat ini.

Peningkatan kemampuan intelektual kepada generasi baru ini tidak mungkin diberikan melalui kurikulum yang ada di sekolah-sekolah kita saat ini. Harus dilakukan penyusunan kurikulum yang lebih baik. Selain itu para pengajar juga harus dipersiapkan dengan baik pula.

Mendidik Atau Mengajar

Dalam pemikiran Hatta, dia membedakan pengertian antara mendidik dan mengajar. Mendidik adalah sebuah hal yang lebih mengarah kepada pembentukan karakter seseorang, sedangkan mengajar adalah pembentukan intelegensia. Hatta membedakan mendidik dengan mengajar. Di dalam pertumbuhan karakter seseorang, yang dibutuhkan adalah keduanya.[11] Drost memaparkan bahwa sebenarnya orangtua adalah elemen utama dalam mendidik. Sekolah memang berperan dalam pendidikan, dan memang sudah seharusnya, namun peran orangtua seringkali diabaikan dalam pendidikan di Indonesia. Sekolah dianggap bertanggunjawab atas segalanya.[12] Karena itu sekolah dan orangtua harus bekerja sama dalam proses ini.

Menurut Sudarminta salah satu tantangan pendidikan masa depan adalah bagaimana mengupayakan pendidikan yang memberntuk pribadi yang mampu belajar seumur hidup (life-long learning).[13] Jadi sebenarnya, pendidikan dan pengajaran harus berjalan selaras tanpa perlu adanya dikotomi yang membedakan keduanya secara tajam dalam fungsi sekolah.

Dalam hubungan yang dididik dalam melihat sang pendidik, Freire[14] memberikan dua posisi. Posisi pertama adalah pendidikan yang menghasilkan rasa takut. Pendidikan seperti ini akan menghasilkan pola pendidikan sepihak yang mematikan kreativitas sang murid. Proses pendidikan dikekang sedemikian rupa sehingga yang ada hanyalah rasa takut dan tertindas. Dari rasa takut kemudian akan timbul resistensi dan perlawanan. Perlawanan sendiri bisa berhasil dan bisa tidak. Posisi kedua yang diberikan oleh Freire adalah posisi terpesonanya naradidik terhadap apa yang disajikan oleh pendidik. Pendidikan seperti ini justru menjadi lebih berbahaya karena dengan keterpesonaannya, naradidik tidak akan bisa membedakan mana yang bisa diterima dan mana yang tidak bisa diterima. Pendidik akan memegang kontrol sepenuhnya dari naradidik.

Dalam hubungan pendidik dan naradidik di Indonesia, seringkali terdapat trauma-trauma akibat pola pendidikan seperti di atas. Kekerasan yang digunakan dalam pendidikan, menimbulkan trauma-trauma dan ketakutan-ketakutan pada diri naradidik. Akhirnya naradidik belajar karena ketakutan, dan bukan keinginan yang dipupuk akan sebuah proses pendidikan. Pola pendidikan yang seperti ini harus dirubah agar perubahan sosial boleh dibawa dalam pendidikan, karena pendidikan yang demikian mengungkung naradidik.

Politik Pendidikan dan Perubahan Sosial Terhadap Persepsi Masyarakat Indonesia Terhadap Kekerasan

Kekerasan sepertinya sudah menjadi makanan sehari-hari dari bangsa kita ini. berita-berita mengenai tindak kekerasan yang dilakukan oleh individu ataupun komunitas menjadi sasaran empuk para nyamuk pers, sehingga pikiran para pembaca pun menjadi, mau tidak mau, terkontaminasi oleh kekerasan dalam alam bawah sadar mereka.

Sebuah proses pendidikan mengenai bagaimana cara kita mengatasi kekerasan, melalui politik pendidikan yang benar bisa membawa sebuah perubahan sosial ke arah yang lebih baik bagi bangsa kita ini. Kekerasan yang selama ini sudah mendarah daging, mungkin saja akan bisa dirubah oleh sebuah politik pendidikan yang membebaskan. Di sini, pendidikan memiliki peran penting daam membawa sebuah perubahan sosial, terutama ketika kita belajar dari Walter Wink mengenai bagaimana cara-caranya mengatasi kekerasan yang terjadi dalam kehidupan ini.

Belajar dari Walter Wink[15]

Walter Wink dalam bukunya “Engaging the Powers”, berbicara tentang perlunya pendidikan (sosialisasi) untuk suatu perubahan sosial. Ia berbicara dalam konteks dunia dengan sistem dominasi, di mana kekerasan sering kali dipandang sebagai satu-satunya pilihan untuk mengatasi masalah, selain melarikan diri dari masalah seperti pengecut. Pandangan semacam ini dilihat Wink hanya menghasilkan rantai kekerasan yang tak terputus.

Wink mencoba untuk membaca ulang teks Injil tentang perkataan Yesus dalam Matius 5: 38-42. Ia melihat bahwa perkataan Yesus tersebut sama sekali bukan tindakan menghindari konflik dengan sikap pengecut, tetapi juga bukan tindakan melawan penindasan dengan kekerasan. Yesus memberi jalan ketiga untuk menghadapi penindasan dan memutus rantai kekerasan.

Tentang memberi pipi kanan jika pipi kiri ditampar, memberi jubah jika ada yang meminta baju, dan berjalan dua mil dengan mereka yang meminta berjalan satu mil, ditafsirkan Wink sebagai upaya nir kekerasan untuk menghadapi penindasan. Yaitu dengan bersikap berlawanan dari yang diharapkan penindas ketika menindas kita. Dengan demikian kita “mengecewakan” si penindas tersebut, sehingga diharapkan ia tidak lagi melakukan penindasan.

Membalas kekerasan dengan kekerasan akan menyebabkan diri kita menjadi sama dengan orang yang kita lawan, yang kita anggap sebagai “musuh”, sehingga kita menjadi sama “buruk”nya dengan apa yang sedang ingin kita lawan itu.

Ketika kita berhadapan dengan kekerasan dalam situasi sosial, pribadi kita tak terhindar dari kekerasan tersebut, dan biasanya kita memproyeksikan diri kita pribadi pada situasi kekerasan tersebut. Oleh karena itu dampak yang didapat dari sikap kita menghadapi kekerasan tidak hanya pada aras sosial, tetapi juga pada diri kita pribadi. Sehingga jika kita melawan kekerasan dengan kekerasan, maka diri kita pribadi akan menjadi sama dengan apa yang kita lawan tersebut. Dan sebaliknya jika kita menghadapi kekerasan dengan nir kekerasan, maka penebusan yang terjadi juga dialami oleh diri kita pribadi.

Ada pendapat yang meneorikan perang yang benar (just war). Ada perang yang dapat dibenarkan asal memenuhi beberapa standar etis tertentu. Akan tetap kemudian menjadi dilematis ketika dipertanyakan siapa yang memberi otoritas kepada beberapa orang yang menjadi penentu standar etis tersebut. Juga apakah seluruh standar etis tersebut harus dipenuhi baru suatu perang disebut “benar”.

Wink mengambil pendekatan lain sebagai bentuk ketidaksepakatannya dengan konsep perang yang benar ini. Ia menekankan nir kekerasan sebagai pilihan yang dapat diambil. Sikap nir kekerasan seturut dengan pengajaran Yesus bukan masalah legalitas menurut Wink, melainkan masalah kesetiaan atas dasar kasih. Perintah untuk bertindak nir kekerasan bukanlah suatu hukum melainkan anugerah. Orang Kristen tidak membunuh bukan karena diperintahkan demikian, tetapi karena kita melihat Allah di dalam diri setiap orang dan kita menyadari bahwa apa yang (tidak) kita lakukan terhadap manusia lain itu kita lakukan untuk Allah.

Tindakan nir kekerasan adalah berbeda dengan pasifisme. Tindakan nir kekerasan adalah suatu tindakan yang berusaha mengatasi kekerasan, bukan sekedar pasrah menyerah pada keadaan.

Wink menyadari bahwa kita tidak mungkin dapat selalu hidup seturut dengan kehendak Allah di dalam pengajaran Yesus ini. Oeh karena itu ia juga menekankan pengampunan Allah bagi kita ketika kita melakukan kekerasan, sekalipun hal ini kemudian jangan digunakan sebagai dalih untuk melakukan kekerasan.

Untuk dapat sampai pada sikap nir kekerasan maka diperlukan suatu latihan, sehingga kesadaran ini menjadi bagian dari karakter seseorang.

Harus disadari pertama-tama bahwa memiliki alat kekerasan untuk menghadapi situasi kekerasan tidak menjamin bahwa kita akan selalu dapat mengatasi keadaan. Sering kali sekalipun kita diperlengkapi dengan alat kekerasan kita tidak berdaya untuk mengatasi situasi kekerasan yang sedang terjadi di hadapan kita. Dan sekalipun kita dapat menggunakan alat kekerasan tersebut, yang terjadi tetap salah satu pihak, atau bahkan kedua pihak, akan terluka. Jika kita menggunakan argumen bahwa kita benar dan sedang membela diri atau melindungi orang yang kita kasihi, maka kita menaruh keberadaan diri lawan kita, dan orang-orang yang ia lindungi dalam perilakunya itu, lebih rendah daripada kita, lebih tidak berharga daripada kita.

Oleh karena itu tindakan nir kekerasan perlu kita lakukan dengan tujuan untuk melindungi diri kita sendiri dan juga diri orang yang menjadi “lawan” kita.

Refleksi Teologis dan Penutup

Politik dan pendidikan ternyata adalah dua hal yang pada dasarnya saling melengkapi. Pendidikan politik yang benar akan membawa sebuah politik pendidikan yang baik pula. Tidak dapat disangkal bahwa perubahan yang dibawa politik pendidikan terseut dapat berjalan menuju dua arah, ke arah yang terikat tangan penguasa, atau ke arah yang lebih membebaskan.

Indonesia adalah sebuah contoh negara yang selama ini rakyatnya terbelenggu oleh pendidikan yang disajikan oleh penguasa, sehingga pemikiran menjadi sangat sempit. Pendidikan yang seharusnya membebaskan tersebut, telah dipakai sebagai alat melanggengkan kekuasaan, sehingga hanya membawa sebuah kesenjangan sosial yang semakin lebar antara mereka yang mampu dan mereka yang tidak mampu. Bagi yang mampu membiayai pendidikannya tentu akan memilih pendidikan yang baik, sehingga nantinya dia juga akan mendapatkan penghasilan yang tinggi karena pendidikannya tersebut. Keadaan di Indonesia ini, dan juga mungkin banyak terjadi di negara-negara lain, ternyata telah  membawa dampak yang sangat buruk bagi masyarakat. Perubahan sosial yang dibawa adalah perubahan yang negatif.

Pendidikan di Indonesia selama ini lebih sering dianggap sebagai sebuah batu loncatan bagi narasi ekonomi yang sudah ada di benak naradidik. Pendidikan yang setinggi-tingginya diperoleh hanya untuk mendapatkan gelar bagi pencapaian taraf ekonomi yang lebih baik. Praktek penjualan gelar mampu melihat pangsa pasar yang sangat menjanjikan di Indonesia akibat pola pikir yang demikian. Sedikit sekali nilai-nilai yang diajarkan di Indonesia, karena pola pendidikan di Indonesia berangkat dari ketakutan naradidik dan trauma terhadap pendidik. Hal ini membawa perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Itu semua harus dirubah apabila Indonesia ingin memperoleh perubahan sosial ke arah yang baik. Pendidikan jangan diberangkatkan dari ketakutan, dan jangan menjadikan pendidikan formal sebagai satu-satunya sarana pendidikan. Orangtua juga jangan melepaskan tanggungjawabnya sebagai pendidik yang utama. Sekolah hanyalah rekan orangtua dalam memberikan pendidikan, bukan sebagai satu-satunya pendidik.

Walter Wink mengajarkan sebuah cara baru bagaimana pendidikan yang benar akan dapat membawa perubahan sosial di dalam masyarakat ke arah yang lebih baik. Teorinya mengenai bagaimana kita harus mengatasi kekerasan dapat menjadi acuan bagi bangsa ini untuk mengatasi kekerasan yang sedang terjadi di mana-mana. Politik pendidikan yang dapat membawa perubahan sosial benar-benar diperlukan bangsa Indonesia saat ini, terutama bagaimana kita semua dapat mengatasi kekerasan yang marak terjadi sekarang ini.

Konteks kita saat ini adalah konteks yang penuh dengan kekerasan. Bagaimana teologi yang kontekstual dapat masuk ke dalam konteks ini? Walter Wink telah memberikan jalan, dan politik pendidikan yang baik adalah kendaraannya. Teologi kontekstual tentunya dapat memberikan sumbangan bagi perubahan sosial bangsa Indonesia dari yang melawan kekerasan dengan kekerasan menjadi melawan kekerasan dengan perlawanan tanpa kekerasan.

Dengan sebuah bentuk perlawanan yang tanpa kekerasan, dan dengan didukung oleh politik pendidikan yang baik, maka arah bangsa di masa depan tentunya akan lebih baik karena perubahan sosial yang dilakukannya di dalam aras berteologi yang kontekstual di Indonesia saat ini.


[1] Ivan Illich, Bebas Dari Sekolah (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), h. 11.

[2] Ibid., h. 11-40.

[3] John Vaizey, Pendidikan di Dunia Modern (Jakarta: Gunung Mulia, 1974), h. 68. buku ini lebih banyak bercerita mengenai masalah-masalah yang dihadapi oleh dunia pendidikan pada tahun 1970-an. Memang buku ini pada akhirnya terlihat tidak relevan lagi, namun kelompok juga ingin menunjukkan bahwa masalah pendidikan sudah mulai dicermati sejak dahulu.

[4] L. Boeve, “J.F. Lyotard’s Critique of Master Narratives Towards a Postmodern Political Theology, dalam Liberation Theology on Shifting Grounds (         ), h. 304-308

[5] J. R. Sutarjo Adisusilo, “Pendidikan Nilai dalam Ilmu-Ilmu Sosial-Humaniora” dalam A. Atmadi & Y. Setiyaningsih (eds.), Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga (Yogyakarta: Kanisius, 2000), h. 71-91.

[6] Paulo Freire, “Pendidikan Yang Membebakan, Pendidikan Yang Memanusiakan” dalam Paulo Freire, et.al. (eds.), Menggugat Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 434-437.

[7] M. Eskobar, et.al. (eds.), Sekolah Kapitalisme Yang Licik (Yogyakarta: LkiS, 1998), h. 57. Lebih lanjut Freire mengatakan bahwa pendidikan tidak hanya kita peroleh dari sekolah, melainkan juga dari pengalaman-pengalaman sosial.

[8] Lihat Sindhunata, “Pendidikan Meningkatkan Ketidakadilan” dalam BASIS No. 07-08, Tahun ke-51, Juli – Agustus 2002, h. 3.

[9] Ibid.

[10] Sindhunata, “Pendidikan Hanya Menghasilkan Air Mata” dalam BASIS No. 07-08, Tahun ke-49, Juli-Agustus 2000.

[11] Permasalahan ini dibahas lebih lanjut dalam J. I. G. M. Drost, Sekolah: Mengajar Atau Mendidik? (Yogyakarta: Kanisius, 2000).

[12] Ibid., h. 56-57.

[13] J. Sudarminta, “Tantangan dan Permasalahan Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium Ketiga” dalam A. Atmadi & Y. Setiyaningsih (eds.), Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga (Yogyakarta: Kanisius & Univ. Sanata Dharma, 2000),  h. 6. Tantangan-tantangan lain yang dihadapi pendidikan di dunia modern meurut Sudarminta lebih lanjut adalah: 1) pendidikan yang tanggap terhadap situasi persaingan dan kerja sama global; 2) pendidikan yang menyadari pentingnya dan mengupayakan terlaksananya pendidikan nilai.

[14] Freire, op.cit.

[15] Walter Wink,  Engaging The Powers (Minneapolis: Fortress Press, 1984). Kelompok hanya membahas empat bab terakhir dari buku ini. Empat bagian tersebut merupakan bagian refleksi dari keseluruhan buku ini.

Viewed 37905 times by 10238 viewers

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *