Pergumulan Kemandirian Jabatan Gerejawi di HKBP

Paper semester 5 di STTJ

Pendahuluan

Tidak dapat dipungkiri, kedatangan para misionaris ke Tanah Batak telah menjadi “cahaya” bagi orang Batak.Tercatat ada beberapa badan penginjilan yang mencoba masuk ke Tanah Batak. Ada Baptist Mission Society of England yang mengirim Burton dan Ward pada tahun 1820, American Board of Commissioner for Foreign Mission (ABCFM) yang mengirim Lyman dan Munson pada tahun 1834,[1] Nederlands Zendelinggenootschap (NZG) yang mengirim Gützlaff pada tahun 1826 (meskipun akhirnya Gützlaff gagal bertolak ke Sumatra karena berkobarnya perang Bonjol),[2] dan Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) dari Barmen, Jerman. Badan misi yang disebut terakhir ini adalah yang kemudian berhasil “mengkristenkan” orang Batak. Semua misi yang datang ke Tanah Batak tersebut berasal  dari Eropa dan Amerika Serikat.

Untuk waktu yang cukup lama, kepemimpinan tertinggi di tubuh HKBP, yaitu Ephorus, dipegang oleh pendeta yang diutus oleh RMG. Para pendeta pribumi yang ada saat itu hanya memegang jabatan-jabatan pembantu. Barulah pada Sinode Agung Istimewa pada tanggal 10-11 Juli 1940, untuk pertama kalinya putra Batak, yakni Pdt. K. Sirait, terpilih menjadi Ephorus HKBP.[3] Pergumulan yang dialami oleh gereja terbesar di Indonesia ini bukanlah sebuah pergumulan yang mudah. Perjuangan mereka untuk mandiri mengalami berbagai macam tantangan. Hal inilah yang akan penulis jabarkan lebih lanjut dalam paper ini.

Pardonganon Mission Batak/Persahabatan Misi Batak (PMB) sebagai usaha kemandirian yang pertama kali timbul

Usaha kemandirian yang pertama kali timbul atas inisiatif orang Batak sendiri adalah dalam bidang pekabaran Injil.[4] Pada tanggal 2 November 1899, Pdt. Henoch Lumbantobing mendirikan Pardonganon Mission Batak/Persahabatan Misi Batak (PMB) atau yang kemudian lebih dikenal dengan nama Kongsi Batak, di Pearaja.[5] Kongsi Batak ini didirikan untuk menyebarkan Injil di Pulau Samosir dan daerah-daerah sekitar danau Toba. HKBP mengirim evangelisasi ke daerah baru melalui organisasi baru ini, yang sebenarnya berada di luar struktur gereja.[6] Kongsi Batak ini merupakan wadah pertama yang diprakarsai orang Batak dan mampu mengelola secara mandiri kegiatan-kegiatannya.

Kemandirian ini juga terlihat dalam pendanaan. Mereka mengumpulkan uag dari sumbangan dan kolekte yang dikumpulkan langsung kepada Pdt. Henoch. Banyaknya sumbangan yang masuk ke dalam PMB membuat PMB tidak perlu lagi mencari uang untuk membiayai kegiatannya. Dari jumlah pemasukan PMB dari tahun 1899 hingga 1911 jelas nampak, betapa rapatnya hubungan orang Kristen Batak dengan PMB.[7]

Namun kemandirian lembaga ini tidak dapat berlangsung lama, terutama setelah Pdt. Henoch Lumbantobing mundur dari jabatan ketua pada tahun 1909. Penarikan diri Henoch dari jabatan ketua tersebut banyak disebabkan tenaga-tenaga misionaris asing yang tidak mendukung di lapangan. Di samping itu Nommensen yang menjadi Ephorus kala itu berkehendak mengubah anggaran dasar PMB melalui pendekatan khusus terhadap Pdt. Henoch. Faktor hubungan batin antara Pdt. Henoch dengan Nommensen yang adalah gurunya itu juga menjadi salah satu faktor bagi Henoch untuk tidak menentang kehendak sang guru.

Pada tahun 1921, nama “Kongsi Batak” ini dirubah menjadi “Zending Batak”. Zending ini akhirnya kembali tergantung kepada gereja, yang pada saat itu masih dibawah pimpinan RMG. Zending Batak ini menolong jemaat-jemaat yang terpencil dan yang miskin, mereka juga memelihara orang-orang Krisen yang berada di dalam perantauan di Aceh, di Minangkabau dan di mana-mana pun juga, akan tetapi tugasnya yang terutama adalah menyebarkan Injil kepada orang-orang kafir. Itu terjadi bukannya di daerah Batak saja, melainkan juga di luarnya.[8]

Gerakan Hamajuon (kemajuan) sebagai pendorong gerakan kemandirian

Slogan yang muncul untuk mengungkapkan dampak terobosan kultur modern atas kehidupan orang Batak adalah “Hamajuon”(kemajuan). Slogan ini juga muncul bersamaan dengan slogan yang lain, yaitu “Manaekma bangso Batak” yang berarti majulah bangsa Batak. Kedua slogan ini bahkan menjelma menjadi gerakan yang hendak menghimpun potensi masyarakat Batak untuk mengejar kemajuan di bidang pendidikan, kesejahteraan, sosial-ekonomis, bahkan juga politik. Berbekal hamajuon mereka ingin setaraf dengan masyarakat Barat, dan sejajar dengan itu ingin melepaskan diri dari dominasi pihak Barat, baik secara sosial-politik-ekonomi maupun secara rohani.[9]

Daya tarik hamajuon sangat kuat di antara generasi muda Batak. Larangan-larangan adat yang ketat diri generasi-generasi terdahulu dianggap tidak sesuai dengan perubahan sosial yang pesat di Tanah Batak.[10] Generasi muda yang merasa adat dari orang Batak terdahulu sudah tidak sesuai lagi dengan semangat hamajuon mereka, sehingga mereka mencari pengalaman baru di luar Tanah Batak dan bertemu dengan kehidupan yang baru yang lebih mempengaruhi pemikiran mereka mengenai kemandirian disaat mereka kembali ke Tanah Batak.

Sikap dari para zendeling Batakmission adalah ganda. Di satu pihak mereka menyatakan bahwa zending tidaklah anti hamajuon, bahkan segala sesuatu yang sudah dilakukan oleh zending adalah untuk membawa hamajuon di segala bidang, dan hasilnya sudah bisa dilihat dengan nyata. Tetapi mereka (para zendeling) berpendapat apabila orang Batak ingin maju secara utuh dan lengkap hendaklah mereka (orang Batak) terlebih dahulu maju dan bertumbuh dalam bidang rohani.[11]

Munculnya gerakan hamajuon itu membangkitkan kesadaran orang Batak Kristen untuk melepaskan diri dari segala dominasi orang Barat di segala bidang. Keinginan orang Batak Kristen untuk mandiri di lapangan penginjilan, pengelolaan jemaat dan sekolah semakin meningkat dan mulai mencari bentuk yang berbeda serta belajar dari kegagalan PMB sebelumnya. Keinginan dan aspirasi untuk maju dan mandiri itu melembaga dalam wadah Hatopan Kristen Batak – Perhimpunan Kristen Batak (HKB).[12]

Hatopan Kristen Batak/Perhimpunan Kristen Batak (HKB)

Hatopan Kristen Batak (HKB) diprakarsai oleh anggota-anggota paduan suara “Zangvereeniging Hadomuan” di Balige, yang anggotanya sebagian besar terdiri dari para pegawai dan guru sekolah pemerintah dan sekolah zending atau pegawai-pegawai dai badan swasta. Paduan suara ini sering mereka gunakan sbagai tempat untuk saling tukar pendapat dan informasi. Alasan untuk mendirikan HKB ini dapat ditemukan dalam pandangan “Hasadaon”, yang artinya persatuan, yang dapat menghasilkan kekuatan ekonomis dan politis suatu bangsa atau perkumpulan.[13]

HKB ini didirikan pada tanggal 21 September 1917 di Balige. Tujuan dari didirikannya organisasi HKB ini adalah (1) membendung terobosan Sarikat Islam ke Tanah Batak; (2) membendung terobosan kultur modern dengan cara memelihara warisan budaya leluhur dan memelihara identitas sebagai orang Batak Kristen yang sadar diri; (3) memajukan kehidupan sosial ekonomi, antara lain dengan mempertahankan dan mengolah tanah sendiri agar jangan diserobot “Kompeni” (maksudnya pegusaha ataupun pengusaha asing; dan (4) memperjuangkan nasib guru-guru pribumi dan meningkatkan jumlah guru wanita.[14] Untuk tidak menimbulkkan kecurigaan RMG, maka kepengurusan HKB dibentuk sedemikian rupa, dan yang menjadi ketua adalah Guru Jemaat, Polin Siahaan, dan wakil ketuanya adalah pemimpin paduan suara, M. H. Manullang.[15]

Pada mulanya HKB menjalin hubungan yang erat dengan RMG dan juga dengan potensi-potensi yang ada di Tanah Batak. Sikap dan program HKB yang menjaga kepentingan di bidang ekonomi dan kemajuan di segala bidang khususnya di bidang pendidikan dan kepemimpinan, merupakan faktor-faktor yang mampu mengikat dukungan jemaat dan rakyat. Ada dua semangat yang hidup di dalam HKB mengenai peran dan fungsi gereja dalam kehidupan bermasyarakat. Pada satu sisi sebagian pengurus HKB menghendaki bahwa gereja harus hadir bergumul dan turut di dalam proses kehidupan sosial politik dalam rangka memajukan masyarakat. Sementara pada sisi lain sebagian beranggapan bahwa gereja cukup membina kesatuan anggota tanpa perlu terlibat dalam persoalan-persoalan sosial politik di tengah-tengah masyarakat.[16]

Hanya sedikit orang Kristen Batak yang sungguh-sungguh memandang HKB sebagai suatu perkumpulan politis dari orang-orang Kristen Batak. Di antara mereka itu terdapat M. H. Manullang, yang selaku pimpinan HKB, mendukung gerakan rakyat yang melawan sistem kontrak tanah, dan juga menyatakan keberpihakkannya terhadap orang-orang yang sengsara dan menderita serta keberaniannya mengatakan bahwa orang-orang Eropa adalah kapitalis-kapitalis ras putih.[17]

Barisan dari HKB yang memahami lapangan politik adalah bagian dari tugas gereja, khususnya dalam perwujudan keadilan sosial di tengah-tengah masyarakat, memang cenderung kritis terhadap segala hal. Kritik mereka tidak saja tertuju kepada pemerintah penjajah tetapi juga terhadap RMG, khususnya misionaris asing. Mereka sangat keras menuntut kemandirian gereja lepas dari dominasi Barat atau misionaris asing.[18]

Pada akhirnya, garis politik di dalam HKB itu mendatangkan kerisauan dari RMG dan juga pemerintah Hindia Belanda, namun hal itu tidak membuat HKB, khususnya yang dari garis politik itu mundur dari sikapnya. Dalam menyuarakan tuntutan dan aspirasinya, HKB bahkan bekerjasama dengan gerakan anti kolonial Insulindo di Batavia, melangsungkan jalinan dengan Sarekat Islam, bahkan mendirikan Soeara Batak, sebuah surat kabar yang dilahirkan untuk mengimbangi Immanuel, sebuah media komunikasi HKBP.[19]

Kalangan perantauan Batak ternyata lebih keras untuk melepaskan diri dari RMG. Pada tahun 1927, Hoeria Chisten Batak (HChB) berdiri sebagai gereja yang merdeka di Pematang Siantar. Hal yang sama berlangsung juga di Medan pada tahun 1928 dengan berdirinya Hoeria Christen Batak Medan Parjolo (HChB Medan I). [20] Di Jakarta, hal yang sama terjadi juga dengan adanya Punguan Kristen Batak (PKB).[21] Terlepas dari berbagai faktor yang menjadi latar belakang pendirian gereja-gereja yang mandiri itu, sangat mungkin hal itu juga terkait erat dengan semangat dan keberanian HKB menggemakan kemandirian di tanah Batak.[22]

Berbagai kenyataan tersebut tetap belum mampu melepaskan kekuasaan misionaris asing dari HKBP. Satu usaha yang dilakukan untuk meredam keinginan tersebut adalah dengan merubah Tata Gereja pada tahun 1930, namun tetap saja hal ini belum mampu memuaskan HKB dan pendeta pribumi sebab kepemimpinan masih banyak di tangan misionaris asing, khususnya jabatan Ephorus masih tetap ditentukan RMG. Pada tahun yang sama itu pula HKBP secara resmi berdiri.[23]

Gerakan kemandirian dalam tahun 1930 – Ephorus pribumi pertama: Pdt. K. Sirait

Seperti yang sudah dijelaskan bahwa HKBP resmi berdiri sendiri sejak tahun 1930. Pada tahun 1930-an PMB kembali mencoba mengambil inisiatif agar HKBP menjadi mandiri, namun di tengah situasi dan keadaan yang lain. Keadaan ini memungkinkan suatu perubahan dalam hubungan HKBP dengan RMG, baik secara hukum maupun secara organisasi.[24]

Segera setelah perubahan dalam tingkatan gereja, muncul persoalan lain yang berkaitan dengan hubungan antara pendeta Batak dan guru-guru pribumi yang bekerja di jemaat yang sama. Pendeta menjadi ketua jemaat, sedangkan orang-orang ingin agar guru jemaatlah yang menjadi ketua jemaat dan pendeta menjadi ketua ressort. Masalah itu tidak diperhatikan oleh para pendeta Batak ketika memperjuangkan pembatasan hak dan kewajiban mereka dengan lebih tegas. Kenyataan ini menunjukkan bahwa perjuangan para pendeta Batak bersifat sepihak, tanpa mengingat kerangka menyeluruh gerakan kemandirian itu. Mereka hanya ingin memperoleh hak istimewa di dalam tingkatan yang telah ditentukan oleh RMG.[25]

Orang-orang Eropa memegang posisi tinggi di dalam gereja dengan alasan bahwa mereka telah menikmati pendidikan teologi yang lebih tinggi. Namun alasan ini sepertinya hanya dibuat-buat. Ketika orang-orang Batak pertama lulusan dari Sekolah Theologia Tinggi (HThS) di Batavia datang, maka utusan RMG menyamakan posisi mereka (pendeta Batak lulusan HThS) dengan dirinya sendiri, tanpa adanya perbandingan pelajaran teologi antara seminari Zending di Barmen dan pelajaran HThS di Batavia.Ini berarti bahwa para utusan RMG telah berikhtiar unuk menunda kemandirian HKBP secara hukum dan organisasi sampai masa depan yang masih jauh.[26]

Adalah Perang Dunia ke II yang memaksa para utusan RMG untuk melepaskan jabatannya dalam HKBP. Tatkala perang meletus, pemerintah Belanda mengganggap semua orang Jerman, termasuk zendeling RMG, adalah musuh mereka. Pada tanggal 10 Mei 1940, semua zendeling RMG dideportasi, kecuali tiga orang warga negara Belanda.[27]

Akibatnya adalah orang-orang Batak harus siap menduduki jabatan-jabatan tinggi di gereja. Tetapi  zendeling H. F Kleine (salah seorang zendeling berkewarganegaraan Belanda yang tertinggal) diangkat menjadi pejabat Ephorus oleh para zendeling yang tersisa itu. Bahkan Batak Nias Zending juga didirikan untuk menggantikan RMG di tanah Batak. Namun akhirnya diputuskan untuk melaksanakan Sinode Godang HKBP yang istimewa pada tanggal 10-11 Juli 1940. Pada Sinode Godang itu Pdt. K. Sirait terpilih menjadi Ephorus pribumi pertama setelah mengalahkan Kleine dalam suatu pemilihan suara para peserta sinode. Dengan demikian pertama kali seorang pribumi menduduki jabatan tertinggi di dalam HKBP. Selain itu perlu ditekankan bahwa pemilihan itu sudah dipengaruhi adanya simpati nasional para anggota sinode, sekaligus menjadi tanda unsur Batak yang berniat memisahkan HKBP dari kepemimpinan orang Eropa, untuk seterusnya.[28]

Penutup

Banyak sekali usaha yang telah dilakukan oleh orang Batak untuk mencapai gereja yang mandiri. Bahkan usaha ini sebenarnya sudah dimulai ketika Nommensen sendiri masih hidup. Namun, semua usaha yang dilakukan oleh orang Batak untuk mencapai gereja yang mandiri sepertinya kurang berhasil. Para utusan RMG tetap memegang jabatan-jabatan pentinng dalam HKBP, meskipun sudah semakin banyak pendeta Batak yang ada. Justru Perang Dunia ke II yang memegang peranan penting, yang dapat memaksa para utusan RMG untuk melepaskan jabatannya dalam HKBP.

Kalau pada mulanya orang Batak didatangi oleh orang-orang dari Eropa dan Amerika, maka selanjutnya, dengan semangat untuk menyebarkan Injil kepada orang-orang yang belum mengenal Yesus supaya mereka bisa diselamatkan juga seperti orang Batak, maka semangat kemandirian yang pertama kali justru datang dari semangat penginjilan. Sejak tahun 1899 itu, Zending Batak terus hidup dan menyebarkan Injil kepada jiwa-jiwa baru.

Usaha kemandirian bermula dari semangat di bidang sosial dan politik yang sudah dimulai oleh HKB. Kritik mereka pada saat itu yang menunjukkan semangat nasionalisme mereka, semangat nasionalisme kedaerahan mereka, yang menunjukkan perlawanan terhadap kekuasaan yang semena-mena. Bidang sosial dan politik adalah bidang yang tidak bisa dihilangkan dari gereja. Terlebih lagi di dalam situasi sekarang ini, di saat banyaknya penyalahgunaan kekuasaan, maka gereja perlu lebih menentukan sikapnya, agar gereja bisa menunjukkan “kemandiriannya”.

Kepustakaan

Aritonang, J. S. Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988.

Hutauruk, J.  R. Kemandirian Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.

Krüger, Müller. Sedjarah Geredja di Indonesia. Jakarta: BPK, 1966.

Nadeak, Moksa, dkk. Krisis HKBP: Ujian bagi Iman dan Pengamalan Pancasila. Tarutung: Biro Informasi HKBP, 1995.

Pedersen, Paul B. Batak Blood and Protestant Soul. Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1970.

Sidjabat, W. B. Ahu Si Singamangaraja. Jakarta: Sinar Harapan, 1982.

van den End, Th. Ragi Carita 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.


[1] Kedua orang ini adalah misionaris yang terbunuh oleh Raja Panggalemei beserta rakyatnya. Menurut cerita, kedua orang ini disembelih dan dimakan dagingnya oleh Raja Panggalemei dan rakyatnya, meskipun demikian belum ada bukti yang jelas dan saksi mata akan peristwa itu. Ada beberapa versi cerita mengenai terbunuhnya kedua orang misionaris ini, yang dapat dilihat dalam. Lihat: W. B. Sidjabat, Ahu Si Singamangaraja (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hlm. 400-401 dengan Paul B. Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan (Jakarta BPK-GM, 1975), hlm. 49-51.

[2] Dr. Th. Müller Krüger, Sedjarah Geredja di Indonesia (Jakarta: BPK, 1966), hlm. 208-209.

[3] Moksa Nadeak, dkk, Krisis HKBP: Ujian bagi Iman dan Pengamalan Pancasila (Tarutung: Biro Informasi HKBP, 1995), hlm. 30.

[4] Paul B. Pedersen, Batak Blood and Protestant Soul (Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1970), hlm. 74.

[5] Moksa Nadeak, Op. Cit., hlm. 24.

[6] Paul B. Pedersen, Op. Cit.

[7] Pdt. Dr. J. R. Hutauruk, Kemandirian Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. 74-75.

[8] Dr. Th. Muller Kruger, Op. Cit., hlm. 227. Penulis melihat adanya sebuah kontradiksi yang sangat tajam ketika membandingkan dengan Krisis HKBP, Op. Cit., hlm. 25, ketika Moksa Nadeak dkk mengatakan bahwa sebenarnya lembaga ini  tidak dapat hidup lama, terutama setelah Pdt. Henoch Lumbantobing mundur dari jabatan ketua pada tahun 1909. Penarikan diri Henoch dari jabatan ketua tersebut banyak disebabkan tenaga-tenaga misionaris asing yang tidak mendukung di lapangan. Di samping itu Nommensen yang menjadi Ephorus kala itu berkehendak mengubah anggaran dasar PMB melalui pendekatan khusus terhadap Pdt. Henoch. Faktor hubungan batin antara Pdt. Henoch dengan Nommensen yang adalah gurunya itu juga menjadi salah satu faktor bagi Henoch untuk tidak menentang kehendak sang guru.

[9] Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), hlm. 288-289.

[10] Pedersen, Op. Cit., hlm 94-95.

[11] Ibid., hlm. 289-291.

[12] Moksa Nadeak dkk,  Op.  Cit., hlm. 25. Bandingkan dengan Aritonang, Op. Cit., hlm. 293-295.

[13] Hutauruk, Op. Cit., hlm. 84-86.

[14] Aritonang, Op. Cit., hlm. 295. Bandingkan Hutauruk, Op. Cit., hlm. 86. Di sini dituliskan bahwa tujuan HKB ada tiga: pertama, memperkuat agama Kristen; kedua, kasih persaudaraan, tolong-menolong dan dalam segala pekerjaan baik, khusus  dalam lingkungan anggota-anggota serikat; dan ketiga, mengusahakan perdamaian dan pembangunan sosial suku Batak.

[15] Hutauruk, Op. Cit., hlm. 86.

[16] Nadeak, Op. Cit., hlm. 26.

[17] Ibid., hlm. 26-27, bandingkan Hutauruk, Op. Cit., hlm. 103-104.

[18] Ibid., hlm. 27-28.

[19] Ibid., hlm. 28.

[20] Ibid., hlm. 29. Lihat juga Hutauruk, Op. Cit., hlm. 131-134, dan Th. van den End, Ragi Carita 2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. 183.

[21] Ibid. Bandingkan Hutauruk, Op. Cit., hlm. 145.

[22] Ibid.

[23] Ibid. Bandingkan van den End, Op. Cit., hlm. 183.

[24] Hutauruk, Op. Cit., hlm. 164-165.

[25] Ibid., hlm. 182

[26] Ibid., hlm. 183-185.

[27] Jubileum, Op. Cit., hlm. 9, dan Hutauruk, Op. Cit., hlm. 186-187.

[28] Ibid., hlm 188-189.

Viewed 22707 times by 6411 viewers

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *