Nilai Jelek? Jangan Khawatir!

Posted (binsar) in Opinion on March-21-2008

Semester lalu akan lewat dan semester genap akan melaju. Bagi beberapa orang, mungkin semester yang lalu membawa berkah tersendiri. Bisa jadi rekan-rekan ada yang mendapat pengetahuan baru, wawasan baru, tempat curhat baru, dan mungkin juga ‘teman’ baru. Semester lalu juga membawa sesuatu yang tidak mungkin kita hindari, nilai kumulatif (kalau di Indonesia kita menggunakan istilah Indeks Prestasi Kumulatif/IPK) semester ganjil.

‘            Nilai yang kita peroleh itu bisa jadi adalah hasil keringat kita sendiri, hasil keringat kelompok karena kerja kelompok, dan juga hasil keringat orang lain…. (kalau plagiat). Keringat siapa pun yang berperan di dalam nilai kita tersebut, umumnya hasil tersebut akan menimbulkan reaksi. Senang, gembira, puas, bangga kalau mendapat nilai bagus; dan menjadi sedih, bete, menyesali diri kalau nilai jelek. Namun tidak semua bereaksi seperti yang saya sebutkan di atas. Tidak tertutup kemungkinan juga bahwa ada yang merasa OK-OK saja dan bahkan bangga mendapat nilai pas-pasan, karena merasa yang penting itu hasil keringat sendiri. Ada juga yang mendapat nilai bagus, namun belum puas kalau belum mencapai IP 4. Toh, standar bagus dan jelek setiap orang kan berbeda-beda.

‘            Terlepas dari batas standar bagus dan jelek setiap orang, nilai jelek belum berarti kamu memang tidak kompeten untuk mendapatkan nilai bagus. Tidak percaya? Coba ikuti penjelasan saya berikut ini. Apabila sang dosen memberikan pertanyaan yang menyangkut opini pribadi, misalnya “Menurut pendapatmu….”, atau “Apa pendapat saudara mengenai….”, dan kita mendapat nilai jelek, itu belum berarti kamu memang tidak pintar. Itu berarti opini kamu dan sang dosen memang berbeda.

‘            Ketika opini kamu dan sang dosen berbeda, itu juga bukan berarti bahwa kamu tidak dapat menangkap apa yang disampaikan olehnya, melainkan kamu memiliki pemikiran yang tidak sama. Ini adalah wajar-wajar saja karena setiap orang memiliki relativitasnya masing-masing dalam menghadapi setiap hal karena tidak ada manusia yang identik sama pemikirannya. Setiap individu tidak bisa lepas dari komunitas yang membentuknya, dan kita semua dibentuk dalam komunitas yang berbeda-beda. Karena itu, kemungkinan untuk berbeda sangatlah besar.

‘            Lalu bagaimana dengan yang sama pemikirannya dengan sang dosen? Tidak dapat dipungkiri bahwa memang ada naradidik yang memiliki pemikiran sesuai dengan harapan sang dosen di dalam TIK dan TIU-nya. Namun, kembali lagi, berbeda belum berarti kamu memang tidak mampu. Perbedaan rekan-rekan dengan sang dosen bisa jadi karena pemikiran yang kamu kemukakan itu tidak dapat diterima oleh sang pengajar, dan hal ini tetap sah-sah saja. Pendidikan selalu sepihak. Pendidikan yang diberikan oleh pendidik selalu berdasarkan keinginan pola penguasa yang menetapkan kurikulum. Dan karenanya politik ternyata sangat berkait erat dengan pendidikan. Politik adalah kebijakan. Siapa yang menguasai politik atau siapa yang menjadi pemimpin, dialah yang kemudian menentukan arah pendidikan. Siapa yang mengajar, dialah yang menetapkan standar penilaiannya. Hal seperti ini bisa membawa ke dua hal, positif dan negatif.

‘            Karena bahaya-bahaya tersebut Ivan Illich menggambarkan bahwa pendidikan formal justru harus ditolak. Peningkatan ilmu selalu dikaitkan dengan keberhasilan. Imaginasi murid dilatih untuk menerima jasa, yang bisa berarti nilai bagus dan beasiswa. Pelembagaan ternyata akan mengakibatkan polusi fisik, polarisasi sosial dan impotensi psikologis. Degradasi nilai (value) ini ternyata semakin dipercepat ketika orang mengganggap kebutuhan nonmaterial itu sebagai suatu komoditi. Karena itu sistem pendidikan formal harus ditolak.

‘            Tentu tujuan tulisan ini tidak sampai ke situ. Saya tidak sampai kepada penolakan sistem pendidikan formal itu. Saya hanya ingin menyampaikan jangan khawatir jika kita mendapatkan nilai yang jelek, hanya karena pemikiran kita tidak sesuai dengan apa yang diharapkan sang dosen. Janganlah belajar untuk mengejar nilai. Belajarlah untuk mengejar ilmu. Pemikiran kamu yang tidak sesuai dengan sang dosen tadi bisa jadi karena kamu memiliki sebuah pemikiran yang jauh di depan, dan mungkin belum terpikirkan oleh sang dosen. Bahkan bisa jadi pemikiran anda itu ditertawakan sekarang. Galileo Galilei pun ditertawakan karena mengatakan bumi ini bulat di saat yang lain mengatakan bumi ini datar.

‘            Pemikiran yang berbeda, bisa juga berarti anda memiliki pemikiran yang jauh ke depan, sehingga mungkin pemikiran anda itu tidak dapat diterima pada masa ini. Karena itu, jangan khawatir jika anda mendapat nilai jelek. Nilai bukanlah segalanya. Ilmulah yang harus dicari bukan nilai. Terus perdalam ilmu anda, dan siapa tahu beberapa tahun ke depan, pemikiran kamu itu akan menjadi sangat aktual.

‘            Kalau kamu merasa kesal, ketika merasa bahwa kamu sudah melakukan yang terbaik tetapi mendapat nilai jelek juga, ingatlah kata-kata saya ini, jangan khawatir mendapat nilai jelek, dan jangan takut untuk berbeda. Kita belajar untuk mencari ilmu bukan untuk mencari nilai, sehingga jangan juga kita menghalalkan segala cara untuk memperoleh nilai yang baik. Namun, hendaknya tulisan ini juga jangan menjadi apologi ketika kamu memang tidak mengusahakannya!

‘            Akhir kata, bagi kamu yang sudah berusaha namun tetap masuk ke dalam lembah pencobaan kategori nokia (nol koma sekian) dan nasakom (nilai satu koma), jangan khawatir, tetaplah berusaha, tetap semangat, dan yang lebih utama lagi buat kita semua, tetap menimba ilmu, bukan nilai!

Catatan: Belanda menggunakan sistem penilaian 1-10, di mana nilai 8,5 adalah nilai para jenius, 9-9,5 adalah nilai sang dosen, dan 10 adalah milik Tuhan!

Viewed 18246 times by 5854 viewers

One Comment

  1. Very nice

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *