Kerja di Luar Negeri = Penghianat bangsa?

(was written in March 2009)

Baru-baru ini ada berita mengenai kemungkinan Malaysia menyalip Indonesia dalam teknologi kedirgantaraan pada tahun 2010. Ahli dirgantara Indonesia yang sekarang bekerja di luar negeri ditengarai sedang membangun dan memajukan negara tempat dia bekerja daripada negaranya sendiri. Kasus ini juga mengingatkan saya pada perpindahan beberapa atlet bulutangkis nasional ke negara lain sebagai pelatih atau pemain. Kebanyakan dari atlet kita ini akhirnya menyumbang peranan yang cukup besar bagi kemajuan dunia bulutangkis di mana mereka bekerja. Respon terhadap hal ini adalah ada orang yang dengan cepat menyalahkan mereka berdasarkan pertimbangan nasionalisme semata. Saya akan mengajak kita untuk melihat hal ini dengan mata yang lebih jernih dan juga dengan pertimbangan matang dari beberapa sudut pertimbangan etis.
Pertama, kita lihat sisi legal-peraturan yang mengatur perpindahan ini. Tidak ada larangan bagi para ahli (bisa juga dibaca: atlet) untuk pindah dan bekerja di negara lain.  Memang ada peraturan internasional ketenagakerjaan dan juga masalah transfer di beberapa cabang olahraga yang mengatur masalah ini. Dalam sepakbola, para atlet memiliki beberapa persyaratan untuk dapat bermain untuk negara lain, yaitu masalah kewarganegaraan dan dia juga harus belum pernah mewakili negara lain di pertandingan internasional.

Kalau kita meninjau dari segi kontrak kerja, maka tidak ada peraturan yang melarang para ekspatriat Indonesia di luar negeri bekerja berdasarkan keahlian mereka. Dilemanya adalah ketika mereka membagi (baca: mengerjakan ulang) hak cipta intelektual yang sudah dibuat sebelumnya di Indonesia kepada negara lain. Karya intelektual yang sudah dipatenkan di Indonesia tidak boleh dibagi kepada perusahaan baru di negara mana dia bekerja kemudian. Ini hampir sama dengan kode etik para eksekutif yang kemudian ‘dibajak’ untuk bekerja untuk perusahaan saingan yang seharusnya tidak boleh membocorkan rahasia perusahaan di mana dia bekerja sebelumnya.

Kemudian ada pertimbangan aktualisasi diri. Mereka yang memiliki keahlian tertentu pastinya memerlukan aktualisasi diri dan pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya. Bayangkan investasi keahlian yang sudah ditanamkan atas diri mereka kemudian menjadi tidak berguna karena tidak adanya pekerjaan bagi mereka. Investasi ini juga terkadang dilakukan oleh negara dengan mengirim putri putra terbaik bangsa untuk belajar ke luar lalu mengikatnya dengan kontrak kerja. Kontrak kerja juga berarti negara wajib memberi mereka kerja yang sesuai dengan bidang mereka.

Pertimbangan selanjutnya adalah masalah sarana prasarana. Untuk para peneliti, kadang-kadang Indonesia tidak memiliki dana untuk melakukan riset tertentu dan akhirnya ide ini mati suri dengan alasan kekurangan daya finansial. Pertanyaan dilematisnya adalah apakah ide ini dibiarkan terletak di atas meja saja atau membiarkan orang lain yang memiliki kemampuan dana cukup untuk mengembangkannya.

Kemudian ada juga masalah periuk nasi di dapur. Hal ini menjadi masalah prioritas tinggi bagi mereka yang sudah berkeluarga. Apakah tindakan orang yang ingin memperoleh penghasilan lebih besar menjadi salah karena dia bekerja di luar negeri? Apakah kita masih akan tetap tinggal dengan gaji minim di perusahaan tempat teman-teman bekerja, sementara ada perusahaan lain yang menjanjikan peluang ekonomi yang lebih besar?

Lalu ada pertimbangan rasa nasionalisme. Saya sangat setuju dengan prinsip bahwa kita harus mengharumkan nama bangsa. Kedekatan emosional dengan tanah air adalah hal yang sangat penting.

Lalu ada pertimbangan mengenai penghargaan. Seringkali para ahli ini tidak menjumpai penghargaan yang layak dengan kontribusi yang sudah disumbangkannya. Alan Budikusuma dan Susi Susanti harus menunggu lebih dari 8 tahun untuk mendapatkan KTP WNI setelah memenangkan medali emas olimpiade untuk Indonesia. Banyak atlet yang hidup dalam suasana memprihatinkan setelah berjasa untuk bangsa. Tidak sedikit pula ahli yang tidak dihargai pendapatnya karena mereka tidak memiliki pengaruh politis.

Selain beberapa pertimbangan di atas, kasus PT Dirgantara Indonesia adalah hal yang lahir dari pergumulan panjang bangsa Indonesia dalam menentukan langkahnya ke depan. Indonesia mencoba untuk terjun ke bidang teknologi setelah Bapak BJ Habibie kembali dari Jerman. Investasi yang diberikan untuk bidang ini tidaklah kecil sementara pengembangan bidang pertanian yang notabene adalah lapangan kerja terbesar di Indonesia kurang mendapat perhatian. Indonesia masih mengimpor beras dari Vietnam dan Thailand sementara kita adalah negara agraris. Saya sendiri merasa sangat bangga dengan produk IPTN, namun bagaimana dengan prioritas untuk petani kita? Ini adalah masalah skala prioritas dan keinginan politik pengembangan bangsa pemerintah kita. Indonesia pernah ingin mengambil semua bidang secara bersamaan: teknologi, agraris, perdagangan, dan akhirnya menjadi kewalahan. Yang terjadi dengan PT Dirgantara Indonesia kemudian adalah pemerintah memutuskan untuk lebih memfokuskan diri kepada pengembangan sumberdaya manusia dan gerakan swasembada pangan daripada bidang teknologi praktis seperti PT Dirgantara Indonesia. Ini membuat PT DI dianaktirikan dan akhirnya banyak perkerja harus dikandangkan, dan otomatis efeknya adalah mereka akan mencari pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan mereka.

Topik ini menjadi relevan bagi kami para pelajar yang sedang menimba ilmu di negeri orang dan sering tergoda dengan pertimbangan-pertimbangan yang saya paparkan di atas. Intinya, tidaklah mudah untuk menganggap orang lain penghianat bangsa karena dia bekerja di negara lain. Saya sendiri cenderung mengusulkan agar masalah hak cipta perusahaan anak bangsa lebih diperketat sehingga kalaupun banyak ahli yang eksodus mereka tetap dilarang untuk membocorkan teknologi penemuan bangsa sendiri kepada orang lain. Saya sendiri insyaallah akan kembali ke Indonesia dan membangun bangsa sendiri, namun saya tidak akan dengan mudah mencap orang yang bekerja di negara lain sebagai penghianat sampai saya tahu alasan mereka yang sesungguhnya.

Viewed 33069 times by 4631 viewers

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *