Sikap Menunggu Pertolongan Tuhan

Khotbah Ibadah Minggu 16 Mei 2010

GKIN Amstelveen

Yohanes 11:17-32

Sikap Menunggu Pertolongan Tuhan

Saudara-saudara terkasih,

30 April yang lalu adalah Koningendag ketiga saya di Amsterdam. Seperti biasa, perayaan Koningendag di Amsterdam selalu spesial. Warna oranye ada di mana-mana, mulai baju sampai pakaian dalam. Pesta ada di mana-mana. Banyak orang yang mabuk. Tetapi buat saya yang paling menarik adalah jualan rommel di pinggir jalan. Orang menjual bermacam barang dari hal yang penting sampai hal yang sama sekali tidak ada gunanya.

Kalau saya belanja barang-barang bekas, saya jadi ingat 2 orang perempuan teman saya dulu  waktu kami sama-sama menyelesaikan studi master di Belanda. Kedua teman saya ini punya sifat yang berbeda waktu mereka belanja di koningen dag.

Sifat teman saya yang satu adalah tenang, bisa mengontrol emosinya, dan cenderung bernada datar dalam berbicara. Kalau dia membeli barang di Koningendag, dia selalu memeriksa barang tersebut, menawarnya, berpikir ulang dan baru memutuskan untuk membelinya atau tidak. Dia selalu tenang dan tidak impulsif dalam membeli. Kelebihannya, dia selalu mendapatkan barang yang berkualitas bagus. Kelemahannya, dia sering tidak berhasil dalam membeli barang karena terlambat atau terlalu banyak berpikir sehingga barangnya sudah diambil orang lain.

Teman saya yang satu lagi, orangnya heboh (penuh semangat), impulsif, ceria, bisa mempengaruhi emosi orang dengan moodnya. Teman saya ini menyukai hampir semua barang yang dia lihat baik dan kemudian tanpa ragu membelinya. Kelebihannya, dia mendapatkan banyak barang yang dia sukai, namun kelemahannya adalah seringkali dia membawa pulang banyak barang yang tidak dia butuhkan.

Saudara-saudara terkasih, kedua teman saya ini punya kekuatan dan kelemahan. Dan kedua teman saya ini saya pikir adalah representasi dari kedua perempuan yang sebentar lagi akan kita dengarkan ceritanya melalui khotbah hari ini.

Hari ini kita akan mendengarkan percakapan Tuhan Yesus dengan dua orang yang sedang mengalami kedukaan karena ditinggal pergi seorang saudara yang mereka kasihi, yaitu Lazarus.

Saudara-saudara mungkin sudah pernah membaca atau mendengar kisah tentang Lazarus sebelumnya. Injil Yohanes pasal 11 bercerita tentang Lazarus yang meninggal dunia dan dibangkitkan kembali oleh Yesus. Lazarus adalah seorang yang dikasihi Yesus, dan juga saudara dari Maria dan Marta. Maria dan Marta ini adalah perempuan yang sama dengan Maria dan Marta yang menyambut Yesus ketika dia datang ke rumah mereka (Lukas 10:38).

Maria menyambut dengan mendengarkan cerita Yesus dan Marta sibuk menyiapkan makanan di dapur. Hari ini kita akan kembali mendengar kedua perempuan yang sepertinya memiliki karakter berbeda ini menghadapi kesusahan dan bertahan dalam imannya kepada Kristus.

Yohanes 11 diawali dengan cerita mengenai sakitnya Lazarus dan bagaimana kedua perempuan ini mengutus seseorang untuk mengirim kabar kepada Yesus. Harapan mereka pastinya adalah agar Tuhan Yesus segera datang dan menyembuhkan Lazarus. Mereka berpikir bahwa Yesus pasti datang dan menyembuhkan Lazarus karena Lazarus adalah orang yang dikasihi Yesus, dan juga saudara dari Maria dan Marta yang juga dikenal baik oleh Yesus.

Tetapi sebenarnya Lazarus sudah meninggal ketika utusan yang dikirim Maria dan Marta sampai ke Yesus (ay. 11). Kemudian Yesus juga punya rencana atas kematian Lazarus. Yesus tidak langsung berangkat untuk mengunjungi Lazarus atau menghibur Maria dan Marta, tetapi berkata di ayat 15, “tetapi syukurlah Aku tidak hadir pada waktu itu, sebab demikian lebih baik bagimu, supaya kamu dapat belajar percaya. Marilah kita pergi sekarang kepadanya.” Ini artinya Yesus memang sengaja menunggu sebelum dia berangkat menuju Yudea, ke desa Betania.

Ketika Yesus tiba di luar Betania, Lazarus sudah berada 4 hari di dalam kubur. Tradisi Yahudi dalam urusan orang meninggal mungkin hampir sama rumitnya dengan tradisi Batak dan Toraja. Ketika jasad yang meninggal sudah dikubur, rumah duka akan dipenuhi oleh orang-orang yang menangis dan orang-orang yang menghibur mereka yang menangis. Situasinya adalah ramai dan penuh dengan tangisan. Lalu kabar tentang kedatangan Yesus terdengar.

Saudara-saudara, hal ini sebenarnya sering terjadi dalam hidup kita. Ketika kita merasakan bahwa kita dekat dengan Allah, kita sering merasa bahwa seharusnya Allah mengabulkan permohonan kita. Kita merasa bahwa Tuhan tahu kebutuhan kita dan seharusnya Tuhan menjawab doa kita, tetapi yang terjadi adalah Tuhan menunda menjawab doa kita.

Minggu ini adalah minggu masa penantian Roh Kudus. Minggu ini adalah hari penantian jawaban doa para murid akan Roh Penolong yang dijanjikan Yesus untuk datang kepada mereka. Di dalam masa penantian akan jawaban doa, akan permintaan kita, akan pertolongan Tuhan dalam hidup kita, kita membaca kisah Maria dan Marta. Hari ini kita akan belajar dari kedua perempuan ini bagaimana mereka bereaksi dalam penantian mereka terhadap pertolongan Tuhan.

Yang pertama: Marta.

Marta ini hampir sama dengan teman saya tipe pertama tadi. Dia orangnya aktif, tenang, suka bekerja, dan bisa mengontol emosi dan perkataannya. Orangnya lebih logis dan rasional daripada emosional.


Ketika Marta mendengar berita kedatangan Yesus, dia pergi keluar rumah dengan tenang, melewati semua orang yang memenuhi rumahnya dan bergegas menemui Yesus di luar desa mereka.

Di tengah rasa dukanya, Marta sepertinya berdialog dengan Yesus. Ketika dia melihat Yesus dia berkata, “Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati (ay. 21).” Marta mengeluh kepada Yesus, ada nada penyesalan di dalam perkataannya. Lalu dia melanjutkan perkataannya, “Tetapi sekarangpun aku tahu, bahwa Allah akan memberikan kepada-Mu segala sesuatu yang Engkau minta kepada-Nya.”

Lalu Yesus menjawab, “Saudaramu akan bangkit (ay. 23).” Buat Marta jawaban ini mungkin bukan yang pertama kali didengarnya. Orang Yahudi percaya kepada kebangkitan orang mati di hari penghakiman nanti dan karena itu mungkin semua tamu yang datang menghiburnya mengatakan hal yang sama. Marta lalu menjawab, “Aku tahu bahwa ia akan bangkit pada waktu orang-orang bangkit pada akhir zaman (ay. 24).” Yesus kemudian menjawab kembali, “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya (ay. 25-26).” Jawaban Yesus adalah penegasan bahwa Yesus adalah kehidupan dan Marta seharusnya mengerti hal ini sebagai seorang murid. Karena itu di akhir kalimatnya Tuhan Yesus bertanya, “Percayakah engkau akan hal ini?”

Marta menjawab dengan iman dan berkata. “Ya, Tuhan, aku percaya, bahwa Engkaulah Mesias, Anak Allah, Dia yang akan datang ke dalam dunia.” Tetapi sebenarnya jawaban Marta belum menunjukkan imannya. Karena ketika Yesus memerintahkan seseorang untuk membuka batu kuburan Lazarus (ay. 39), Marta adalah orang yang pertama kali menolaknya karena menurut dia mayat Lazarus sudah busuk dan bau. Dia tidak berpikir bahwa Yesus bisa membangkitkan orang mati meskipun dia mungkin pernah mendengar kabar bahwa Yesus juga pernah membangkitkan puteri Jairus (Markus 5:22-43) dan anak janda dari Nain (Lukas 7:11-17).

Artinya, ketika Marta mengatakan “Ya Tuhan, aku percaya!” bukanlah jawaban dari orang yang sepenuhnya percaya akan kuasa Yesus. Buat Marta, Yesus tidak bisa lagi menolong mereka karena Lazarus sudah mati. Marta yang rasional bertanya kepada Yesus dan kemudian logikanya kemudian mengalahkan imannya.

Kemudian sekarang mari kita lihat perempuan kedua dalam kisah ini: Maria.

Maria, sepertinya adalah seorang perempuan yang mirip dengan teman saya yang kedua. Maria adalah orang yang ceria, afektif, lebih menggunakan perasaan dari logika, impulsif, orang yang emosional. Emosional bukan berarti suka marah-marah. Emosional dalam bahasa Indonesia untuk anak muda (slang) adalah heboh, rame, lebay.

Ketika Marta mendengar berita kedatangan Yesus pertama kali, Maria tetap di rumah. Kemungkinan besar Maria tidak bisa mendengar kedatangan Tuhan Yesus karena kesedihannya sehingga dia tidak lagi memperhatikan keadaan sekelilingnya. Ketika Marta selesai berbicara dengan Yesus, Marta kemudian kembali ke rumah dan berbisik kepada Maria, “Guru ada di sana dan Dia memanggil Engkau” (ay. 28).

Karena Maria adalah tipe orang yang heboh maka begitu mendengar bisikan Marta, Maria segera bangkit dan pergi menyambut Yesus sampai ke luar kota. Alkitab tidak menceritakan bagaimana Maria pergi, namun saya bisa membayangkan bahwa Maria pergi dengan hebohnya sambil menangis, mungkin dia menabrak banyak orang untuk bisa keluar rumah, dan terus berlari menyambut Yesus. Hal ini bisa kita lihat dari bukti bahwa ternyata orang-orang yang ada di rumah itu ikut bangkit dan mengikuti Maria. Ketika Marta berhasil keluar dengan tenang, Maria keluar rumah dan menarik perhatian semua orang Yahudi yang ada di situ sehingga mereka mengikutinya. Mereka mengira Maria akan pergi ke kubur lagi untuk menangis dan mereka ingin menghibur dia.

Ketika Maria bertemu Yesus, dia mengatakan hal yang sama dengan yang dikatakan Marta, “Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati (ay. 32).” Maria mengatakan hal ini sambil menjatuhkan diri di kaki Yesus dengan perasaan yang bercampur antara sedih dan lega karena bertemu dengan Sang Penolong. Maria menumpahkan semua perasaannya dalam satu kalimat itu seperti sedang mengeluh kepada orang yang dipercaya bisa menolongnya. Tidak ada lagi percakapan antara Yesus dan Maria, tetapi tindakannya menunjukkan kasih dan kepercayaannya kepada Yesus. Cerita selanjutnya di Yohanes 11 menunjukkan bahwa Yesus tergerak oleh tindakan Maria ini. Bahkan Yesuspun menangis di ayat 35.

Saudara-saudara, di sini kita telah melihat contoh kedua perempuan yang memiliki sikap dan cara pandang yang berbeda ketika mereka menghadapi kesulitan. Sekarang coba kita lihat seperti apa kira-kira cerita ini kalau kita terapkan dalam kehidupan kita sekarang.

Kita semua mungkin pernah mengalami hal yang sama. Mungkin saudara mengalami kesulitan dalam hidup dan sudah meminta pertolongan kepada Tuhan. Dan seperti cerita kita kali ini Tuhan memang sengaja menunda pertolonganNya. Ada rencana Tuhan yang tidak kita mengerti. Ada kuasa Tuhan yang tidak kita pahami. Lalu pertanyaannya bagaimana seharusnya kita bersikap dalam menunggu pertolongan Tuhan yang sepertinya datang terlambat.

Apabila anda seperti Marta anda akan bersikap rasional, anda bisa berpikir dengan tenang dan bisa melihat pertolongan ketika Tuhan datang. Tetapi ketika anda terlalu rasional, anda akan selalu meragukan pertolongan itu ketika Tuhan sudah datang. Mungkin saudara bisa melihat bantuan tetapi anda ragu apakah itu bisa menolong saudara. Apabila saudara seperti Maria, kemungkinan anda akan larut dalam kesedihan dan kesusahan sehingga saudara tidak bisa melihat pertolongan yang datang. Tetapi ketika saudara sadar bahwa Tuhan sudah datang dan menolong, anda akan dengan sepenuh hati berserah kepada Tuhan.

Kedua perempuan ini memiliki sisi positif dan negatif. Cara menunggu yang baik memang gabungan dari keduanya. Tetapi hal ini lebih sulit dilakukan daripada dikatakan.

Khotbah minggu lalu mengatakan bahwa kadang-kadang kita terlalu dipenuhi oleh ras khawatir sehingga kita tidak bisa melihat rencana Allah di balik kertas putih dengan lingkaran hitam yang ada di depan kita. Hari ini kita diingatkan untuk belajar dari sikap kedua perempuan yang sedang menunggu pertolongan Tuhan. Satu hal yang pasti adalah kedua perempuan ini tetap berserah kepada Tuhan meskipun mereka tidak memperoleh pertolongan ketika Lazarus masih hidup. Di dalam duka, mereka masih tetap berserah kepada Tuhan.

Apapun sikap anda, yakinlah Tuhan pasti menolong dan sikap apapun yang anda pilih, tetaplah anda di dalam Tuhan.

Di sini kita bisa belajar bahwa kuasa Tuhan jauh di atas maut dan tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Tuhan adalah penguasa kehidupan dan kematian. Yang bisa kita lakukan adalah percaya dan bersikap yang benar ketika menunggu pertolongan dari Tuhan. Amin.

De houding in de afwachting van Gods hulp.

Geliefde broeders en zusters,

Afgelopen 30 april was mijn derde Koninginnedag in Amsterdam. Zoals gewoonlijk

was de viering van de Koninginnedag in Amsterdam altijd bijzonder. De oranje-kleur

was overal te zien, van kleding tot onderkleren. Er was overal feest. Veel mensen

waren dronken. Maar voor mij was de rommelmarkt aan de kant van de straten het

meest aantrekkelijk. Mensen verkochten verschillende dingen, van belangrijke tot

waardeloze spullen.

(Picture 1)

Indien ik gebruikte goederen inkoop, herinner ik mij aan twee vrouwelijke studie-

genoten tijdens mijn afgelopen master-studie in Nederland. Deze twee vriendinnen

hebben verschillende eigenschappen tijdens het inkopen op Koninginnedag.

De eerste vriendin heeft een rustige eigenschap, kan haar emotie onder controle

houden, spreekt op een gelijkmatige toon. Bij haar aankoop op Koninginnedag,

controleerde zij altijd dat ding, ging bieden, ging nadenken en dan ging ze pas

beslissen over wel of niet kopen. Zij was altijd rustig en niet impulsief bij het kopen.

De positieve kant van deze eigenschap is dat ze altijd dingen met goede kwaliteit

krijgt en de negatieve kant is dat het haar vaak niet gelukt was om de dingen te

kopen, omdat zij te laat was of door te veel nadenken, het spul door iemand anders

gekocht was.

Mijn andere vriendin is energiek, impulsief, opgewekt, kan met haar humeur de

emotie van anderen beïnvloeden. Deze vriendin van mij houdt van bijna alle spullen,

die zij leuk vindt en daarna zonder twijfel koopt. De positieve kant van deze

eigenschap is dat zij veel dingen krijgt die zij leuk vindt, maar de zwakke kant is dat

ze vaak dingen naar huis meeneemt, die ze niet nodig heeft.

Geliefde broeders en zusters, deze twee vriendinnen van mij hebben sterke en

zwakke punten en volgens mij zijn zij de representatie van het verhaal van de twee

vrouwen in de preek van vandaag.

Vandaag zullen wij luisteren naar het gesprek van de Here Jezus met twee mensen,

die verdrietig waren, door het overlijden van hun geliefde broer Lazarus.

Broeders en zusters, misschien heeft u voordien reeds het verhaal over Lazarus

gelezen of gehoord. Het evangelie van Johannes hoofdstuk 11 vertelt over de

overleden Lazarus, die door Jezus uit de dood opgewekt was. Lazarus was iemand,

die door Jezus geliefd was en hij was de broer van Maria en Marta. Deze Maria en

Marta waren dezelfde vrouwen, die Jezus hadden verwelkomd, toen Hij bij hun op

bezoek was (Lucas 10:38).

(Picture 2)

Maria verwelkomde Hem met het luisteren van het verhaal

van Jezus en Marta was druk bezig met het voorbereiden van de maaltijd in de keuken.

Vandaag luisteren wij naar de twee verdrietige vrouwen, die kennelijk een verschil van

karakter hebben en volhouden in hun geloof in Jezus.

Johannes 11 is begonnen met het verhaal over de ziekte van Lazarus en hoe deze

twee vrouwen een bode uitstuurde om het bericht aan Jezus mee te delen. Hun vaste

hoop was dat de Here Jezus spoedig zou komen en Lazarus genezen. Zij dachten

dat Jezus zeker zou komen en Lazarus genezen, omdat Lazarus door Jezus geliefd

was en ook de broer van Maria en Marta, die ook goedgekend was door Jezus.

Maar in feite was Lazarus reeds overleden toen de bode, die door Maria en Marta werd

gestuurd, bij Jezus aankwam (vers 11). Jezus had ook een plan inzake de dood van Lazarus. Jezus was niet direct vertrokken om Lazarus op te zoeken of Maria en Marta te troosten, maar zie in vers 15: “en om jullie ben Ik blij dat Ik er niet bij was: nu kunnen jullie tot geloof komen. Laten we dan nu naar hem toe gaan”. Dit betekent dat Jezus met opzet wachtte, voordat hij naar het dorp Betania in Judea vertrok.

Toen Jezus buiten Betania aankwam, hoorde hij dat Lazarus al vier dagen in het graf lag. De Joodse traditie inzake overledenen is mogelijk bijna even ingewikkeld als de

Batakse- en Torajanese traditie. Na de begrafenis van de overledene, wordt het sterfhuis volgevuld met wenende mensen en mensen die de wenenden troosten. De

situatie is erg druk en vol met wenenden. En toen werd bekendgemaakt over de komst van Jezus.

Broeders en zusters, in feite gebeurt dit vaak in ons leven. In tijden dat wij ons dicht bij God voelen, hebben wij het gevoel dat God onze verzoeken moet verhoren. Wij voelen dat onze behoeften bekend zijn bij God en dat God onze gebeden had moeten beantwoorden, maar in bepaalde gevallen stelt God het antwoord op ons gebed uit. Heden zullen wij leren van deze twee vrouwen, hoe zij reageren in hun afwachting op Gods hulp.

(Picture 3)

De eerste is MARTA.

Marta is bijna dezelfde persoon als mijn eerste vriendin. Zij is actief, rustig, werklustig

en kan haar emotie en woorden onder controle houden. De persoon is meer logisch en rationeel dan emotioneel.

(Picture 4)

(Picture 5)

Toen Marta de komst van Jezus hoorde, ging zij rustig het huis uit, langs de vele mensen in haar huis en haaste zich om Jezus te ontmoeten buiten hun dorp.

Middenin haar verdriet, praatte Marta in een soort dialoog met Jezus. Toen zij Jezus zag, zei ze: “Als U hier was geweest, Heer, zou mijn broer niet gestorven zijn (vers 21)”.

Marta klaagde tegen Jezus met een teleurgestelde toon in haar bewoordingen. Daarna

zei ze verder: “Maar zelfs nu weet ik dat God U alles zal geven wat U vraagt”.

Jezus antwoordde: “Je broer zal uit de dood opstaan (vers 23)”. Voor Marta is het mogelijk dat ze dit antwoord niet voor de eerste keer hoorde. De Joden geloven in de opstanding van de doden op de dag des oordeels en mogelijk hierdoor troostten de gasten met dezelfde woorden. Marta antwoordde: “Ik weet dat hij bij de opstanding op de laatste dag zal opstaan (vers 24)”. Maar Jezus zei: “Ik ben de opstanding en het leven. Wie in Mij gelooft zal leven, ook wanneer hij sterft en ieder die leeft en in Mij gelooft zal nooit sterven (vers 25-26)”. Het antwoord van Jezus was een bevestiging dat Jezus het leven is en Marta zou dit moeten begrijpen als een leerling. Hierdoor zei Jezus aan het einde van zijn zin: “Geloof je dat?”.

Marta antwoordde met geloof en zei: “Ja Heer, ik geloof dat U de Messias bent, de Zoon van God die naar de wereld zou komen.” Maar in feite vertoonde het antwoord van Marta haar geloof niet, want toen Jezus iemand vroeg om de grafsteen van Lazarus weg te halen (vers 39), was Marta de eerste persoon die tegen was, vanwege de verrotting en de stank van het lijk van Lazarus. Zij had niet gedacht dat Jezus de doden kan verrijzen, ofschoon ze mogelijk vernomen heeft over de dodenopwekking van de dochter van Jaïrus (Marcus 5:22-43) en de zoon van de weduwe van Naïn (Lucas 7:11-17) door Jezus.

Dit betekent, toen Marta zei: “Ja Heer, ik geloof!”, was dat antwoord niet van iemand met volledig geloof in de macht van Jezus. Voor Marta, kon Jezus niet meer helpen, want Lazarus was al dood. De rationele Marta vroeg aan Jezus en dan versloeg haar logika haar geloof.

Laten wij nu kijken naar de tweede vrouw in dit verhal: MARIA.

Maria, de vrouw die identiek is met mijn tweede vriendin. Maria is een opgewekt persoon, affectief, gebruikt meer haar gevoelens dan de logika, is impulsief en emotioneel. Emotioneel betekent niet “vaak boos” zijn. Emotioneel in de Indonesische taal voor de jongeren betekent druk, opgewonden.

(Picture 6)

Toen Marta voor de eerste keer het bericht over de komst van Jezus hoorde, was Maria thuis gebleven. Hoogst waarschijnlijk kon Maria de komst van Jezus niet aanhoren door haar verdriet, zodat zij geen aandacht meer had voor de situatie in haar omgeving. Toen Marta klaar was met haar gesprek met Jezus, keerde zij naar huis en fluisterde tegen Maria, “De Meester is er, en Hij vraagt naar je.”(vers 28).

Omdat Maria een druk type-persoon is, stond ze, na de influistering van Marta, op en ging naar Jezus toe, buiten de stad. De Bijbel vertelde niet hoe Maria weggegaan was, maar ik kan mij voorstellen dat zij opgewonden was, huilend, mogelijk botsend tegen veel mensen om uit haar huis te komen en rennend om Jezus tegemoet te komen. Dit kunnen we zien uit het feit dat de gasten ook opstonden en Maria volgden. Toen Maria gelukt was om rustig uit haar huis te komen, trok ze de belangstelling van de Joden ter plekke, die haar ook volgden. Ze dachten dat Maria weer naar het graf ging om daar te weeklagen en ze wilden haar troosten.

Toen Maria Jezus zag, sprak ze dezelfde woorden zoals Marta: “Als U hier was geweest, Heer, zou mijn broer niet gestorven zijn (vers 32).” Maria sprak terwijl ze aan zijn voeten neerviel met gemengde gevoelens tussen verdriet en opluchting, omdat ze de Redder ontmoette. Maria stortte al haar gevoelens in één zin, alsof ze klaagt tegenover iemand die toevertrouwd is om haar te helpen. Er was geen conversatie meer tussen Jezus en Maria, maar haar daden vertoonde liefde en haar vertrouwen in Jezus.

Het vervolgverhaal in Johannes 11 vertoonde de bewogenheid van Jezus door deze daden van Maria. Jezus begon ook te huilen in vers 35.

Broeders en zusters, hier zien wij het voorbeeld van de twee vrouwen die verschillende houding en visie hebben in de confrontatie met moeilijkheden. Laten wij proberen om dit verhaal toe te passen in ons huidige leven.

Mogelijk hebben wij hetzelfde geval ervaren. Mogelijk ervaart u problemen in uw leven en reeds de hulp van God gevraagd. En zoals in ons verhaal van vandaag, heeft God inderdaad zijn hulp uitgesteld. Er is Gods plan, dat wij niet begrijpen. Er is Gods macht, die wij niet weten. En dan de vraag over welke houding wij moeten aannemen in de afwachting van Gods hulp, die ogenschijnlijk te laat komt.

Indien u zoals Marta bent, dan zult u een rationele houding aannemen, u kunt rustig nadenken en u kunt de hulp zien wanneer God komt. Maar indien u te rationeel bent, dan zult u aan de hulp twijfelen, indien God reeds gekomen is. Mogelijk kunt u de hulp zien, maar u twijfelt of het u echt kan helpen.

Indien u zoals Maria bent, is het mogelijk dat u verdiept raakt in het verdriet en de moeilijkheden, zodat u de aanwezige hulp niet kunt zien. Maar indien u bewust bent dat Jezus reeds gekomen is en helpt, dan zult u met geheel uw hart op God berusten.

(Again Picture 3)

De twee vrouwen hebben positieve en negatieve kanten. De goede manier van afwachten is inderdaad een combinatie van beiden. Maar dit is makkelijker gezegd dan gedaan.

Vandaag worden wij herinnerd om lering te trekken van de houding van de twee vrouwen, die in de afwachting zijn van Gods hulp. Één vast gegeven is dat deze twee vrouwen zijn blijvend berusten op God, ofschoon ze geen hulp hadden gekregen, toen Lazarus nog leefde. In verdriet berustten ze nog steeds op God. Hier leren wij dat Gods macht ver boven de dood is en dat er niets voor God onmogelijk is. God is de heerser van leven en dood. Wat wij kunnen doen is geloven met een correcte houding bij het

afwachten van Gods hulp.

Amen.

Viewed 16574 times by 5690 viewers

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *