Hubungan Majikan Dan Buruh Di Indonesia Pada Era Modal Global

Feb 12, 2010 5:09 AM/by binsar

paper yang ditulis 8 tahun yang lalu untuk kelas Bacaan Filsafat.

Hubungan Majikan dan Buruh di Indonesia pada era Modal Global

Sumbangan Pemikiran Zygmunt Bauman

Pendahuluan

Majikan dan buruh[1 adalah dua pihak yang saling membutuhkan dan saling tergantung satu dengan yang lain. Majikan membutuhkan buruh untuk mengerjakan produksi dan menghasilkan barang/produk untuk kepentingan usaha/pabriknya. Sementara buruh membutuhkan majikannya untuk mendapatkan upah atas tenaga yang diberikannya kepada kepentingan produksi barang sang majikan.[2 Jadi kedua pihak tersebut, baik buruh maupun majikan sebenarnya saling membutuhkan.

Namun, yang lebih sering terjadi pada hubungan antar kedua belah pihak tersebut adalah sang buruh seringkali berada pada posisi yang lebih lemah daripada sang majikan. Buruh dianggap bukanlah mitra yang sejajar bagi majikan. Buruh hanyalah sebuah obyek bagi majikan untuk melaksanakan kepentingan mereka. Buruh sering diperas majikan dengan upah yang relatif kecil karena – untuk konteks Indonesia – banyaknya tenaga kerja yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia. Secara sosiologis buruh itu tidak bebas sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup yang lain kecuali tenaganya dan kadang-kadang terpaksa untuk menerima hubungan kerja dengan majikan meskipun memberatkan bagi buruh itu sendiri.

Bagi majikan sendiri, tuntutan-tuntutan yang dianggap mereka berlebihan dari para buruh dapat membuat mereka dengan cepat mengganti buruh tadi dengan orang lain karena banyaknya tenaga kerja seperti yang telah disebutkan di atas. Buruh yang banyak menuntut haknya justru dianggap sebagai sebuah beban yang harus disingkirkan. Majikan memandang kalau para buruh dengan serikat buruhnya terlalu banyak menuntut, padahal tuntutan mereka tidak sebanding dengan apa yang mereka berikan (kemampuan/skill) kepada majikannya.

Di Indonesia sekarang, modal internasional berarti pinjaman bank, konsesi minyak dan pertambangan, dan penanaman modal industri dalam pabrik tekstil, pakaian, dan perusahaan-perusahaan yang membuat sepatu-sepatu sport.Akhirnya, modal/kapital (capital) adalah sebuah hubungan antara mereka yang mengontrol alat-alat produksi dan mereka yang bekerja kepada mereka yang mengontrol tadi. Kapital adalah kekuatan untuk mendikte buruh dan menarik keuntungan yang sebesar-besarnya dari mereka.[3

Pada zaman sekarang ini, di tengah-tengah arus globalisasi, modernisasi di segala bidang, hubungan kedua belah pihak tersebut, majikan dan buruh, justru terlihat semakin tidak baik. Modernisasi yang tercipta dari ide-ide manusia untuk mengatur kehidupan agar lebih damai dan lebih mudah justru memiliki dampak yang buruk bagi hubungan buruh dan majikan melalui modal globalnya. Tidak jarang konflik yang terjadi antara buruh dan majikan (aksi demonstrasi menuntut kenaikan gaji, atau menuntut fasilitas-fasilitas bagi para buruh) berakhir dengan kekerasan. Entah itu majikan yang memakai ‘jasa’ oknum militer, atau preman untuk membubarkan aksi demonstrasi para buruh (dan sekaligus memecat para tokoh buruhnya), atau para buruh yang memblokir perusahaan sehingga perusahaan tidak dapat diproduksi, atau bahkan sampai ke tingkat perusakan pabrik itu sendiri. Modernitas dan globalisasi turut menambah rumit masalah ini. Penulis akan mencoba menguraikan bagaimana hal ini bisa terjadi, jika ditinjau dari pemikiran Bauman. Bagaimana modernitas membawa konflik antara buruh dan majikan ini semakin tajam. Selamat membaca.

Hubungan Subyek-Obyek

Hubungan antara majikan dan buruh bisa dijelaskan melalui persoalan subyek-obyek yang pada akhirnya akan mengidentifikasikan obyek tersebut melalui bahasa dan definisi subyek. Di tengah-tengah zaman modern ini, kemungkinan para buruh untuk bertemu muka langsung dengan majikannya. Sistem absensi dengan menggunakan kartu yang tinggal dimasukkan ke dalam daftar hadir memang lebih efisien dalam perusahaan-perusahaan besar. Sistem kerja yang mengurangi sisi kemanusiaan seorang manusia ini justru dipakai karena sistem tersebut dianggap memudahkan dan membuat produksi lebih efisien.

Para buruh tidak lagi dikenal karena dia bernama Suti, atau Andi, atau Rudi, dan siapa mereka sebenarnya, apakah latar belakang mereka, dan lain sebagainya, melainkan Suti, Andi dan Rudi lebih dikenal sebagai buruh dengan nomor induk pegawai xxxxxxxxx di divisi pengepakan barang, atau divisi distribusi. Majikan mereka akan lebih mengenal mereka berdasarkan catatan pekerjaan mereka, atau berdasarkan daftar kehadiran mereka, dan bagaimana kualitas pekerjaan mereka. Andi adalah seorang buruh yang rajin masuk kerja, tidak pernah absen, sedangkan Suti sering tidak masuk. Identifikasi buruh bagi majikan hanyalah sebatas efisiensi kerja dan fungsi sang buruh. Identifikasi yang diberikan oleh majikan berdasarkan bahasa sang majikan.

Demikian juga bagi para buruh, majikan mereka tidak lebih dari sekedar orang yang memperkerjakan mereka dan membayar upah mereka. Mereka tidak akan mengenal majikan mereka, katakanlah Toni, sebagai seorang bapak dari dua anak, sebagai seorang yang cinta keluarga dan taat beragama, melainkan Toni sebagai seorang majikan yang selalu terlambat membayar Tunjangan Hari Raya (THR)[4 para buruh. Toni yang kurang memperhatikan nasib pegawainya. Toni yang tidak pernah kelihatan wajahnya, karena selalu diwakili oleh wakilnya. Identitas Toni direduksi menjadi hanya Toni yang berhubungan dengan buruhnya, bukan Toni yang sesungguhnya. Identifikasi buruh terhadap majikannya diberikan berdasarkan bahasa buruh tersebut.

Dalam konflik, misalnya sebuah demonstrasi buruh menuntut kenaikan gaji, identifikasi ini menjadi semakin tajam. Majikan akan melihat buruhnya sebagai: orang yang kurang berpendidikan, kurang ber-skill, terlalu banyak menuntut, ekonomi lemah, kasar, tidak tahu diuntung karena sudah dipekerjakan, dan akhirnya majikan

akan melihat buruh sebagai ancaman. Langkah majikan selanjutnya bisa terjadi dua kemungkinan, majikan bernegosiasi dengan buruh, atau majikan menolak semua tuntutan buruh dan memecat mereka (karena majikan selalu menyadari bahwa masih banyak orang lain yang mau dipekerjakan karena banyaknya tenaga kerja yang menganggur tersebut). Sementara buruh akan melihat pengusaha sebagai: orang yang tidak menghargai buruhnya, mau mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, ekonomi kuat, banyak modal, tidak manusiawi, dan akhirnya akan melihat majikannya sebagai orang yang harus dituntut. Langkah buruh selanjutnya adalah apabila diterima bernegosiasi maka mereka akan bernegosiasi, namun apabila permintaan mereka ditolak, kekerasan sangat mungkin terjadi.

Heterofobia

Ketika para buruh menyadari akan pentingnya sebuah kesatuan di antara mereka, mereka membentuk sebuah serikat buruh. Serikat buruh ini akan dipandang sebagai sesuatu yang lain, sesuatu yang asing. Majikan tidak mengenal ‘binatang’ macam apa serikat buruh ini. Meskipun majikan tidak sepenuhnya memahami apa itu serikat buruh dan karenanya dia tidak bisa berkomunikasi dengannya, maka serikat buruh tidak bisa diharapkan bertindak seperti apa yang ada di dalam pikiran sang pengusaha. Karena itu majikan akan menjadi takut dan resah dengan kehadiran serikat buruh di perusahaannya. Majikan menjadi merasa tidak aman karena dia merasa bahwa dia tidak memiliki kontrol atas serikat buruh itu. Bahasa yang digunakan oleh majikan dan serikat buruh tidak sama dengan bahasa yang digunakan oleh serikat buruh. Ini adalah heterofobia.

Heterofobia berarti ketakutan akan yang lain atau yang berbeda. Menurut Bauman ini semua biasa. Karenanya pengawasan menjadi lebih kuat di zaman modern. Dengan ilmu pengetahuan modern, majikan ingin menjadikan sesuatu yang belum biasa menjadi biasa. Dia harus mengawasi serikat buruh itu. Dia harus mengawasi para buruhnya.

Teori Berkebun

Bauman menggunakan istilah Gardening[5 untuk mengilustrasikan modernitas. Baginya berkebun itu adalah sebuah aktivitas yang hampir sama dengan engineering (keahlian tekhnik). Seorang tukang kebun melaksanakan rencananya pada kebunnya menurut pemikiran dia. Kebun itu merupakan sebuah realisasi ide tukang kebun itu. Tetapi untuk mencapai tujuan itu tukang kebun harus menyingkirkan banyak benda yang tidak sesuai dengan pemikirannnya, mulai pohon, rumput, bunga, dan lain-lain. Itu semua terjadi karena sang tukang kebun menghendaki adanya suatu ketertiban di dalam kebunnya. Modernitas adalah seperti seorang tukang kebun yang hendak melaksanakan ide-idenya kepada kebunnya.

Kita juga bisa memakai penjelasan Bauman ini untuk menjelaskan hubungan buruh dan majikan. Majikan itu adalah tukang kebun. Dia pastilah memiliki gagasan-gagasan untuk membuat perusahaannya beruntung. Dalam mewujudkan gagasannya itu dia bisa saja menghilangkan bagian-bagian yang dia tidak suka dan menggantinya dengan sesuatu yang lain. Dia bisa saja memecat buruh-buruh yang dia tidak suka, dalam hal ini buruh-buruh yang sering melakukan aksi menuntut kenaikan upah dan lain sebagainya, karena dia adalah sang tukang kebun. Bunga-bunga liar yang melukai tangannya akan dipotongnya sampai habis, dan diganti dengan bunga-bunga lain yang lebih ramah kepada tukang kebun tadi.

Modal Global

Modal global adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari di zaman modern ini. Perusahaan-perusahaan multi-nasional[6 dengan bergegas akan mencari negara-negara tujuan pemasaran dan produksinya. Tujuan mereka adalah negara dengan sebuah biaya produksi yang murah, mudah mendapatkan bahan baku produksi, namun bisa mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya.

Indonesia adalah salah satu negara tujuan dari perusahaan-perusahaan multi-nasional ini. Selain kemudahan dalam bahan baku karena kayanya alam Indonesia, murahnya upah para buruh juga merupakan salah satu daya tarik bagi perusahaan-perusahaan asing untuk menanamkan modal mereka. Modal asing, kebanyakan dari Jepang, dan juga Taiwan, Hong Kong, dan Singapura., dan beberapa dari negara-negara di Eropa, dan juga tidak lupa Amerika Serikat, tiba dalam bentuk investasi langsung dalam pabrik-pabrik yang memproduksi mobil, alat-alat elektronik, tekstil, garmen, dan industri sepatu. Perusahaan ini didirikan bukan hanya untuk kebutuhan dalam negeri, tetapi juga untuk kebutuhan pasar Asia Tenggara, Jepang, dan juga Amerika Serikat. Pabrik-pabrik di Indonesia memproduksi sepatu untuk Nike, Reebok, pakaian untuk Gap dan Banana Republic, bahkan industri tekstil yang digunakan oleh Calvin Klein.[7 Pemerintahan Suharto yang terdahulu menarik perhatian para penanam modal asing karena kediktatorannya dan lingkungan yang bebas serikat buruh, yang berarti upah yang rendah dan keuntungan besar buat perusahaan-perusahaan asing ini.[8

Perusahaan-perusahaan ini juga biasanya lebih menyukai adanya sebuah manajemen lokal yang dipimpin oleh orang-orang lokal juga. Mereka memberikan otonomi khusus kepada perusahaan mereka untuk diatur oleh manajemen lokal. Namun meskipun demikian, kekuasaan tertinggi tetap ada di tangan pemilik saham perusahaan induk.

Modernitas dan globalisasi memungkinkan terjadinya masuknya perusahaan-perusahaan multi-nasional ke negara-negara yang menurut mereka akan menguntungkannya. Administrasi dan birokrasi, dua hal yang muncul akibat modernitas, turut mempermudah masuknya perusahaan-perusahaan asing ini. Ketika administrasi sudah baik, perusahaan-perusahaan multi-nasional ini akan selalu dapat memonitor perkembangan dunia, dan memilih negara mana yang paling menguntungkan untuk dimasuki, berdasarkan data-data yang mereka peroleh akibat baiknya administrasi dunia. Birokrasi tergantung kepada situasi politik negeri tujuan perusahaan ini. Karena itu, birokrasi juga menjadi salah satu faktor masuknya modal asing ke Indonesia. Penguasa dapat dengan mudah mengeluarkan ijin bagi perusahaan-perusahaan ini masuk, asalkan ada komisi yang memadai bagi sejumlah orang tertentu yang duduk di kursi kekuasaan.

Hubungan dengan Pemerintah

Hubungan perusahaan-perusahaan multi-nasional yang masuk ke Indonesia dengan pemerintah Indonesia sebenarnya tidak menguntungkan bagi negara Indonesia. Modal-modal asing yang masuk ke Indonesia hanya dinikmati oleh sejumlah orang saja, dan bukan negara. Sejumlah orang yang duduk di kursi kekuasaan akan mengambil kesempatan ini (masuknya modal asing) sebagai kesempatan untuk memperkaya diri sendiri. Dengan memperlancar birokrasi bagi izin perusahaan-perusahaan yang akan masuk itu, mereka akan mendapatkan ‘bagian komisi’ mereka dari kontrak yang ditandatangani, atau bonus-bonus yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan tersebut agar ijin perusahaan mereka cepat keluar.

Ketika krisis ekonomi menghantam Asia pada tahun 1997, Indonesia adalah salah satu negara yang paling parah terkena dampaknya. Hingga paper ini ditulis, Indonesia belum mampu menunjukkan titik terang di mana mereka akan sanggup melewati krisis ini dan memperbaiki kondisi ekonomi mereka. Krisis ekonomi yang berkepanjangan membuat Indonesia mau tidak mau menambah hutang negara melalui pinjaman dari Bank Dunia dan IMF.

Yang membuat hal ini menjadi semakin menarik adalah ketika kita menelusuri lebih lanjut lagi siapa orang-orang yang duduk di IMF. Siapa saja orang yang membuat kebijakan di Bank Dunia. Orang-orang dari negara manakah mereka. Para petinggi-petinggi IMF dan Bank Dunia kebanyakan berasal dari negara-negara di mana perusahaan-perusahaan multinasional tadi bermarkas, Amerika Serikat, Jepang, beberapa negara di Eropa Barat, dan lain sebagainya. Kebijakan yang mereka buat pastilah tidak akan merugikan negaranya dalam hal pemasukan devisa melalui perusahaan-perusahaan mereka yang tersebar di seluruh dunia ini, terutama dalam kasus ini di Indonesia.

Dari keuntungan yang mereka dapatkan (perusahaan-perusahaan multinasional) dari Indonesia, mereka akan memberikan pinjaman kepada Indonesia kembali melalui IMF dan Bank Dunia. Dengan pinjaman tersebut mereka akan dengan mudahnya menekan pemerintah Indonesia untuk membuat peraturan-peraturan pemerintah yang sifatnya menguntungkan mereka. Ironis memang, uang rakyat Indonesia justru dipakai untuk menekan bangsa Indonesia melalui hutang luar negerinya. Akibatnya pemerintah menjadi tidak independen. Pemerintah mau tidak mau harus menyetujui Letter of Intent yang disodorkan oleh IMF demi memperoleh modal untuk memperbaiki ekonomi negara yang sudah morat-marit. Hubungan antara majikan (pemilik perusahaan) dan buruh sudah semakin rumit.

Perubahan Identitas

Masuknya perusahaan-perusahaan ini, dengan pemiliknya yang adalah orang asing, semakin mengaburkan identitas majikan dan buruh. Identitas buruh di sini menjadi bertambah. Bagi majikan mereka, para buruh tidak lain dari orang-orang yang ada di negara dunia ketiga yang bodoh, kurang berpendidikan, dan sudah puas menerima upah yang rendah, bahkan kalau mereka membangkang sedikit, penggantinya sudah banyak yang mengantri.

Perubahan identifikasi yang semakin ruwet ini juga diikuti dengan adanya suatu manajemen lokal yang ikut menambah rumit suasana. Perusahaan-perusahaan multinasional yang ada biasanya selalu diatur oleh sebuah manajemen lokal. Kebijaksanaan manajemen lokal juga biasanya tidak menguntungkan para buruh. Para pelaku manajemen ini biasanya juga ingin turut mengambil kesempatan dalam eksploitasi besar-besaran ini untuk memperkaya dirinya sendiri.

Sementara itu bagi para buruh, majikan mereka juga bukan sekedar orang yang membayar upah mereka, melainkan juga orang yang berasal dari negara maju yang hanya ingin mengeksploitasi kekayaan alam dan tenaga buruh yang ada di Indonesia. Identifikasi buruh terhadap majikan adalah orang yang kaya, penguasa modal, berasal dari dunia barat, hanya ingin mengambil keuntungan, dan sangat kuat dalam hal ekonomi. Mereka juga melihat identitas majikan mereka sebagai orang yang dilindungi oelh kebijakan-kebijakan sepihak dari pemerintah yang sudah tertekan oleh IMF tadi. Identifikasi mereka terhadap majikannya bisa menjadi semakin rancu dengan adanya manajemen lokal tersebut. Mereka belum tentu bisa membedakan kebijakan mana yang sebenarnya diambil oleh pemilik modal asing (perusahaan pusat) atau kebijakan yang diambil oleh manajemen lokal.

Kekerasan yang Terjadi

Ketika buruh merasa kepentingan mereka semakin terancam oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan perusahaan, maka jalan terakhir yang bisa mereka tempuh setelah jalan negosiasi gagal adalah berdemonstrasi. Serikat buruh akan selalu mencari jalan negosiasi terlebih dahulu dengan perusahaan, namun apabila gagal, jalan demonstrasi adalah satu-satunya jalan terakhir yang mereka miliki. Dengan perut yang lapar karena rendahnya upah yang diterima, dan ketidakpastian akan nasib mereka, mereka berusaha menuntut haknya. Di sini kekerasan sangat mungkin terjadi. Apabila orang lapar dan marah menuntut haknya, dan tidak dipenuhi, kekerasan menjadi sebuah hal yang sangat mungkin terjadi.

Majikan mereka yang kemudian menjadi takut akan kemungkinan ini akan mengambil langkah pencegahan agar hal ini tidak terjadi. Keyakinan bahwa setiap langkah mereka akan didukung oleh pemerintah, yang sebelumnya sudah ditekan oleh kebijakan-kebijakan yang ditentukan oleh negara yang memberi pinjaman modal kepada Indonesia, membuat mereka cenderung menolak langkah bernegosiasi. Langkah kekerasan juga menjadi sebuah pilihan yang sangat terbuka yang kemungkinan besar akan diambil oleh sang majikan. Karena identifikasi mereka terhadap buruh yang mengatakan bahwa buruh adalah kaum yang tidak berpendidikan, maka satu-satunya jalan yang akan dimengerti dan ditakuti oleh para buruh adalah jalan kekerasan. Perusahaan seringkali menyewa oknum polisi, militer, preman, atau organisasi kemasyarakatan setempat untuk menjadi lawan buruh ketika mereka berdemonstrasi. Selain unsur otoritas, di mana mereka harus mematuhi atasan mereka yang memerintahkan mereka untuk menghalau para buruh yang sedang berdemonstrasi, oknum polisi, militer atau preman akan mendapatkan upah mereka dari hal ini. Kekerasan kemudian menjadi sebuah pilihan yang sangat mungkin terjadi.

Kesimpulan dan Saran

Bauman mengatakan bahwa modernitas tidak bertentangan dengan holocaust. Kekerasan bukanlah antitesis dari seni. Kekerasan adalah bagian dari modernitas. Ketika modernitas datang, seperti seorang tukang kebun, dia akan mencabut bagian-bagian yang tidak diperlukan olehnya. Proses pencabutan hal-hal yang tidak dibutuhkan ini disebabkan oleh adanya suatu proses identifikasi yang dilakukan, sehingga dia bisa menentukan yang mana yang harus dicabut dan yang mana yang harus dibentuk ulang.

Kekerasan menjadi hal yang sangat mungkin terjadi dalam konteks hubungan buruh dan majikan di Indonesia pada era modal global ini. Sama seperti pendapat Bauman, kekerasan bukanlah antitesis dari modernitas, melainkan sejalan dengan modernitas itu. Identifikasi yang sebenarnya merupakan sebuah proses dehumanisasi dari arti dan nilai manusia itu sendiri justru terjadi dalam hubungan majikan dan buruh. Bahkan dalam konteks Indonesia, kekerasan justru menjadi sangat mungkin (karena sebagian didorong oleh sikap manusia Indonesia yang katanya modern itu sendiri).

Yang bisa penulis sarankan untuk memecahkan kebuntuan ini adalah sebuah proses perubahan identifikasi. Identifikasi subyek terhadap obyek memang akan selalu subyektif. Perubahan identifikasi ini harus dilakukan oleh buruh dalam mengidentifikasi majikannya, dan terutama untuk para majikan dalam mengidentifikasi para buruhnya.

Apabila sebuah pengertian utama, seperti yang telah penulis paparkan di dalam bagian awal dari paper ini: “majikan dan buruh adalah dua pihak yang saling membutuhkan dan tergantung satu dengan yang lain” selalu diingat dalam proses identifikasi tersebut, maka sebuah kerjasama yang baik akan tercipta. Dalam mengidentifikasi buruh, majikan hendaknya memandang buruh sebagai ‘mitra yang sejajar’, dalam arti buruh bukan hanya orang upahan yang bisa diangkat dan diberhentikan setiap saat, melainkan buruh adalah ‘mitra yang sejajar’ bagi majikan dalam hal kemajuan produksi. Apabila majikan menganggap buruh sebagai mitranya, maka dia tentunya akan lebih menghormati dan menghargai hak-hak sang buruh. Apabila buruh merasa dirinya sebagai mitra dan dia ikut bertanggung jawab atas maju dan mundurnya perusahaan, maka dia akan selalu berusaha sebaik mungkin dalam memajukan perusahaan tempat dia bekerja. Sebuah sense of belonging akan tertanam dalam pikiran sang buruh dan ini akan meningkatkan semangat dan motivasi bekerja sang buruh tersebut. Apabila sudah demikian, jika perusahaan bertambah maju, maka sang majikan juga mendapatkan keuntungan, dan sang buruh juga ikut merasakan keuntungan tersebut. Hubungan kedua pihak akan saling menguntungkan.

Proses perubahan identifikasi ini sangatlah penting apabila majikan dan buruh dalam era modal global. Identifikasi buruh yang selama ini hanyalah sebagai alat bagi majikan harus diubah apabila majikan juga ingin menciptakan sebuah suasana kerja yang kondusif. Prinsip yang harus selalu diingat dan dipegang teguh dalam proses identifikasi ini adalah bahwa “majikan dan buruh adalah dua pihak yang saling membutuhkan dan saling tergantung satu dengan yang lain.” Semoga dengan proses perubahan identifikasi yang penulis sarankan ini, hubungan majikan dan buruh di Indonesia yang selama ini sering terlihat dalam konflik bisa pulih kembali, dan akhirnya mereka saling bantu dalam mengangkat Indonesia keluar dari lembah krisis multi-dimensi yang sedang menimpa negara Indonesia.


[1 Menurut UU No. 22/1957 pasal 1 ayat (1) dinyatakan: “Buruh adalah barangsiapa bekerja pada majikan dengan menerima upah.” Jadi tidak dibedakan antara buruh kasar seperti kuli bangunan, mandor, tukan, dan lain-lain, dengan buruh “white collar”, yaitu pegawai kantor, pegawai pemerintah, dan lain-lain. In English, buruh is labor, or moreless employee, and majikan is the employer.

[2 Zainal Asikin, SH., SU. (Ed.), Dasar-dasar Hukum Perburuhan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993), h. 1.

[3 Dan La Botz, Made in Indonesia (Cambridge, Massachusetts: South End Press, 2001), h. 56.

[4 THR is a bonus in the form of certain amount of money that was received by labor near holidays such as christmas, or lebaran.

[5 Zygmunt Bauman, Modernity and the Holocaust (New York: Cornell University Press, 2000), h. 65-66.

[6 Perusahaan multi-nasional adalah perusahaan yang memiliki beberapa tempat produksi di beberapa negara dan dikenal hampir di seluruh dunia, misalnya perusahaan Coca Cola, Nike, dan lain-lain.

[7 Botz, op.cit., h. 35.

[8 Ibid.

Viewed 41938 times by 9167 viewers

One Comment

  1. Bang, artikelnya sangat menolong sekali untuk memahami pandangan Bauman terhadap modernitas dan holocaust, dengan memakai contoh kasus buruh dan majikan. Terima kasih bang Binsar :)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *