Allah dan Sains

Topik mengenai Allah dan sains adalah diskusi klasik yang tak kunjung selesai. Karena luasnya range topik ini maka kita akan menyempitkannya ke pertanyaan “Apakah Allah dan sains bisa berjalan beriringan?”
Saya memberi tempat kepada Allah dan bukan agama karena agama adalah sebuah institusi yang mencoba memberi interpretasi atas Allah. Usaha untuk mengenal Allah memang sulit dilakukan tanpa melewati jalur interpretasi agama tersebut, namun yang kita bicarakan sekarang tetap bukan agama melainkan Allah.

Sebelum kita masuk lebih jauh lagi dalam pendalaman ini, ada baiknya kalau saya menjelaskan posisi saya terlebih dahulu. Saya akan memimpin diskusi malam ini dengan latar belakang dibesarkan di lingkungan Kristen, tetapi juga dengan

Salah satu debat utama yang muncul adalah apakah teori evolusi Darwin dapat berjalan bersama dengan teori penciptaan dalam kekristenan (juga agama-agama semitik)? Teori penciptaan belakangan ini mengambil nama baru yaitu “Intelligent Design” (ID), sebuah kata yang dibentuk secara ilmiah untuk menunjukkan bahwa teori ini bisa menjawab kekosongan yang terdapat dalam teori evolusi.

Di luar perdebatan ID dan evolusi, masih dapatkah agama bertahan terhadap kemajuan teknologi dan sains. Teknologi telah begitu berkembang pesat sehingga banyak hal yang dulu dianggap memiliki unsur magis dapat dijelaskan melalui penelitian ilmiah seperti gerhana matahari kemaren. Penelitian pada otak manusia menunjukkan bahwa ada zat-zat tertentu di otak yang menimbulkan perasaan “ketuhanan” sehingga mereka mempertanyakan perasaan ketuhanan yang dirasakan oleh orang-orang beragama. Kalau begitu apakah Tuhan itu memang ada?

Sains juga bukanlah sesuatu yang sempurna. Academic Press Dictionary of Science & Technology menyebutkan definisi sains sebagai: 1. the systematic observation of natural events and conditions in order to discover facts about them and to formulate laws and principles based on these facts. 2. the organized body of knowledge that is derived from such observations and that can be verified or tested by further investigation. 3. any specific branch of this general body of knowledge, such as biology, physics, geology, or astronomy. Metode ilmiah juga memiliki batasan. Tidak semua hal yang bisa kita lihat dan rasakan bisa dijelaskan melalui sains, terutama terhadap hal yang tidak memiliki dimensi berat dan spasial seperti cinta, kebencian, seni, dan banyak lainnya.

Majalah Time edisi November 2006 menampilkan diskusi menarik mengenai topik ini dengan menampilkan Prof. Richard Dawkins (baru saja menerbitkan The God Delusion) yang bersandar kepada teori Darwin. Dawkins menjadi populer karena teorinya mengenai the gene-centred view of evolution. Dia mengungkapkan bahwa “all life evolves by the differential survival of replicating entities”, dan proses seleksi natural adalah “the process whereby replicators out-propagate each other”. Prof. Francis Collins ditampilkan sebagai lawan debatnya, Direktur dari National Human Genome Research Institute sejak 1993, mengepalai 2400 tim ilmuwan yang memetakan blueprint genetik manusia. Collins yang tadinya ateis menjadi Kristen di usia 27 dan baru saja menulis The Language of God. Collins berpendapat bahwa Allah mendesain alam semesta dengan tingkat presisi yang begitu tinggi sehingga manusia akan menjadi hasil akhirnya. Allah kemudian berperan dalam meletakkan jiwa ke dalam manusia yang menciptakan manusia modern.

Perbedaan utama antara Collins dan Dawkins adalah kepercayaan mereka akan hal yang baik dan buruk. Bagi Collins hukum moral yang berkembang hingga sekarang adalah sebuah tanda bahwa “keberpikiran” tentang Allah adalah mungkin. Dia berkata, “The moral law is a reason to think of God as plausible–not just a God who sets the universe in motion but a God who cares about human beings, because we seem uniquely amongst creatures on the planet to have this far-developed sense of morality. What you’ve said implies that outside of the human mind, tuned by evolutionary processes, good and evil have no meaning.” Dawkins tidak percaya dengan ide baik dan buruk. Baginya yang ada hanyalah sesuatu yang disebut baik dan sesuatu yang disebut buruk.

Ian Graeme Barbour, seorang fisikawan dan juga teolog memberikan 4 tipologi hubungan antara sains dan iman: Konflik, Independen, Dialog, dan Integrasi. Keempat jenis hubungan ini masih bisa ditambahkan dengan jenis yang lain.

COLLINS: I just would like to say that over more than a quarter-century as a scientist and a believer, I find absolutely nothing in conflict between agreeing with Richard in practically all of his conclusions about the natural world, and also saying that I am still able to accept and embrace the possibility that there are answers that science isn’t able to provide about the natural world–the questions about why instead of the questions about how. I’m interested in the whys. I find many of those answers in the spiritual realm. That in no way compromises my ability to think rigorously as a scientist.

DAWKINS: My mind is not closed, as you have occasionally suggested, Francis. My mind is open to the most wonderful range of future possibilities, which I cannot even dream about, nor can you, nor can anybody else. What I am skeptical about is the idea that whatever wonderful revelation does come in the science of the future, it will turn out to be one of the particular historical religions that people happen to have dreamed up. When we started out and we were talking about the origins of the universe and the physical constants, I provided what I thought were cogent arguments against a supernatural intelligent designer. But it does seem to me to be a worthy idea. Refutable–but nevertheless grand and big enough to be worthy of respect. I don’t see the Olympian gods or Jesus coming down and dying on the Cross as worthy of that grandeur. They strike me as parochial. If there is a God, it’s going to be a whole lot bigger and a whole lot more incomprehensible than anything that any theologian of any religion has ever proposed.

The theses to combine both view is to sharpen ‘the natural eye’ through studying various science for explaining phenomena, and ‘the religious eye’ through studying Holy Scripture/theology, and learn to coordinate both eyes (as it is in a binocular system), so that we can see depth in reality. Naturalist point of view must realize that there are things that cannot be explained in a natural way. Science should recognize its own limits, that there is a higher intelligence above our own. If science cannot believe that a watch that is to be found in a virgin forest of the Amazon is there by itself without any cause, then how can they believe that the whole universe, which is more complicated than the watch that was founded in the Amazon, happens without a cause – or more precisely without a reason? There has to be something mightier than the human’s mind.

The text of creation in Genesis 1 tells the story of God’s action. God is the Creator of the world. This does not imply that the text should be literally understood. It is true that God created the world, and human as the image of God. This has something to do with the ethical life of human, that they are bound to the Creator. It is God’s will that the world is as it is now. This does not exclude that science cannot explain bits by bits of the process. However, we can only recognize the purpose of events, and why it happens, through the will of God. Science cannot explain this divine purpose.

I see the two of them complement each other. Science can only explain how an event happens, but never explain the reason of why it happens. Science can help man to understand how great God’s power is. He is even greater than we ever think about. When science explains how things are happening, that does not exclude God from their framework. God is the cause.

Science and religion are like two different things that on different levels. You can’t compare science and religion. Science can only explain things that are explainable. This however does not close the possibility that there are things that exist but cannot be explained by science (they will say cannot yet). Let us take an example of acupuncture. Acupuncture is a traditional way medical treatment that has been proven effective but still cannot be used by western standard of medical science. This shows that there are things that can be seen, proven, but cannot logically explained by science, but this does not mean that it does not exist. Religion on the other hand is trying to explain experience which sometimes cannot be explained by science logic because they were not on the same level in the first place. Again, this is only my opinion, you can have yours too.

Viewed 14376 times by 3700 viewers

4 Comments

  1. pencari kebenaran

    harus diingat bahwa teori Darwin sampai hari ini tetap teori bukan fakta nyata,dalam sains harus dibedakan antara teori dan fakta,agama tidak akan berbenturan dengan temuan sains yang berdasar kepada fakta nyata,karena kita suci menafsirkan fakta bukan teori atau pemikiran semata,sebaliknya agama akan berbenturan dengan teori yang tidak berdasar fakta nyata (siapa yang pernah bisa membuktikan secara langsung hewan yang lambat laun jadi manusia (?) tak ada ! artinya itu hanya teori semata-dan fosil itu belum tentu ‘manusia kera’ itu hanya tafsiran manusia).kasus Darwin bukan benturan antara agama dengan sains tapi benturan antara agama vs teori yang tidak berdasar fakta – dengan teori yang bersandar pada fakta yang ditafsirkan secara sefihak (lalu memaksa orang lain untuk percaya(?).coba fikir mengapa agama tidak berbenturan dengan teori mekanisme ketata tertiban alam semesta Newton tapi berbenturan dengan teori Darwin (?) karena yang satu berpijak pada fakta dan yang satu berpijak pada teori dan tafsiran sefihak

  2. pencari kebenaran

    Hubungan agama dengan ilmu

    Sebelum kita berbicara secara panjang lebar hubungan antara agama dengan ilmu dengan segala problematika yang bersifat kompleks yang ada didalamnya maka untuk mempermudah mengurai benang kusut yang terjadi antara hubungan antara agama dengan sains maka kita harus mengenal terlebih dahulu dua definisi pengertian ‘ilmu’ yang jauh berbeda satu sama lain,yaitu definisi pengertian ‘ilmu’ versi Tuhan dan versi sudut pandang manusia.
    Pertama adalah definisi pengertian ‘ilmu’ versi sudut pandang materialistik yang lahir melalui saintisme yang mendeskripsikan definisi pengertian ‘ilmu’ sebagai ‘segala suatu yang sebatas wilayah pengalaman dunia indera’ sehingga yang diluar wilayah pengalaman dunia indera menjadi tidak bisa didefinisikan sebagai wilayah ilmu.ini adalah pandangan yang kita kenal sebagai saintisme,faham ini berpandangan atau beranggapan bahwa ilmu adalah ‘ciptaan’ manusia sehingga batas dan wilayah jelajahnya harus dibingkai atau ditentukan oleh manusia.artinya manusia harus mengikuti pandangan manusia.
    Kedua adalah definisi pengertian ‘ilmu’ versi Tuhan yang mendeskripsikan ilmu sebagai suatu yang harus bisa mendeskripsikan keseluruhan realitas baik yang abstrak maupun yang konkrit sehingga dua dimensi yang berbeda itu bisa difahami secara menyatu padu.pandangan Ilahiah ini menyatakan bahwa ilmu adalah suatu yang berasal dari Tuhan sehingga batas dan wilayah jelajahnya ditentukan oleh Tuhan dan tidak bisa dibatasi oleh manusia artinya manusia harus mengikuti pandangan Tuhan.
    Mengapa bisa terjadi sesuatu yang dianggap sebagian manusia sebagai ‘benturan antara agama dengan ilmu’ (?) bila dilihat dengan kacamata Ilahi sebenarnya bukan terjadi benturan antara agama dengan ilmu sebab baik agama maupaun ilmu keduanya berasal dari Tuhan yang mustahil berbenturan.benturan itu terjadi karena manusia membatasi pengertian ‘ilmu’ diseputar wilayah dunia indera,sebaliknya agama tidak membatasi wilayah ilmu sebatas wilayah pengalaman dunia indera karena ilmu harus mendeskripsikan keseluruhan realitas baik yang abstrak maupun yang gaib sehingga otomatis ilmu yang di persempit wilayah jelajahnya (sehingga tak boleh menjelajah dunia abstrak) itu akan berbenturan dengan agama.
    Jadi yang berbenturan itu bukan agama vs ilmu tapi agama versus definisi pengertian ‘ilmu’ yang telah dipersempit wilayah jelajahnya.
    Dalam konsep Tuhan ilmu adalah suatu yang memiliki dua kaki yang satu berpijak didunia abstrak dan yang satu berpijak didunia konkrit dan konsep ilmu seperti itu akan bisa menafsirkan agama.sebaliknya konsep ilmu versi kaum materialistic hanya memiliki satu kaki yang hanya berpijak didunia konkrit yang bisa dialami oleh pengalaman dunia indera sehingga dengan konsep seperti itu otomatis ilmu tidak akan bisa menafsirkan agama.
    Jadi bila ada fitnah ‘benturan agama vs ilmu’ maka yang harus kita analisis adalah definisi pengertian ‘ilmu’ versi siapa yang berbenturan dengan agama itu,bila itu adalah ‘ilmu’ versi saintisme maka itu adalah suatu yang wajar untuk terjadi.

  3. pencari kebenaran

    Sebenarnya saintis menemukan realitas secara sepotong sepotong,bagan per bagan,element per element,ibarat seorang yang menemukan potongan demi potongan dari gambar mainan puzzle yang utuh.untuk menyatu padukan potongan potongan itu manusia memerlukan kacamata sudut pandang Ilahiah karena hanya kacamata sudut pandang ‘raksasa’ yang bisa menyatu padukan keseluruhan realitas secara utuh,sebab realitas itu bukan hanya yang nampak mata,teramat banyak realitas yang tidak bisa tertangkap oleh dunia indera manusia,sehingga manusia memerlukan kacamata sudut pandang Ilahi untuk memahaminya.
    Tapi dengan pengetahuannya atas realitas yang terpotong potong itu (sebagian) saintis sering telah merasa memiliki pengetahuan yang komplet tentang realitas sehingga berani untuk menghakimi agama seperti menghakimi obyek yang bisa diukur secara pasti.
    Padahal meteran sains bila digunakan untuk mengukur agama itu seperti meteran yang biasa digunakan oleh tukang kayu didaratan untuk mengukur lautan nan dalam.itu karena wilayah jelajah sains (sebagaimana telah ditetapkan oleh metodologinya) terbatas hanya berputar diseputar wilayah dunia materi yang bisa tertangkap dunia indera serta bisa dibuktikan secara empirik,sedang wilayah jelajah agama meliputi keseluruhan realitas (yang konkrit maupun yang abstrak)jadi bagaimana bisa parameter sains digunakan untuk mengukur agama (?)sains adalah jalan atau pintu gerbang untuk kelak mengenal kekuasaan Tuhan dan bukan alat untuk mengukur Tuhan itu sendiri

  4. terima kasih untuk komentar dan opininya mas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *