Perkawinan dalam Pemahaman Teologi HKBP: Haruskah di Gereja?

ringurlSebuah berita mengenai perkawinan yang diberkati di tepi Danau Toba telah membuat diskusi mengenai tempat perkawinan menjadi hangat di dunia sosial media. Di kalangan pendeta HKBP, diskusi ini juga hangat, terutama karena yang melakukannya adalah pendeta HKBP. Berikut adalah pendapat saya, dari sudut pandang dokument teologi HKBP. Saya tidak bermaksud menyalahkan atau membenarkan siapa pun, namun berusaha mengkajinya dari sudut teologi gereja mengenai perkawinan dan fungsi gereja. Apabila pada akhirnya memang ada tuntutan untuk mengubah sudut pandang pemahaman ini, hendaknya dilakukan dengan pendalaman yang serius dan juga pasti berhubungan dengan ekklesiologi HKBP terutama yang berhubungan dengan jemaat, gedung gereja, dan perkawinan.

Bagaimana kita membicarakannya dari sudut teologi? Berikut adalah argumen umum yang bisa kita terima.

  1. Gereja adalah jemaatnya. Berarti dalam pelayanan apapun yang dilayani gereja, harus di depan jemaat yang menjadi saksi.
  2. Apakah ruangan membatasi kerja Allah untuk hadir di situ? Tidak. Jadi memang ruangan harusnya bukan masalah.
  3. Jika ada di luar ruang ibadah, apa alasannya? Keindahan, kepraktisan menuju tempat pesta (di jakarta) atau keterpaksaan (tidak ada gedung, gereja ditutup, dsb). Harus ada batasan menurut saya, jika tidak, nanti bisa dilakukan di mana saja. Definisi lokasi mungkin jg harus dipertimbangkan.
  4. Yang pasti, harus di hadapan jemaat sebagai saksi. Apa definisi jemaat sebagai saksi? Cukupkah parhalado, atau harus ada ruas?
  5. Sakral vs profan. Satu alasan penggunaan gedung gereja adalah kesakralan dalam memulai institusi pernikahan. Kalau alasan ini belum bisa dijawab oleh tempat2 lain, pertimbangan harus benar2 dalam.

Namun, berdasarkan pemahaman umum di atas, saya hendak menyampaikan pertimbangan teologis berdasarkan pemahaman yang ada di dokumen gereja HKBP.

  1. Aturan Bab V Peribadahan kepada Tuhan Pasal 5.7 (Perkawinan), mencantumkan “Jemaat melakukan pemberkatan kepada pasangan-pasangan yang akan menikah di tengah-tengah jemaat sesuai dengan tatacara yang tertulis di Agenda HKBP setekah ada pemeriksaan oleh Pelayan Tahbisan.”
  2. Agenda HKBP tidak mencantumkan lokasi. Tetapi di bagian “Khotbah” atau “Formula Pernikahan” dicantumkan, “Saudara telah mendengar Firman Tuhan tentang dasar perkawinan Kristen… , sekarang saya bertanya di hadapan Allah yang Mahatau dan di hadapan Jemaat yang berkumpul di sini menyaksikan….”
  3. Dalam dua bagian itu, kata “Jemaat” Selalu muncul. Artinya, pelayanan pernikahan harusnya dilakukan di tengah jemaat.
  4. Apa itu “Jemaat”? Di Aturan Bab 1 Pasal 1.4, Jemaat/Huria adalah, “I ma parsaoran ni manang piga ruas ni HKBP di sana inganan na tontu, niuluhon ni Uluan ni Huria marsadasada.” Jemaat adalah sekelompok anggota yang berkumpul di tempat tertentu. Itu yang disebut Jemaat. Sehingga dengan pemahaman ini, perkawinan di depan jemaat berarti pasangan harus menerima pemberkatan di depan jemaat mereka (bisa dipindah jika ada surat keterangan dari gereja bersangkutan). Jemaat berarti komunitas dan persekutuan, bukan tempat.
  5. Dalam RPP HKBP dicantumkan “Pandita do na pasahathon pamasumasuon tu na marbagas di gareja (Molo ingkon pasupasu di huta, dipasahat Pandita i ma ulaon i tu Guru Huria manang tu Sintua). Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan di luar gedung adalah kasus khusus.
  6. Menurut saya, dari dokumen-dokumen di atas, kita bisa melihat bahwa HKBP tidak selalu mempersoalkan tempat atau lokasi, sedapat mungkin perkawinan dilakukan di gereja, namun perkawinan harus dilakukan di depan Jemaat. Apakah pemberkatan yang dilakukan di tepi danau toba dilaksanakan di hadapan jemaat di mana mereka terdaftar? Menurut info, sepertinya pernikahan tersebut tidak dilakukan di depan Jemaat. Pemahaman HKBP mengenai Jemaat tidak umum, melainkan khusus yang terikat di tempat dan persekutuan tertentu.
  7. Lalu bagaimana pemahaman soal gereja? Apakah gedung gereja memiliki kekhususan apalagi dalam soal perkawinan? Jika kita bicara soal gereja, maka agenda kita juga mencantumkan dalam tata ibadah penahbisan gereja di bagian doa, “Kuduskanlah rumah ini…Berkatilah kami senantiasa waktu berkumpul di dalam rumah ini. Berkatilah semua yang mengikuti kebaktian Minggu dalam rumah ini, yang mengikuti pengajaran Firman-Mu dan yang menerima Baptisan Kudus, yang menerima Perjamuan Kudus dan yang dinikahkan di tempat ini.” Perkawinan, selain Baptisan dan Perjamuan Kudus, disebut dalam bagian kekudusan setiap acara yang disebutkan akan terjadi dalam gedung gereja. Ini tentu menguatkan alasan untuk melaksanakan perkawinan dalam gedung gereja, karena alasan kekudusan dan berkat yang mengikut dari tempat yang secara khusus disiapkan itu.

Secara khusus, ada beberapa argumen yang disebut oleh kolega pendeta HKBP yang harus masuk dalam pertimbangan kita mengenai pendalaman makna teologis perkawinan, gereja, dan jemaat, dan terutama ekklesiologi HKBP. Beberapa alasan praktis misalnya, lokasi macet, atau tidak ada pendeta, atau tidak memiliki gedung gereja, atau ada halangan khusus, dsb. Di son ma hita ingkon manat mamereng dia do teologi ni HKBP sian angka dokumenta, dohot dia do tradisi praktik ni HKBP. On ma porlu tajaha annon angka buku soal jati diri HKBP na disurathon amang Pdt. Ramlan Hutahaean, Pdt. Dr. Bonar Napitupulu, Pdt. Dr. J.R Hutauruk, Ompu i Ephorus Pdt. Dr. Darwin Lumbantobing, dohot na asing.

Beberapa pendeta juga menyarankan agar diskusi ini diperdalam dengan pembahasan soal penting lainnya, misalnya makna martumpol, soal yang sakit dan mangalua, sungkem, dan sebagainya. Hal ini perlu mendapat pemikiran serius juga dan diberikan tempat untuk dipikirkan bersama.

Demikian ringkasan dan masukan saya, semoga bisa diterima oleh Komisi Teologi HKBP kelak untuk menjadi bahan masukan dan diskusi.

Untuk yang sudah melakukan perkawinan tersebut, saya tidak akan mempermasalahkan, saya akan mendoakan agar mereka menjadi rumah tangga yang kudus dan menjadi berkat bagi sesama manusia. Gereja HKBP harus mempersiapkan diri terhadap hal-hal semacam ini, agar tidak melulu reaktif melainkan bisa antisipatif. Saya juga berpendapat bahwa beberapa kasus khusus harus dipikirkan, agar tidak mengubah secara drastis pemahaman gereja, namun juga tidak mengungkung teologi menjadi doktrin yang tak tergantikan. Diskusi sehat perlu terjadi agar gereja selalu terbarukan, ecclesia reformata semper reformanda.

Viewed 117337 times by 7850 viewers

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *