Kerja vs Rencana | Aksi vs Niat

its-the-thought-that-counts-quote-1

Yang penting kan niatnya

Gong pemilihan Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 sudah berbunyi. Sudah mulai banyak janji yang dikeluarkan para calon dalam setiap kampanye yang dijalaninya. Bagi pendukung petahana, mereka menyatakan bahwa lihat hasil kerja. Bagi pendukung penantang, mereka menyatakan kerja saja tidak penting, lihat rencananya. Dengan kata singkat, lihat aksi atau niatnya.

Bagaimana membandingkan keduanya? Betulkan niat lebih penting dari aksi?

Ada satu pepatah yang menurut saya agak absurd dalam penggunaan sehari-hari. Ada orang yang menggunakan alasan, “yang penting kan niatnya” atau “it’s the thought that counts.”  Kalimat ini biasanya digunakan oleh seseorang yang memberikan alasan ketika suatu hal yang harus dilakukannya tidak terlaksana. Kenapa absurd? Karena pepatah ini sepertinya memiliki makna ganda. Kalimat ini bisa jadi alasan yang menyenangkan, misalnya dalam hal tidak jadi memberi kado, atau dalam peristiwa berbahagia, atau dalam hal berhalangan hadir. Katakanlah, anda ingin pergi ke sebuah pesta teman anda tapi ternyata tidak bisa hadir karena kesibukan. Anda kemudian mengatakan, “Maaf tidak sempat hadir, kemaren sudah niat mau datang tapi akhirnya tidak sempat.” Jika teman anda tidak benar-benar menantikannya, dia akan menjawab dengan, “Tidak apa-apa, yang penting kan niatnya.”

Tetapi apabila kita menggunakan kalimat yang sama dalam kejadian di mana hal yang anda janjikan memang dinantikan, hal ini justru menambah rasa sakit. Niat tidak pernah cukup. Misalnya, ada teman anda yang sedang dirampok orang di seberang jalan, anda melihatnya, dan dia juga memberi kode agar anda menolongnya. Anda memperhitungkan bahwa anda tidak akan bisa menolongnya karena yang merampok ada empat orang, lalu anda pergi dan tidak menolongnya, meskipun anda sudah meniatkannya. Besoknya, anda berjumpa kembali dengan dia dan anda mengatakan, “Sorry ya kemaren saya tidak jadi membantu, saya sebenarnya sudah niatkan dan memasang kuda-kuda silat saya, tapi akhirnya tidak jadi karena saya juga tidak sanggup menghadapi empat orang.” Atau dalam worst case scenario, seorang calon pengantin pria tidak jadi datang ke pernikahannya sendiri karena takut. Beberapa hari kemudian dia bertemu dengan kekasihnya, sang pengantin perempuan, lalu dia berkata, “Maaf ya sayang, saya tidak jadi datang Sabtu lalu ke pernikahan kita. Saya sebenarnya sudah niatkan untuk datang, namun akhirnya tidak jadi karena saya gemetar.”

Apakah anda masih menjawab, “Tidak apa-apa, yang penting kan niatnya!”? Ketika anda mengharapkan pemenuhan niat seseorang, niat belaka tidak cukup.

Karena itu, anda harus selalu melihat seseorang berdasarkan hasil kerjanya. Bagaimana menilai kerja seseorang sebagai gubernur kalau dia belum pernah menjadi gubernur? Ya, nilailah pekerjaannya sebelum dia menjadi gubernur, apakah dia memiliki program prorakyat, apakah dia memerhatikan Jakarta, apakah dia menanam modal di kota ini? Atau apakah dia gemilang dalam pekerjaannya sebelumnya?

Seperti kita ketahui, kampanye justru adalah waktu untuk menabur janji dan niat. Semua calon gubernur tentu berniat untuk memperbaiki keruwetan lalu lintas Jakarta, mengelola saluran air, mengusir banjir, dan menjadikan Jakarta kota metropolitan yang bersahaja. Yang menjadi teka-teki bagi sebagian besar pemilih yang nonpartai dan nonkelompok adalah siapakah yang akan melaksanakan niatnya ini. Jika anda salah pilih, lima tahun lagi anda akan merasakan banjir lagi, birokrasi yang rumit, dan kemacetan yang semakin parah, lalu bertanya, “Mana realisasi janji kampanye anda?” Bagaimana kalau anda menerima jawaban “Yang penting kan niatnya!” Apakah anda siap mendengar ini ketika pilihan anda tidak melakukan niatnya?

Bagaimana dengan petahana? Sebagai warga Jakarta, saya tidak paham dengan mereka yang tidak puas dengan kinerja Gubernur Basuki Tjahja Purnama dan wakilnya Djarot Saiful Hidayat. Berbagai taman muncul untuk saya dan keluarga nikmati di sekitar Jakarta, pelayanan birokrasi tidak seruwet periode-periode sebelumnya, kendaraan umum yang baik, banjir yang menghilang, dan aspal yang mulus, belum ditambah hal yang tidak saya nikmati seperti KJP. Hal yang sama pasti saya lakukan kalau saya menjadi warga Surabaya dalam memilih kembali Ibu Walikota Risma, atau Bapak Bupati Dedi Mulyadi di Purwakarta. Mereka bicara melalui aksi bukan janji.

Petahana sekarang tidak sempurna. Menurut saya dia harus menjaga ucapan dan meningkatkan kemampuan diplomasinya, namun kemampuan kerjanya tidak saya ragukan. Di tengah berbagai isu yang melanda, saya akan memilih orang berdasarkan kerjanya, bukan niatnya.

Salam dua jari!

Viewed 85869 times by 5668 viewers

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *