Menjadi Idealis dan Realis

neatly-in-order3Apakah kita harus memilih antara menjadi seorang realis atau idealis? Seorang yang idealis seharusnya tidak mencari hasil yang seadanya, dan seorang yang realis akan selalu mencoba mencari titik temu antara yang seharusnya dan yang sedang dihadapinya. Kita harus menjadi yang mana?

Misalnya, dalam pencarian pasangan hidup, seseorang yang idealis akan terus mencari sampai dia menemukan seseorang yang sesuai dengan kriteria idealnya. Namun, dalam kenyataannya pencarian yang berkelanjutan membuatnya mencari yang sesuai dengan yang ada di depan matanya.

Atau dalam contoh lain, seseorang yang idealis akan mencari pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakatnya, dan jika tidak menemukannya, dia akan membuat pekerjaannya sendiri. Seseorang yang realis akan mencoba mengerjakan apa yang bisa ditemukannya sambil menanti pekerjaan yang lebih mendekati idealnya.

Dalam keadaan terpaksa, dalam konteks pemilihan demokratis, seseorang yang idealis akan memilih untuk tidak memilih jika tidak ada kandidat yang sesuai dengan kriterianya, sementara yang realis akan memilih yang lebih tidak buruk di antara yang buruk (minus malum).

Seseorang bisa saja mencoba untuk mencari jalan tengah dari idealis dan realis, yaitu mencoba mencari yang ideal namun akan berpuas dengan apa yang dimilikinya. Dalam pencarian mie pangsit terlezat, seseorang harus bisa membayangkan terlebih dulu apa yang terlezat itu, baru dia bisa mencarinya. Ketika belum menemukannya, dia bisa saja puas dengan mie pangsit yang rasanya mendekati imajinasinya mengenai yang terlezat. Ketika puas dengan yang rasanya terdekat dengan imajinasinya itu, apakah orang itu sedang mencari sesuatu yang tidak ada? Bisakah kita berkata bahwa jangan-jangan mie pangsit yang terlezat itu sebenarnya sudah pernah dicicipinya?

Sekarang saya sampai pada pertanyaan yang lebih penting. Apakah yang ideal itu ada, atau apakah dia adalah imajinasi kita karena kita selalu haus akan sesuatu yang lebih dari yang kita miliki sekarang, something nicer, bigger, better? Apakah idealis adalah cerminan dari harapan atau sifat yang tak pernah puas?

Jika demikian, apakah ada kepuasan terhadap yang kita miliki, atau bahkan pengetahuan? Orang yang puas atau menjadi realis sepertinya membuat seseorang akan berhenti pada apa yang dimilikinya. Bukankah keingintahuan dan ketidakpuasan mendorong inovasi dan pencarian akan yang ideal membuat kita berkreasi?

Nietzsche mengatakan bahwa pencarian manusia akan batas kemampuan dirinya mendorongnya untuk menjadi übermensch. Seseorang yang berpuas diri memiliki moralitas budak. Yang ingin berkuasa akan mencoba mencari dan menemukan apa yang belum ada untuk bisa menguasai yang lain, yang lahir dari ketidakpuasannya akan posisi dan situasi yang dihadapinya. The will to power mendorong manusia mengarah kepada yang ideal, dan yang ideal akan selalu membuat manusia tidak puas.

Saya jadi ingat kembali perdebatan dua filosof besar zaman Yunani klasik, yaitu Aristoteles dan Plato. Aristoteles tidak setuju akan pendapat sang guru, Plato, bahwa yang ideal ada dalam dunia ide. Plato berpendapat bahwa yang ideal itu membutakan kita seperti matahari, sehingga kita harus selalu berusaha mencapainya meskipun kita tidak akan bisa mencapainya. Aristoteles sepertinya berpikiran lebih realis. Jika sesuatu tidak terlihat dan tidak bisa dianalisis, dia mungkin tidak ada. Mengapa kita terus mencari sesuatu yang mungkin saja tidak ada?

Pertanyaan berikutnya, apakah sesuatu yang tidak ada itu adalah karena dia tidak ada atau karena dia belum ditemukan? Sepertinya ini menjadi jalan ketiga. Dilema Schrodinger’s Cat mengatakan bahwa sampai sesuatu itu dibuktikan tidak ada, sesuatu tetap menjadi ada dan tidak ada. Jika yang ideal belum ditemukan, bisa jadi dia ada atau tidak ada. Ideal menjadi ada dan tidak ada sampai salah satu membuktikannya. Tentu posisi ketiga ini tidak memberi kepuasan, meski kepuasan itu sendiri belum kita bicarakan secara tuntas.

Jika kita mencoba mencari jawaban dari filsafat Timur, Lao Tze misalnya, jawaban yang sama sekali berbeda akan diberikannya. Dia akan mengatakan bahwa semua pencarian kita ini bermula dari keinginan, karena itu kalau kita berhasil menghilangkan keinginan, tidak akan ada pertanyaan mengenai yang idealis atau yang realis. Tanpa keinginan, yang ada hanyalah hidup. Posisi ini saya klasifikasikan sebagai kemungkinan keempat atau alternatif kedua di luar idealis dan realis.

Why all the questions? Why do I bother to write all this?

Sebagai seorang pengajar, saya tentu harus memikirkan apa yang akan saya ajarkan: perjuangan mencapai yang ideal atau memuaskan diri dengan pencapaian. Dalam berbagai diskusi, kita tidak pernah punya posisi fix. Immanuel Kant adalah seorang idealis terakhir, paling tidak sejauh yang saya tahu. Namun, dalam pencarian pengetahuan kita harus mendorong diri kita kepada yang ideal. Bagian akhir dari Khotbah di Bukit menyuruh kita untuk berusaha menjadi sempurna, padahal kita tahu bahwa kita tidak akan pernah menjadi sempurna.

Karena itu, cobalah selalu untuk menjadi idealis. Bahwa untuk menjadi idealis adalah ideal yang kita tuju, meski dalam kenyataannya kita bisa berakhir menjadi seorang realis.

Tulisan ini bisa memiliki beberapa implikasi praktis buat mereka yang membacanya. Perjuangkanlah idealisme mu, baik dalam hal jodoh, pekerjaan, kejujuran, kebaikan, karya cipta, usaha, bisnis, keluarga, dsb., karena perjuangan akan idealisme adalah idealmu. Selamat menjadi idealis dalam perjuangan mencapai yang ideal.

Viewed 66540 times by 4657 viewers

4 Comments

  1. Seperti yang sudah sudah, tulisan mu selalu membuatku tersindir, tersenyum (laughing even), manggut-manggut, berpikir dan semangat :)
    Mauliate godang bang!
    God bless you

  2. Jadi idealis atau realis nih?

  3. Idealis yang semakin semangat menjadi seorang idealis 😊
    Bantu doa ya bang 😊

  4. Tulisan yang menarik, diangkat dari kisah nyata banget :)
    Bagiku, ideal itu berguna dalam menentukan goal.
    Tentukan tujuan (yang idea), maka “mestakung”(semesta mendukung), jiwa-pikiran-tubuh akan berusaha menggapainya.
    Tapi juga tetap harus realis dalam pencapaian tujuan; Walaupun sudah berupaya maksimal namun tidak pernah mencapai yg sempurna, harus bisa tetap bersyukur, tetap berusaha, tetap berpengharapan.
    #masihbelajarmenerimakenyataan
    #masihbelajarmenjadiyangsempurna

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *