Retorika Politik: “Mari Kita Rebut Kembali”

Trump dan Brexit

Image taken from http://english.manoramaonline.com/news/columns/opinion/brexit-britain-trump-usa-free-world-crumble-west-decline.html

Kemenangan Donald Trump di Amerika Serikat dan Brexit (Britain Exit atau keluar dari Uni Eropa) di tahun 2016 menunjukkan bahwa di era keterbukaan ini, identitas lokal justru semakin menguat. Identitas politik ini ditangkap dalam retorika yang saya namakan “Mari Kita Rebut Kembali” atau yang disebut Trump sebagai “Make America Great Again” atau “Take Back Control” di Inggris. Retorika ini didasari pada sentimen ke-kita-an, yaitu “kita bukan mereka jadi jangan biarkan mereka mengatur kita.” Mengapa muncul sekarang?

Ada beberapa penyebab perkembangan retorika politik ini. Pertanyaan mengenai identitas sudah mulai muncul ke permukaan selama dekade terakhir setelah pintu perbatasan Eropa dibuka. Urgensi ini menjadi tak terhindarkan ketika gelombang besar pengungsi dari Suriah ke Eropa terjadi. Kedatangan ini akhirnya mengubah preferensi orang terhadap politik “santun” dan “terbuka untuk semua” menjadi “demi kepentingan bangsa kami.” Selain itu, partai berbasis kanan di Jerman, Belanda, Norwegia, Denmark, dan beberapa negara Eropa Barat/Utara lainnya seperti sedang mendapatkan momentum untuk menggunakan politik yang selama ini kita kira sudah dikubur dalam-dalam: “politik identitas kita melawan mereka.”

Pengerasan identitas ini, menurut saya, adalah akibat kumulatif dari beberapa situasi dunia yang justru berusaha untuk membuka diri dan mendengar semua cerita (mikronarasi). Seseorang bisa mengeraskan identitasnya ketika dia justru merasa tidak yakin akan siapa dirinya dan siapa yang lain. Untuk menjawab pertanyaan mengenai siapa dirinya yang sebenarnya, dia akan mulai memilih identitas terjelas dan terdekat, biasanya ras, agama, atau suku. Pengerasan identitas adalah perlawanan terhadap meleburnya identitas. Era postmodern telah merayakan keberagaman dengan menolak siapa pun untuk masuk ke pusat untuk menjadi metanarasi baru. Ketiadaan pusat justru menjadi metanarasi yang baru. Sekarang kita sibuk merayakan pendapat bahwa kita semua adalah makhluk yang sama dan memiliki perspektif berbeda namun legitimasi pendapat yang sama.

Namun, mereka yang biasa berada di tengah tidak terlalu suka dengan arah perubahan ini dan sekarang mulai melawan. Perlawanan ini dimulai ketika identitas mereka mulai dikaburkan oleh kepentingan bersama dalam label “umat manusia,” yang membuat kita semua harus saling berbagi dan memerhatikan. Yang menarik, bahwa beberapa dari orang-orang yang saya kenal, yang juga adalah imigran baik di Inggris atau di Amerika Serikat menyetujui pemisahan dengan salah satu atau beberapa alasan yang saya sebut di bawah ini.

Resep: Keadaan yang Mendukung

  1. Ekonomi: Mengapa Harus Berbagi?

Salah satu protes dari kelompok Republikan adalah Affordable Care Act, atau yang dikenal sebagai Obamacare. Keberatan utama adalah mengapa saya harus memikirkan kepentingan orang yang malas dan tidak mau bekerja. Mereka yang menolak sistem jaminan sosial ini menuduh sistem ini hanya membuat orang malas menjadi semakin malas, sementara para pekerja harus membayar untuk mereka (subsidi silang). Keengganan untuk berbagi ini juga menjadi alasan pendukung Brexit menolak Brussel yang selalu dianggap mengatur mereka sehingga mengurangi keuntungan dalam negeri. Coba dengarkan retorika penolak kelompok pengungsi yang tidak rela pajaknya digunakan untuk menghidupi pengungsi yang tidak bekerja.

Demi prinsip keadilan dan kehidupan bersama, kita meminta semua orang untuk saling memikirkan. Mereka yang biasa memiliki priviledge merasa haknya diganggu ketika ekonomi tidak berkembang demi prinsip keadilan sosial. Sentimen ini ditangkap oleh kaum politisi sehingga mereka mengangkatnya menjadi isu politik yang, sayangnya, laku keras di kalangan yang merasa terancam. Hal ini memiliki konsekuensi, mereka yang biasa menikmati kejayaan ekonomi harus berpikir untuk membaginya dengan mereka yang kurang menikmatinya. Persaingan bebas dengan tuntutan untuk memerhatikan lingkungan, socially responsible and ethical businesses dan juga kesadaran akan hak upah yang layak membuat marjin keuntungan berkurang. Hal ini paling dirasakan oleh kelas menengah, karena para pemimpin tetap menikmati kekayaan perusahaan, dan kelompok ekonomi bawah akan merangkak naik menjadi kelas menengah. Mereka yang ada di kelas menengah akan tetap tinggal di situ, dan inilah yang membuat orang yang biasa dengan prinsip peningkatan taraf hidup menjadi gelisah. Yang tidak puas bukanlah mereka yang berada di kelompok paling terpinggirkan, melainkan the middle class. Kelompok ini adalah mayoritas.

  1. Emosi vs Analisis

Perhatikan bahasa yang digunakan dalam kampanye, mereka lebih menggunakan slogan mengenai “percaya,” “harapan,” “ketakutan,” “kemarahan,” “kebahagiaan,” dsb. Kampanye Trump vs Clinton dipenuhi dengan retorika saling benci. Pendukung Brexit selalu dijejali dengan retorika kemarahan terhadap Eropa daratan yang membuat mereka merasa ekonomi melemah. Retorika ekonomi melemah sebenarnya tidak terlalu diikuti dengan data yang tepat. Melambatnya pertumbuhan ekonomi global terjadi bukan karena pengungsi di Eropa Daratan atau melemahnya Amerika Serikat (karena data tidak menunjukkan demikian). Namun, perasaan bahwa kita berada dalam situasi lebih buruk sekarang jauh lebih kuat dibandingkan data yang menunjukkan hal sebaliknya.

Penggunaan emosi atau perasaan dalam kampanye untuk menarik simpati lebih banyak digunakan daripada data. Dunia media sosial dan teknologi komunikasi membuat kita harus memilah dan memilih informasi yang benar. Menariknya, kita sebenarnya memilih informasi yang benar berdasarkan preferensi kita dan bukan karena informasi itu benar. Karena itu, kampanye menjadi soal emosi, entah itu menakut-nakuti atau membangun semangat dan harapan. Analisis data menjadi nomor dua. Kelompok yang paling banyak memanfaatkan penggunaan emosi adalah kelompok identitas (ras, agama, suku), karena ikatan komunitas akan jadi lebih erat jika dibangun atas dasar emosi. Karena itu, dalam masyarakat demikian, mereka yang populis akan selalu menang dibandingkan yang memiliki latar belakang/kredensial untuk memimpin. Ketakutan akan hilangnya nilai-nilai ras, agama atau suku membuat orang memilih retorika pemisahan.

  1. Mengapa Harus Politically Correct?

Sekarang ini banyak orang yang mudah tersinggung karena ucapan seseorang tidak lagi politically correct. Kita takut bercanda dengan yang lain, apalagi menyinggung ras, agama, dan suku. Kita juga takut bicara mengenai hal-hal sensitif karena tidak mau membuat yang lain tersinggung.

Berkembangnya pendidikan yang saling menghargai, pengetahuan dan filsafat mengenai “the other” membuat kita jadi banyak lebih berhati-hati dalam berbicara. Hal ini sudah dikeluhkan bahkan dalam dunia akademis sendiri. Kita lebih banyak memikirkan bahasa apa yang akan kita gunakan dalam menyatakan pendapat kita daripada menyatakan apa yang sesungguhnya kita pikirkan. Buat orang yang takut untuk diberi label “rasis,” “garis keras,” “fundamental,” “ekstremis,” karena memikirkan apa yang orang lain nyatakan tidak layak diucapkan, diam adalah pilihan terbaik. Misalnya, saya pikir dia memang berbeda dari saya, namun saya tidak berani mengatakannya karena takut dibilang rasis. Namun, “diam” tidak menghilangkan ide itu. Ide ini sedang menunggu waktu untuk tumpah ke luar.

  1. Demokrasi: Kita adalah Mayoritas

Demokrasi berarti bahwa setiap suara sama pentingnya, dan siapa yang memegang suara terbanyak menentukan apa yang benar. Demokrasi kadang-kadang bukan soal siapa yang benar tetapi siapa yang mayoritas, dan mayoritas tidak selalu benar. Sayangnya, setinggi apapun pendidikan formal seseorang, suaranya hanya tetap satu. Suara itu sama nilainya dengan seseorang tidak pernah mengecap pendidikan formal. Inilah indahnya demokrasi, bahwa semua orang dianggap sama di mata hukum. Namun, di sini juga ada bahaya yang mengintip, bahwa mayoritas tidak selalu memiliki informasi yang paling lengkap dan memilih berdasarkan analisis. Masyarakat kita biasanya memiliki bentuk piramida dalam level pendidikan, yang memiliki informasi dan kemampuan untuk memilah dan menganalisis lebih sedikit jumlahnya dibandingkan masyarakat pada umumnya. Dalam demokrasi, semua orang punya suara yang sama, dan siapa yang berhasil mengontrol atau memengaruhi bagian bawah dari piramida itu (mayoritas) akan keluar sebagai pemenang.

Retorika Politik: Mari Rebut Kembali

Jika keempat situasi di atas diramu sedemikian: ada ketegangan soal ekonomi dan pertanyaan mengapa harus berbagi dengan yang tidak (mau) bekerja; perasaan bahwa identitas saya sedang terancam; mengapa saya tidak boleh mengungkapkan perasaan saya sehingga tidak pernah bicara dengan yang lain dengan dialog yang sesungguhnya; dan ketika mereka yang biasa diam sadar bahwa mereka adalah mayoritas; politik akan mendapat resep sempurna untuk memenangkan suara terbanyak. Inilah yang terjadi di Inggris dan Amerika Serikat, dan bukan tidak mungkin di beberapa negara lainnya. Apakah ini menakutkan? Bisa ya dan tidak. Saya rasa ini adalah tugas para pemikir dan analis untuk selanjutnya mencari jawaban akan tujuan peradaban dunia pasca Brexit dan Trump.

Bagaimana dengan Indonesia

Apakah Indonesia memiliki kemungkinan untuk maju ke arah politik “Mari Kita Rebut Kembali?” Ada beberapa kelompok yang mungkin akan mencobanya dari politik identitas ras, agama, dan suku. Namun, Indonesia terlalu beragam sejak awalnya, sehingga keempat situasi di atas harus memiliki kulminasi yang sedemikian untuk menjual retorika politik “Mari Kita Rebut Kembali.” Tentunya, peristiwa 4 November 2016 mengingatkan kita bahwa kelompok Muslim adalah kelompok yang memiliki massa besar. Di samping alasan penistaan agama yang memang sensitif, ada juga kepentingan politik yang bermain di belakangnya, yaitu untuk menggoyang kepemimpinan Presiden terpilih. Namun, agenda yang dibawa pada waktu itu belum memenuhi beberapa kriteria untuk sampai kepada revolusi. Misalnya, dalam kriteria kedua di atas, presiden terpilih Joko Widodo juga populis. Dia juga memiliki massa yang bisa meredam berbagai gejolak yang muncul. Kemudian, perubahan drastis baru berhasil dan mendapatkan kekuatan maksimal ketika faktor ekonomi mulai mengganggu kelas menengah. Faktor ekonomi inilah yang terasa jelas di tahun 1998 sehingga Presiden Suharto lengser dan perjuangan mahasiswa didukung oleh berbagai lapisan masyarakat. Penggunaan retorika “Mari Kita Rebut Kembali” memerlukan peran serta kelas menengah dengan penuh semangat, di samping hal-hal yang saya sebut di atas.

Jika pemerintahan sekarang ingin supaya retorika politik identitas ini tidak berkembang, ekonomi yang baik menjadi syarat utama dan perasaan aman dan nyaman harus selalu di- address. Karena itu, meskipun politik dunia sepertinya menuju arah penguatan identitas, saya yakin Indonesia akan tetap memiliki keragaman sebagai kekuatannya dengan syarat beberapa hal di atas tetap dijaga oleh pemerintah dan segala lapisan masyarakat dengan baik.

Viewed 66980 times by 6596 viewers

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *