Perenungan atas “Kebaikan” dan “Ketidakbaikan”

kebaikan ketidaksempurnaanMengapa orang baik melakukan hal yang jahat?

Atau, mengapa orang yang seharusnya baik ternyata melakukan hal di luar harapan kebaikan yang kita lekatkan pada orang tersebut?

Mengapa saya memiliki pertanyaan ini? Banyak hal dalam hidup ini yang mengecewakan, dan saya biasa untuk tidak berharap banyak. Namun entah kenapa kali ini saya menjadi kecewa. Kekecewaan saya kali ini adalah karena saya bertemu dengan orang yang saya harapkan baik dan menurut saya tidak lagi memenuhi ekspektasi kebaikan saya tersebut. Namun, kemarahan saya menjadi berlipat, karena orang tersebut seharusnya menjadi pionir kebaikan yang membawa harapan, bukan hanya bagi saya, namun juga komunitasnya.

Jika orang baik melakukan hal yang jahat, siapa yang harus disalahkan? Orangnya? Sistemnya? Saya percaya orang baik akan mengubah sistem, dan sistem yang baik akan menghasilkan proses yang baik, yang semoga menghasilkan lebih banyak orang baik daripada yang tidak baik. Bagaimana jika harapan saya akan pengubah sistem ternyata jatuh pada kriteria tidak baik? Apakah kalau orang itu melakukan kejahatan, dia tidak baik lagi?

Atau pertanyaan sesungguhnya mungkin apakah memang dia baik? Jangan-jangan ekspektasi saya yang membuat saya menganggapnya baik, sebelum dia menjadi baik. Jika demikian, saya memang pantas kecewa, karena saya menaruh harapan kebaikan kepada seseorang yang menurut saya bisa mengubah situasi dari yang buruk menjadi baik.

Jika orang lain yang melakukannya, yang memang saya kenal sebagai orang yang tidak baik, mungkin saya tidak akan merasa sekecewa ini. Perbuatan tidak baik dari orang yang saya harapkan baik membuat saya seperti tidak lagi percaya kepada kehadiran orang baik lagi. Namun, dalam berbagai tantangan dan sistem, bukankah saya harus percaya bahwa orang baik itu masih ada? Apakah orang baik masih ada? Atau, apakah harapan akan keberadaan orang baik ini adalah sebuah ideal yang sebenarnya merupakan interpretasi dari khayalan ideal saya? Jangan-jangan kebaikan adalah suatu hasil logika – seperti Aquinas yang mengatakan karena ada level kesempurnaan, maka harusnya ada yang paling sempurna – yang pada akhirnya jatuh pada idealis yang tak bisa dibuktikan bahkan cenderung utopis? Yang paling sempurna adalah logika yang tak pernah bisa dibuktikan, namun menjadi ideal yang kita jaga sebagai harapan. Apakah orang yang baik juga adalah ideal yang tidak akan pernah ada? Jika memang dia tidak akan pernah ada – atau paling tidak tidak akan pernah ditemukan, bukankah itu berarti dia tidak ada?

Namun, pertanyaan lebih lanjut adalah, apakah orang baik yang belum ditemukan menunjukkan bahwa orang baik itu tidak ada? Apakah keberadaan orang baik menjadi das sein (yang nyata) atau das sollen (yang seharusnya)?

Kebaikan sebagai sesuatu yang sungguh nyata

Dalam tahap ini, kita bisa memberi penilaian akan kebaikan apabila kita sudah mengetahui apa itu kebaikan. Dengan mengandaikan kita bisa menetapkan beberapa kriteria dan definisi kebaikan, kita akan mampu menilai seseorang yang kita anggap baik. Namun hal ini membawa kita kepada masalah baru. Betulkah kebaikan dan orang yang memenuhi syarat untuk disebut baik bisa kita temukan?

Jika keberadaan orang baik hanya bisa dibuktikan dengan kehadirannya, bukankah ekspektasi kita akan kebaikannya juga terbatas? Apakah kita bisa menetapkan kriteria kebaikan, sementara kita sendiri tidak bisa memenuhi kriteria itu? Apakah kita bisa menetapkan ukuran tertentu kepada seseorang untuk memperoleh predikat baik dari kita? Ketika kriteria kebaikannya bisa terpenuhi, apakah kita akan puas terhadap orang yang bisa mencapai kriteria tersebut, atau kita akan terus menaikkan harapan kita? Bukankah orang baik juga akan berhenti jadi baik bagi orang yang memiliki ekspektasi kebaikan berbeda?

Kebaikan sebagai sebuah ideal

Jika demikian, bagaimana kalau kita melihat kebaikan itu sebagai suatu tujuan, sebuah ideal? Di lain pihak, jika keberadaan orang baik menjadi sesuatu yang ideal, yang seharusnya, apakah dia akan pernah terpenuhi? Apakah kebaikan harus menjadi sebuah utopia yang dapat kita bayangkan, namun tidak bisa tercapai. Kebaikan menjadi penuh ketika dia ada dalam harapan, dan bukan kenyataan. Kenyataan adalah persepsi hasil indra kita. Persepsi dapat menipu kita. Plato mengatakan bahwa kebaikan sesungguhnya ada dalam dunia ide, yang tak akan pernah bisa kita raih. Kebaikan ada sebagai sebuah perjalanan menuju, yang tak akan pernah kita capai, namun harus kita dekati.

Karena kebaikan sesungguhnya tidak bisa kita raih, kita harus puas dengan orang baik yang sebenarnya adalah setengah baik. Tidak akan ada orang yang sepenuhnya baik, karena kebaikan itu tak tergapai. Ketika orang yang kita anggap baik melakukan kesalahan, bukankah dia sedang melakukannya karena dia memang tidak pernah baik sepenuhnya pada mulanya? Pemahaman akan kebaikan dalam level ideal akan mampu membuat kita memaklumi perubahan orang yang kita anggap baik menjadi tidak baik – paling tidak dalam kriteria ideal yang kita ajukan. Proses menuju kebaikan membuat tidak banyak orang baik, dan jika pun ada, dia diikat untuk menjadi tidak baik karena harapan ideal tadi.

Kebaikan sebagai sebuah kerangka berpikir

Setelah merenungi kedua pilihan di atas, dengan berbagai penalaran dan akibat dari penalaran tersebut, saya percaya bahwa kebaikan adalah sebuah kerangka berpikir. Kita memilih kebaikan sebagai sebuah standar yang kita tetapkan, baik terhadap orang maupun diri sendiri. Standar ini menjadi kerangka berpikir kita dengan pengetahuan bahwa kerangka kita pun bisa berubah. Kerangka berpikir bisa menjadi kesepakatan ketika dia berada dalam sebuah kontrak sosial. Kontrak sosial mengharuskannya memenuhi syarat kebaikan tersebut. Ketika ada orang baik dalam penilaian kontrak sosial, yang keluar dari kerangka berpikir baik tadi, dia tidak lagi setia kepada kerangka itu. Apakah dia tidak baik? Bisa ya dan tidak. Dia dinilai tidak baik karena pengkhianatannya terhadap nilai bersama yang ditetapkan. Namun bisa jadi dia melakukannya karena kerangka berpikirnya sudah berkembang, dan dia bisa melihat nilai baru yang menurutnya lebih baik. Tetapi, kebaikan yang keluar dari kerangka berpikir baik harus selalu diperiksa apakah dia sedang membawa nilai baru yang lebih baik, atau dia memang merupakan degradasi nilai kebaikan. Dalam hal ini, orang itu menjadi tidak baik. Dalam skema kebaikan sebagai kerangka berpikir, keadilan menjadi suatu hal yang das sein, namun memiliki keterbukaan akan das sollen.

Sampailah saya pada akhir perenungan singkat ini. Mengapa orang baik melakukan hal yang jahat?

  1. Dia memang tidak pernah baik, ekspektasi saya yang membuatnya menjadi baik.
  2. Dia melihat suatu hal baru yang dianggapnya melampaui nilai kebaikan yang saya miliki.
  3. Kerangka ideal saya memerangkap saya untuk menilai kebaikan seseorang berdasarkan penilaian saya sendiri.
  4. Dia pernah baik, namun sekarang menjadi jahat.

Dari berbagai pilihan ini, saya harus memeriksa kembali pertanyaan saya di atas, dengan kesadaran bahwa saya juga bisa jadi tidak baik bagi orang yang memiliki pertanyaan itu atas diri saya.

Di ujung tulisan ini, saya membayangkan Mazmur 62:6, “Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang, sebab dari pada-Nyalah harapanku.” Berharap kepada Allah, membuat saya harus tetap memiliki pengharapan akan kebaikan-Nya dalam manusia, bahwa mereka yang berharap akan berusaha untuk menjadi baik dalam kerangka yang Allah berikan kepadanya. Berharaplah kepada Allah, karena dalam Dia ada kebaikan penuh.

Viewed 61847 times by 4628 viewers

2 Comments

  1. Natalia Marpaung

    Ijin share di FB, bang. Bolehkah?

  2. binsar pakpahan

    Silakan. Btw besok khotbah di hkbp menteng pkl 15.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *