Travel Light!

baggage suitcases-76038279Matius 16:21-28

Saudara-saudara terkasih,

Kalau kita bicara soal liburan, anda tipe orang yang seperti apa dalam menyiapkan perjalanan? Apakah anda lebih suka membawa barang lengkap atau berangkat seadanya?

Mama saya suka sekali membawa barang lengkap, saya ingat juga tante Tina di Uithoorn. Mereka berdua pasti membekali saya dengan berbagai makanan, meskipun pergi liburan. Mama saya senang sekali membawa berbagai keperluan, termos, makanan, nasi, rice cooker, pemasak air, supaya kami tidak jajan di jalan. Sementara itu, ada juga yang suka berangkat dengan satu tas supaya ringan dan bisa berjalan ke mana-mana: beberapa potong pakaian, buku, charger, dan selesai. Travel light. Anda sendiri tipe yang mana?

Untuk memulai khotbah ini, saya ingin bertanya pada saudara: Silakan buka tas/dompet anda, apakah ada benda yang selalu ada di sana, namun tidak pernah anda gunakan dalam satu tahun terakhir?

Mungkin ada orang yang membawa kartu rumah sakit, kartu diskon, foto orang yang kita kasihi, foto orangtua yang sudah meninggal, kartu parkir, atau keanggotaan club tertentu yang tidak pernah lagi kita gunakan. Kita membawa barang-barang yang sebenarnya tidak kita perlukan, namun memiliki ikatan sentimental dengan diri kita.

Kadang-kadang kita sendiri tidak tahu apa isi benda yang kita bawa. Ada yang membawa bon parkir 3 tahun yang lalu, atau koin Rp. 50 yang tidak lagi berlaku. Adakah orang yang masih membawa gulden dalam dompetnya di sini?

Saya sendiri selalu membawa kartu nespresso club saya ke mana-mana, bahkan di Indonesia, meskipun di Indonesia belum ada yang menjual nespresso. Tempat terdekat di mana saya bisa membelinya adalah Singapura. Saya ingin membawa kartu ini karena merasa agak “keren” bisa memiliki kartu dan mesin kopi nespresso. Ada perasaan “elite” dalam diri saya ketika saya membawa kartu itu meskipun kebanyakan kopi saya sekarang adalah oleh-oleh karena saya sendiri tidak bisa lagi membelinya. Kadang-kadang saya menunjukkan kartu nespresso saya di Singapura, hanya untuk memperlihatkan kepada mereka bahwa saya anggota Nespresso di Eropa, padahal kartu itu tidak bisa digunakan di Singapura.

Saudara-saudara, benda-benda yang kita simpan membawa beban/ memori yang menuntut sesuatu dari kita. Misalnya ada yang membawa kartu mahasiswa karena masa mahasiswa adalah masa terindah buatnya. Atau, ada yang membawa foto orang yang dikasihinya yang sudah meninggal karena tidak bisa meninggalkan kenangan manis. Ada yang membawa karcis bioskop pertama kali dia mengajak pacarnya nonton film, karena momen itu begitu berkesan baginya. Benda yang kita bawa membuat tuntutan bagi yang membawanya.

Dari bawaannya, kita juga bisa mengenali siapa orang tersebut. Jika kita melihat sebuah tas dan menemukan kamera, notebook kecil, kartu wartawan, kita mungkin akan mengiranya sebagai orang media. Kalau seseorang membawa dompet, handphone, kartu nama, dan banyak kartu kredit, kita bisa menduga bahwa dia adalah seorang businessman. Jika seseorang membawa Alkitab ke mana-mana, brosur, dsb, mungkin dia adalah orang yang berurusan dengan gereja. Dari barang yang dibawanya, kita mengenali siapa orangnya.

Karena itu, semua orang membawa sesuatu dalam hidupnya. Semua orang membawa beban. Beban masa lalu juga bisa kita terjemahkan dalam bentuk barang, atau juga dalam bentuk kenangan, yang tidak terlihat namun selalu bersama dengan kita.

Film singkat ini menunjukkan bahwa ada orang yang tidak bisa lepas dari bawaannya, sehingga dia mengumpulkan semua barang yang sebenarnya tidak perlu lagi baginya. Penyakit ini disebut hoarder/hoarding. Hoarding. Kata yang belum memiliki padanan dalam bahasa Indonesia ini berarti “sifat yang membuat seseorang atau seekor binatang mengumpulkan makanan dalam periode kekurangan (Wikipedia 2014).” Manusia yang memiliki gangguan obsessive-compulsive disorder (OCD) akan mengumpulkan barang-barang melebihi apa yang mereka butuhkan hanya karena ketidaksanggupan untuk melepaskan diri dari mereka. Sebuah program BBC menayangkan Britain Biggest Hoarders yang menunjukkan bagaimana orang-orang telah kehilangan kehidupannya karena mereka mengumpulkan barang-barang sampai level ekstrem, begitu ekstrem sehingga mereka bisa terjebak dalam rumahnya sendiri. Hoarder. “Sang pengumpul barang,” begitulah mereka disebut.

Keterikatan emosi yang orang-orang ini miliki tentunya melewati batas yang bisa ditolerir oleh masyarakat di sekitarnya. Namun, bukankah kita semua pada satu titik juga memiliki hal-hal yang tidak bisa kita lepaskan secara emosional. Kita memiliki keterikatan terhadap berbagai jenis benda, binatang peliharaan, tempat, makanan, email, sms, pesan blackberry/whatsapp, selebriti, program televisi, gereja, pendeta, atau bahkan orang yang kita kasihi. Setiap hal ini menuntut tempat di dalam hati kita. Hati kita menjadi cluttered, penuh sesak dengan hal-hal yang berlomba memberi tuntutan kepada kita. Pada akhirnya, ketika sebuah situasi memaksa kita untuk memilih di antara hal-hal tersebut, pilihan kita akan mencerminkan apa yang sebenarnya kita paling cintai.

Saudara-saudara, di sini kita masuk ke renungan hari ini.

Yesus menuntut kita untuk memilih dan mengutamakan Allah dan kehendak-Nya.

Matius 16 bercerita mengenai kesalahpahaman para murid mengenai Yesus. Para murid salah memahami ajaran Yesus mengenai ragi orang Farisi dan orang Saduki, dan berpikir bahwa Yesus sedang bicara tentang roti karena mereka lupa membawanya (Mat. 16:5-12). Mereka tidak bisa memahami metafora ragi orang Farisi dan Yahudi, dan menjadi khawatir akan kekurangan makanan, padahal mereka telah menyaksikan Yesus memberi makan lima ribu orang dan empat ribu orang. Pikiran mereka yang dipenuhi kekhawatiran soal makanan menghalangi mereka memahami ajaran Yesus.

Petrus yang baru saja mengakui Yesus sebagai Mesias (Mat. 16:13-20) juga salah memahami peran Yesus. Kerinduannya akan kebebasan orang Yahudi dari penjajahan Roma membuatnya membayangkan seorang mesias yang tangguh, perkasa, dan membangun kekuatan untuk melawan penjajah. “Bagaimana mungkin seorang mesias yang perkasa bicara soal penderitaan, bahkan kematian-Nya sendiri?” demikian pikir Petrus. Petrus menarik gurunya ke samping dan menegurnya. Ini adalah sebuah perbuatan yang sangat lancang untuk dilakukan seorang murid terhadap gurunya.

Petrus begitu mencintai Yesus dan membayangkan bahwa Mesias akan membebaskan Israel dari Roma. Tetapi sebenarnya Petrus lebih cinta kepada kemerdekaan Yahudi daripada kepada Yesus. Kecintaan Petrus akan kemerdekaan bangsa Yahudi dari penjajahan Romawi membuat dia memposisikan Yesus dalam pemikirannya sendiri. Dia mengenali Yesus sebagai mesias, namun dia lebih cinta kepada kemerdekaan bangsa Yahudi, sehingga dia tidak terima ucapan yang sama sekali berbeda dengan harapannya.

Kecintaan kita akan suatu hal dapat menghalangi atau memblokir kecintaan kita akan Allah. Yesus berkata, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mat. 16:24; lihat juga Mrk. 8:34). Penyangkalan diri (ἀπαρνησάσθω – aparnēsasthō) adalah sebuah bentuk penolakan atas keinginan diri sendiri. Kita bisa juga menafsirkan penyangkalan diri sebagai sebuah bentuk pengosongan diri (κένωσις, kénōsis, Fil. 2:7), sehingga kita memberi ruang untuk kehendak Allah dalam hidup kita.

Gambaran Petrus mengenai Yesus bukanlah Yesus sendiri, melainkan apa yang dia inginkan untuk terjadi. “Beban” Petrus dalam hatinya membuat-nya tidak ingin mendengar Mesias yang menderita. Karena itu Petrus selalu membawa pedang dalam mengikut Yesus, dan dialah yang memotong daun telinga seorang prajurit yang akan menangkap Yesus di taman getsemani.

Ketika kita dipanggil dan diutus Tuhan, “beban” apa yang menghalangi kita untuk memahami-Nya? Beban apa yang menghalangi kita untuk mendengar panggilan Tuhan?

Rumah yang dipenuhi oleh barang-barang harus dikosongkan agar kita bisa melihat bentuk rumah itu sesungguhnya dan mengundang hal-hal baru untuk masuk, atau untuk dapat melihat hal-hal baik yang sejak lama ada dalam rumah tersebut namun tertutup oleh barang-barang lain. Hati kita juga harus dikosongkan dari hal-hal yang memenuhinya.

Alasan untuk tidak memenuhi panggilan Allah akan selalu ada. Banyak hal yang membuat kita tidak bisa mendengar rencana Tuhan. Tantangan bagi kita adalah, apakah kita bisa meninggalkan benda yang menghalangi anda mendengar suara Yesus!

Apabila kita berhasil melakukannya, maka kita akan mampu mendengar kehendak Allah dalam kehidupan kita, meskipun itu berarti menderita dan memikul salib kita. Pada akhirnya kita tahu bahwa pada akhirnya Anak Manusia akan datang dengan segala kemuliaan-Nya dan membalas setiap orang sesuai dengan perbuatan-Nya. Allah bekerja sesuai rencana-Nya. Untuk mengetahui-Nya, kita perlu menyangkal diri dan menempatkan Dia sebagai yang terutama dalam diri kita.

Pdt. Binsar J. Pakpahan

 

Viewed 37066 times by 3815 viewers

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *