Mendampingi Mereka Yang Menjalani Akhir Hidupnya


Lrthands1.jpg Tulisan berikut ini saya dedikasikan untuk seorang teman yang sedang bergumul dengan vonis dokter terhadap ayahnya. Dokter mengatakan bahwa usia ayahnya tinggal enam bulan lagi karena sakit berat yang dideritanya. Keluarga sedang mempersiapkan diri untuk menyampaikan berita ini kepada sang ayah. Hal ini menjadi pergumulan doa dan pikiran saya, dan karena itu mungkin saya bisa sedikit memberi dorongan moral melalui tulisan saya ini.

Elisabeth Kübler-Ross menulis sebuah buku berjudul “On Death and Dying” (sudah diterjemahkan oleh Gramedia) – sebuah tulisan yang mempelajari reaksi orang-orang yang menghadapi tahap-tahap terakhir dalam hidup mereka. Studinya ini diambil dari penelitian atas 200 orang pasien yang terminally ill. Lima tahap ini, sejak itu, telah menjadi tolok ukur pertolongan yang akan diberikan bagi mereka yang melalui masalah serupa.

Tahap pertama yang muncul adalah Denial (menyangkal). Reaksi pertama kebanyakan penderita ketika mendengar vonis dokter yang sedemikian adalah tak mau tahu, menyangkal, tak percaya. Penolakan ini mungkin terjadi karena mekanisme dalam diri yang menolak berita mengejutkan itu. “Tidak mungkin hal ini terjadi pada saya,” atau “pasti ada yang salah dalam proses pemeriksaannya” adalah kata-kata yang akan dikeluarkan oleh sang pasien dalam tahap ini.

Tahap kedua adalah Anger/Rage (marah). Tahap penyangkalan di atas tidak dapat dipertahankan terus menerus dalam menghadapi kenyataan yang sebenarnya. Akhirnya penderita akan mengakui keadaannya yang sebenarnya. Ketika dia mengakui bahwa ada suatu hal berat yang dia hadapi, perasaan tak berdayanya keluar dalam reaksi marah dan gusar, iri hati terhadap mereka yang sehat, dan bertanya kenapa hal ini terjadi pada dirinya. Kadang mereka juga merasa bahwa mereka tidak pantas untuk menerima hal ini.

Tahap selanjutnya adalah proses Bargaining (menawar). Karena kemarahan tak juga dapat mengubah situasi, maka penderita mulai dengan tahap tawar menawar dengan Tuhan. Ia berusaha mengelakkan, menunda, membatalkan, atau meringankan “nasib buruk” yang dihadapinya. “Kalau aku sembuh , aku akan …” Ia menawarkan sesuatu kepada Tuhan sebagai”kurban” untuk kesembuhan yang sangat diharapkannya.

Tahap keempat, yaitu tahap yang paling sulit adalah Depression (depresi). Tahap depresi ini adalah tahap di mana pasien dipenuhi rasa terpukul, sedih, tak berdaya. Penderita membutuhkan kesempatan untuk mengungkapkan diri dan mengolah depresinya. Tahap ini menjadi sulit karena sang penderita menjadi putus asa dan sering menjadi diam tanpa semangat lagi. Hal ini membuat pendamping penderita berada dalam posisi yang serba salah ketika mendampinginya.

Tahapan terakhir Acceptance (menerima) adalah tahap di mana pokok pergumulan sang pasien sudah hampir selesai. Penderita akhirnya akan menerima keadaannya, meskipun harapan untuk tetap hidupnya masih ada. Penderita melihat dan yakin dirinya akan kembali kepada sang pencipta. Pasien yang berada dalam tahap ini akan melihat dan menjalani sisa hidupnya dengan sikap yang positif dan berusaha to make the best of it.

Dari tahap-tahap di atas kita bisa lihat bahwa sampai pada tahap akhir penderita tidak melepaskan harapan hidupnya. Urutan tahap-tahap di atas tidak senantiasa sama, dan ada kemungkinan bahwa tahap yang sudah dilewati dapat muncul kembali. Yang paling penting untuk kita lakukan adalah membantu sang penderita sampai ke tahap menerima.

Mengetahui tahap-tahap ini dapat membantu kita untuk menentukan sikap untuk menyesuaikan diri dengan situasi penderita, dan dengan demikian membantu dan mendampinginya dalam menjalani tahap-tahap itu. Banyak penderita tahu atau menduga keadaannya, meskipun tak langsung diberitahu. Ia juga tahu keadaan ini tak dapat dialihkan kepada orang lain dan harus dijalaninya sendiri, betapapun ia selalu didampingi oleh orang lain. Ia tahu bahwa dirinya tidak memiliki pilihan lain. Perasaan tak berdaya ini diperberat oleh beban pikiran harus meninggalkan segalanya meskipun tugasnya di dunia ini belum selesai, terutama perannya sebagai ibu-bapak, suami-istri.

Tidak semua orang akan menghadapi kematian dengan kegembiraan. Tapi Allah dapat menggunakan kita – sebagai dokter, konselor, pastor, dan teman untuk membesarkan hati saudara-saudara kita yang menghadapi penyakit yang tak tersembuhkan untuk menerima keindahan dari penderitaan, kesenangan dari rasa sakit, dan matangnya kematian. Kita tidak dapat menilai ketika pasien tidak sanggup untuk menggapai dan hidup berdasarkan konsep kedewasaan spiritual seperti ini, tetapi kita dapat mendorong mereka untuk mencapai tahap itu. Bahkan melalui kematian kita bisa memuji Sang Pencipta kita.

Sebagai seorang teman, saudara, dan sahabat dalam Tuhan, saya tahu bahwa mengatakan selalu lebih mudah daripada melakukannya. Untuk teman saya yang kemungkinan besar akan membaca tulisan ini, saya mengingat kalian dalam doa dan berharap semoga keluarga bisa semakin dekat dalam menghadapi masalah ini. Tuhan punya rencana atas kehidupan kita dan saya yakin rancanganNya adalah indah meski kita tidak selalu memahaminya. Tuhan memberkati kalian!

Article, Christianity, Reflection Comments 4 Dec 4th, 2007

4 Responses to “Mendampingi Mereka Yang Menjalani Akhir Hidupnya”

  1. naTaLia Says:
    December 10th, 2007 at 5:12 am Have nothing to say… So blessed with your caring heart. GOD BLESS YOU!!
  2. opit Says:
    January 14th, 2008 at 10:25 am wah..ck..ck..terharu jadi inget Opa gw di jakarta, soalnya dia skrg pembimbing rohani ( volunteering) di RS.Dharmais..
  3. edhel Says:
    February 21st, 2008 at 2:39 pm GOD BLESS U…..
  4. binsar Says:
    February 28th, 2008 at 3:46 am Opit, opa kamu masih jadi volnteer di dharmais??? wah, salut!
    God bless you too Edhel!

Viewed 8635 times by 2387 viewers

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *