DICARI: GURU YANG MELAKUKAN AJARANNYA!

Matius 23 ay 1 smpi 13 Pengukuhan Guru BesarKhotbah Peneguhan Guru Besar Prof. Dr. Muchtar Pakpahan

Sidang Senat Terbuka Universitas Kristen Indonesia

Jakarta, 17 November 2014

 

DICARI: GURU YANG MELAKUKAN AJARANNYA!

Matius 23:1-12

 

Sidang Senat Universitas Kristen Indonesia, saudara-saudara undangan yang terkasih,

Selamat pagi!

Kita semua berkumpul di sini untuk menyaksikan sebuah peristiwa yang menjadi puncak pencapaian karir seorang guru, yaitu dikukuhkan menjadi Guru Besar. Tentu, hal ini luar biasa, dan saya dipercaya untuk membawa renungan syukur di ibadah pembuka sidang senat terbuka ini. Kita tentu sangat senang dan bangga atas pencapaian seorang Muchtar Pakpahan, yang ditetapkan menjadi Guru Besar untuk Ilmu Hukum Tata Negara di Universitas Kristen Indonesia.

Namun, menjadi guru juga tidak mudah. Guru adalah sebuah profesi yang menuntut tanggung jawab besar. Bayangkan, bahwa anda harus bertanggungjawab atas keberhasilan nara didik yang anda ajar. Seorang guru yang baik pasti merasakan beban sekaligus kehormatan yang ditaruh di pundaknya ini.

Matius 23 ay 1 smpi 13 Pengukuhan Guru Besar 2 Di era pendidikan modern, guru menjadi sebuah profesi yang menuntut keseriusan dan profesionalitas. Mengapa professional? Karena guru dituntut untuk memiliki keahlian, tanggung jawab, dan rasa kesejawatan yang didukung oleh etika profesi yang kuat. Profesi ini mendapat perhatian yang sangat besar sehingga negara mengaturnya dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan PP No. 74 tentang Guru. Di sana dikatakan, “Guru berperan sebagai perancang, penggerak, evaluator, dan motivator” (Mujtahid 2010).

Itulah tugas seorang guru. Apakah anda masih siap menjadi guru? Di hadapan kita sekarang, para guru sedang duduk manis, menikmati acara di mana seorang kolega mereka ditetapkan menjadi Guru Besar. Ya, betul! Bukan guru biasa yang ditetapkan hari ini, namun Guru Besar – tentu bukan besar dalam arti fisiknya. Guru Besar adalah terjemahan dari bahasa Belanda Hoogleraar yang dalam acara-acara resmi akan dipanggil zeergeleerde/hooggeleerde. Terjemahan kata-kata tersebut, yang masih digunakan dalam acara-acara akademik resmi di Indonesia, adalah “yang sangat terpelajar!” Bayangkan lagi, dia bukan hanya terpelajar, tetapi sangat terpelajar! Tentu yang sangat terpelajar tidak bisa lagi salah! Harusnya, yang sangat terpelajar menjadi sumber ilmu, yang ditanyakan oleh kami, para manusia biasa ini.

Namun, benarkah demikian?

Belakangan ini mulai ada berita-berita miring mengenai kelakuan beberapa Guru Besar, atau menurut bahasa Orde Baru “oknum” Guru Besar.

Matius 23 ay 1 smpi 13 Pengukuhan Guru Besar 3Guru Besar juga jatuh kepada godaan korupsi! Pada 13 November 2014, sebuah berita di Kompas Online menampilkan judul “Korupsi, Mantan Ketua Majelis Guru Besar UGM Hari ini Disidang.”

Guru Besar juga menggunakan Narkoba. Pada 16 November 2014, sebuah berita di Kompas Online menampilkan judul “Positif Narkoba, Guru Besar Unhas jadi Tersangka.”

Guru Besar yang tadinya kita harapkan menjadi sumber ilmu dan inspirasi ternyata juga melakukan plagiarisme. Pada 24 Agustus 2011, sebuah berita di Kompas Online menampilkan judul “Guru Besar Terbukti Plagiat.”

Celakanya lagi, para calon Guru Besar juga sudah ada yang memulai kecurangan-kecurangan ini untuk bisa memeroleh jabatan tersebut. Pada 2 Maret 2013, sebuah berita di Tempo Online menampilkan judul “Tiga Calon Guru Besar UPI Ketahuan Menyontek.”

Matius 23 ay 1 smpi 13 Pengukuhan Guru Besar 4Dan sepertinya, jabatan Guru Besar juga memikat bagi orang-orang lain, sehingga muncul jabatan Guru Besar Honoris Causa, yang sepertinya tidak pernah ada dalam sejarah dunia pendidikan yang resmi. Media Berita SCTV Online menampilkan berita “Gelar Profesor Causa Rhoma Irama Digugat.”

Jika demikian, mengapa Guru Besar yang seharusnya menjadi MahaGuru dan orang-orang yang Sangat Terpelajar ini juga melakukan hal-hal yang kita anggap sepele dan merusak moral, bukan hanya dirinya sendiri, tetapi juga orang-orang yang diajarnya?

Apakah alasan, “Guru Besar juga manusia” ala Seurieus Band juga berlaku di sini?

Matius 23 ay 1 smpi 13 Pengukuhan Guru Besar 5Salah satu alasan besar kemerosotan bangsa kita adalah karena kita sedang memiliki krisis guru. Siapa yang menjadi guru panutan kita? Mengapa guru, bahkan mahaguru, juga jatuh ke dalam cobaan yang sama dengan kita-kita manusia biasa ini?

Saudara-saudara.

Ben, paman Peter Parker dalam cerita Spiderman pernah berkata, “With great power comes great responsibility.” Seseorang yang memiliki kuasa besar, memiliki tanggung jawab yang tak kalah besarnya.

Itulah yang harus dilakukan oleh seorang guru, dan guru besar. Guru adalah pemimpin yang membantu orang-orang memeroleh alat yang tepat untuk mencapai tujuannya. Tut Wuri Handayani.

Dalam sebuah penelitan yang dilakukan Jim Kouzes dan Barry Posner, mereka mengumpulkan ribuan cerita-cerita terbaik mengenai pengalaman orang-orang yang pernah mencapai puncak kepemimpinan. Apa kriteria pemimpin yang baik? Dari lima ciri pemimpin terbaik yang mereka temukan: model the way, shared vision, encourage others, enable others, dan challenge the system, menurut mereka, satu sikap utama yang harus dimiliki adalah “Menjadi contoh” (model the way).

Seseorang yang melakukan apa yang dikatakannya, menjadikannya seorang pemimpin. Hal ini berbeda dengan seseorang yang menjadi boss, yang hanya memerintah dan menyuruh orang lain untuk melakukan berbagai hal.

Saudara-saudara,

Pada bagian inilah kita berbalik kepada cerita Tuhan Yesus di Matius 23. Pada teks kita, Yesus menceritakan ciri-ciri pengajar dan pemimpin munafik. Mereka yang dimaksud pada teks ini adalah orang-orang Farisi dan para ahli Taurat.

Menurut Yesus, mereka adalah orang-orang yang:

“Matius 23:3 … mengajarkannya tetapi tidak melakukannya. 23:4 Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya. 23:5 Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksud supaya dilihat orang; mereka memakai tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang; 23:6 mereka suka duduk di tempat terhormat dalam perjamuan dan di tempat terdepan di rumah ibadat; 23:7 mereka suka menerima penghormatan di pasar dan suka dipanggil Rabi.”

Ada dua hal yang ditekankan di situ. Pertama, bahwa mereka hanya mengajar tetapi tidak melakukannya. Mereka sendiri senang memberi tugas dan aturan berlebihan kepada orang-orang lain, sedangkan dia menjadikan dirinya sendiri sebuah pengecualian.

Kedua, motivasi mengapa mereka memilih profesi itu adalah motivasi kehormatan. Mereka ingin dipuji, dilihat orang, dan haus akan penghormatan dari orang-orang lain.

Anda bisa membayangkan, bahwa praktik yang tidak jauh berbeda juga terjadi di masa ini.

Jika anda memiliki toko di pasar, atau di mall, lalu pendeta anda datang berkunjung ke situ, apakah anda akan memberikannya korting atau diskon? Jika ya, mohon tinggalkan alamat anda agar saya mengunjungi toko anda setelah acara ini selesai.

Jika anda sedang mengadakan sebuah pesta, di manakah posisi duduk para pendeta?

Jika anda sedang mengadakan ibadah, di manakah posisi pendeta?

Jelas sekali, di depan!

Kursi Musa adalah sebuah posisi kehormatan, di mana hanya yang duduk di situ yang boleh membuka dan mengajar dari Taurat kepada seluruh Jemaat, hampir sama dengan pendeta dan mimbarnya untuk berkhotbah, serta dosen dengan jamnya untuk mengajar. Orang senang untuk duduk karena priviligenya.

Bahkan, dalam acara ini, prosesi masuk para guru di Universitas Kristen Indonesia, didahului oleh dua orang pendeta, saya dan Pdt. Ester sebagai pendeta kampus. Ayah saya yang memeroleh gelar guru besar justru berjalan paling belakang, dan saya sebagai pendeta berjalan di depan anda semua. Luar biasa bukan?

Karena privileges dan perks yang dimiliki para pendeta, ada yang sengaja menjadi pendeta supaya dia memeroleh semua kehormatan ini. Ada yang sengaja merendah di atas gunung, dengan tujuan dilihat semua orang bahwa dia sedang merendah. Kami lupa pesan utama Yesus, bahwa para pendeta adalah pelayan. Pemimpin justru harus menjadi seorang pelayan.

Tetapi, pesan ini bisa juga kita terapkan untuk para guru kita. Apapun profesi kita, baik itu Menteri, anggota DPR, atau para sahabat buruh yang hadir, guru adalah orang yang kita hormati, yang kita anggap sebagai pemimpin kita.

Coba bandingkan modifikasi berikut ini,

“Matius 23:3 (modifikasi) … mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya. 23:4 Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya. 23:5 Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksud supaya dilihat orang; mereka memakai toga yang lebar dan dasi kupu-kupu; 23:6 mereka suka duduk di tempat terhormat dalam perjamuan dan di tempat terdepan di acara-acara kampus; 23:7 mereka suka menerima penghormatan di pesta-pesta dan suka dipanggil Professor.”

Belakangan ini kami suka menggoda ayah di rumah dan memanggilnya, “Ompung Prof.” Tetapi sepertinya dia mulai menikmati panggilan itu, padahal kami tadinya hanya bercanda.

Jika tidak berhati-hati, sang guru bisa jatuh ke dalam godaan yang sama. Para ibu bapak guru dan mahaguru yang di depan kami, ingatlah pesan-pesan ini.

10818407_10152858681442246_7390160320127287602_oPertama.

Guru adalah yang melakukan apa yang diajarkannya. Lakukanlah apa yang anda ajarkan. Seorang pendeta tentu harus mengajar bagaimana orang bisa dekat kepada Tuhan dan dia juga harus melakukannya, bukan berkhotbah untuk mendapat pengikut pribadi dan akhirnya digunakan untuk memperkaya diri. Sama seperti itu, seorang professor hukum harus mencari cara terbaik bagaimana hukum bisa ditegakkan bukan bagaimana dia bisa dibengkokkan menurut keinginannya. Seorang professor ekonomi harus mencari cara terbaik untuk mencapai kesejahteraan bersama dan bukan untuk memperkaya dirinya dengan tindak korupsi.

Dalam hal ini saya bisa mengatakan bahwa Prof. Dr. Muchtar Pakpahan sudah melakukan apa yang diajarkannya. Kami mengenalnya sebagai seorang pejuang buruh yang konsisten membela perjuangan kaum-kaum yang dimarjinalkan. Begitu besarnya perhatian beliau terhadap kaum buruh, pidato pengukuhannya pun mengambil tema mengenai buruh.

 

Kedua.

Guru adalah yang menolong bukan memberi beban berat kepada orang yang diajarinya. Dalam dunia pendidikan, seorang guru kadang-kadang senang memberi beban berat kepada para mahasiswa, padahal dia sendiri tidak akan mengerjakannya. Saya tidak mengenal ayah saya sebagai seorang guru, apakah dia suka memberi tugas yang banyak, atau seorang guru yang friendly, namun pesan hari ini berbicara bahwa sang pengajar harus menolong orang yang diajarinya. Jika seorang guru tidak bisa menolong muridnya, maka dia harus mempertimbangkan apakah dia masih cocok dipanggil sebagai guru.

 

Ketiga.

Guru yang berhasil adalah mereka yang tanpa lelah berusaha mendorong naradidiknya untuk berhasil, bukan untuk kesuksesan dirinya sendiri. Ada sebuah pepatah dan filosofi Batak yang sangat baik. “Anakhonhi do hamoraon di au.” Anak di sini bukan hanya berarti anak biologis. Seseorang disebut berhasil dari keberhasilan generasi sesudahnya. Artinya, jika ayah saya sekarang duduk di depan dan akan dilantik menjadi guru besar, itu sebenarnya adalah kebanggaan dan keberhasilan orangtuanya. Dan jika saya berhasil berjalan mendahuluinya dalam prosesi tadi, atau menjadi siapa saya sekarang, maka itu bukanlah keberhasilan saya, melainkan keberhasilan sang ompung professor.

Seorang guru juga haruslah bersikap demikian. Keberhasilan seseorang menjadi guru bukan karena dia ditegur “Prof” atau karena dia selalu duduk di depan dalam setiap acara yang dihadirinya, melainkan karena muridnya berhasil melampaui dirinya. Saya yakin, Prof. Dr. Sri Soemantri, promotor disertasi ayah saya dulu akan sangat bangga melihat muridnya berhasil menjadi seorang Guru Besar. Sang Guru Besar dinilai berhasil karena menghasilkan Guru Besar lainnya! Inilah kebanggaan dan pencapaian seorang guru yang sesungguhnya. Saya ingin para guru besar di sini termotivasi untuk melahirkan guru-guru besar lainnya!

Saudara-saudara,

Karena itu, dalam Acara Pengukuhan Guru Besar ini, saya hendak memberi ucapan selamat kepada Prof. Dr. Muchtar Pakpahan yang diangkat menjadi Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara di Universitas Kristen Indonesia, jadilah seorang yang melakukan apa yang diajarkannya, jadilah seorang yang menolong dan bukan memberi beban, dan hasilkanlah generasi-generasi hebat lainnya yang menjadi tokoh bangsa.

Ucapan Yesus di akhir bacaan kita terasa tepat untuk menutup renungan ini.

“23:11 Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. 23:12 Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”

Hendaklah semua Guru Besar menjadi pelayan bagi para naradidiknya.

Amin.

Viewed 36204 times by 4676 viewers

9 Comments

  1. Great speech and valuable sermon. I am blessed to read this.

  2. Puji Tuhan bang, bisa membantu.

  3. pdt Anggiat saut simanullang

    So good, so good, it’s very good!

  4. danke schon, mas bro

  5. Pdt.Nalce N Hoyer-Fanggidae

    Terima kasih utk Khotbah yg sangat memotivasi dan membangun, Gbu n fam.

  6. Pencerahan bagi org yg membacanya. tks panditanami.

  7. Great sermon Amang Pdt, I’m blessed with your sermon^^

  8. Sungguh luar biasa,semoga banyak terlahir guru besar2 lainnya yg menjadi pelaku α℘α yg di ajarkan dan pelayan bagi para naradidiknya

  9. sammy austind simanjuntak

    Never ending learning Brader, keep learning ………..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *