Filsafat Cinta

irving singer71qmXn8xTFLKelas Bacaan Filsafat Cinta – STT Jakarta

PHILOSOPHY OF LOVE: A Partial Summing Up (Irving Singer)

 

“Apa itu cinta?”

Pertanyaan ini telah ditanyakan orang sepanjang masa. Google mencatat bahwa kata kunci “What is Love,” dalam trend satu dasawarsa terakhir, paling banyak dicari orang pada tahun 2009, dan menunjukkan trend peningkatan (Google Trends 2014). Artinya, dunia tetap tertarik untuk mengetahui apa yang sebenarnya dimaksud dengan cinta.

Lalu, “apa itu cinta?” Kamus Besar Bahasa Indonesia versi daring menyatakan bahwa cinta adalah:

cinta /cin·ta/ a 1 suka sekali; sayang benar: orang tuaku cukup – kpd kami semua; — kpd sesama makhluk; 2 kasih sekali; terpikat (antara laki-laki dan perempuan): sebenarnya dia tidak — kpd lelaki itu, tetapi hanya menginginkan hartanya; 3 ingin sekali; berharap sekali; rindu: makin ditindas makin terasa betapa — nya akan kemerdekaan; 4 kl susah hati (khawatir); risau: tiada terperikan lagi — nya ditinggalkan.

Namun demikian, dari keempat contoh di atas, kita bisa melihat perbedaan yang cukup substansial mengenai arti cinta:

  1. Orangtuaku cukup cinta kepada kami semua (suka sekali/sayang benar)
  2. Sebenarnya dia tidak cinta kepada lelaki itu, tetapi hanya menginginkan hartanya (kasih sekali, terpikat)
  3. Makin ditindas makin terasa betapa cintanya akan kemerdekaan (ingin sekali; berharap sekali)
  4. Tiada terperikan lagi cintanya ditinggalkan (susah hati [khawatir])

Jika kita hendak membahas “cinta” maka kita harus menyebut kapan saja kita bicara soal cinta. Keempat kalimat di atas tentu memiliki level “cinta” yang berbeda. Ada cinta kepada (1) es krim atau sepakbola; (2) filsafat; (3) binatang peliharaan atau boneka kesayangan; (4) pacar atau istri; (5) alam atau kehidupan. Kelas Bacaan Filsafat 2014 akan fokus kepada pengertian cinta dalam hubungan antar manusia yang berada dalam relasi “cinta” dalam tiga kata Bahasa Yunani berikut: eros, agape, dan philia.

Sebenarnya ada empat kata yang bisa diterjemahkan sebagai cinta dalam bahasa Yunani. Mereka adalah agape, phileo/philia, storge, dan eros

Agape adalah kata yang digunakan ketika merujuk kepada kasih Allah (lihat 1Yoh. 4:7-12,16b; atau Yoh. 3:16). Agape juga adalah kasih karena apa yang seseorang lakukan dan bukan apa yang seseorang rasakan.

Kata kedua adalah phileo/philia, yang artinya “memiliki ketertarikan khusus kepada seseorang atau sesuatu, yang dekat kepada kita, memberi perasaan kita, menganggapnya sebagai seorang saudara.” Phileo ini sebenarnya lebih baik diterjemahkan sebagai “sangat menyukai” atau “persahabatan sejati”. Kata ini agak berbeda kalau diterjemahkan dengan kata dalam bahasa Inggris “love,” tetapi bisa juga dengan “strongly like.” Kata ini mungkin bisa kita terjemahkan dengan kata “suka” atau “menyukai.”

Kata ketiga dalam bahasa Yunani adalah storge yang menunjukkan kasih antara orangtua dan anaknya, atau terhadap saudara kandung, dan juga antara suami dan istri dalam pernikahan yang baik dan sehat (lihat Rm. 12:9-10)…

…Kata keempat, eros, digunakan untuk menggambarkan cinta seksual, yaitu cinta secara badaniah.Eros adalah asal kata erotica, dan juga digunakan untuk merujuk kepada dewa cinta dari Yunani. Kata ini sebenarnya tidak pernah muncul dalam Alkitab (Binsar Pakpahan 2012, 3-4).

Kata-kata di atas menjadi lebih sulit untuk dimengerti ketika kita menghubungkannya dengan berbagai teori mengenai cinta (termasuk cinta romatis – romantic love) yang akan kita bahas selama perkuliahan ini. Dalam menganalisis kata “cinta” dengan alat filsafat, kita harus membedakannya dengan kata “suka” atau “senang.” Bennet Helm mengungkapkan dua hal yang bisa kita gunakan untuk membedakan kedua istilah ini (Bennet Helm Stanford Encyclopedia of Philosophy Website 2013). Pertama, kita membedakannya dari “kedalaman” identifikasi kita terhadap kata tersebut: “to love someone is somehow to identify yourself with him, whereas no such notion of identification is involved in liking.”[1] Cara kedua adalah dengan memeriksanya dengan pertanyaan, “Can we justify loving or continuing to love a particular person, and if so, how?” (Bennet Helm Stanford Encyclopedia of Philosophy Website 2013).

Beberapa pertanyaan mengenai cinta (romantis) yang patut kita gumuli dalam perkuliahan ini adalah: (1) Apakah cinta itu soal sikap atau perasaan? (2) Bagaimana cara mengukur cinta? (3) Dari mana kita tahu bahwa itu adalah cinta? (4) Apa akibat dari cinta? dan (5) Apakah ada cinta yang sempurna? Pertanyaan-pertanyaan ini harus muncul di benak kita ketika sedang membawa buku-buku yang akan menjadi bahan bacaan perkuliahan ini.

Tantangan pertama dalam membaca tentang “cinta” adalah memberi definisi tentang “cinta.” Siapa yang dapat kita percaya untuk memberi definisi cinta? Apakah semua definisi benar? Apakah orang yang sedang jatuh cinta bisa memberi definisi mengenai apa yang dialaminya disbanding orang yang belum pernah jatuh cinta? Apakah seseorang bisa mengatakan bahwa saya lebih mencintai ini dibandingkan yang lain? Kita bisa saja menghindari tantangan untuk memberi definisi dengan memberi sejumlah keterangan mengenai apa yang cinta tunjukkan. Cinta kemudian bisa kita lihat dari sejumlah emosi yang dirasakan: bahagia, gelisah, kecewa, sedih; atau bahkan dari reaksi fisik yang muncul: pipi memerah; jantung berdegup lebih kencang, tangan berkeringat, dsb. Kita juga bisa menjelaskan cinta dari tindakan yang dilakukan: pegangan tangan, berciuman, pernikahan, hubungan seksual, dsb. Namun, semua hal yang kita sebutkan di atas tetap menjadi relatif terhadap waktu dan konteks di mana cinta itu dialami. Seseorang yang jatuh cinta pada tahun 1960-an di Padang, Sumatra Barat mungkin akan memiliki emosi, reaksi fisik, dan tindakan yang berbeda dibandingkan seseorang yang hidup di masa ini di kota besar seperti Jakarta.

Jika demikian, apakah cinta memang bisa dan harus didefinisikan? Jika demikian, bagaimana dengan putus cinta? Bagaimana kita bisa memahami orang yang jatuh cinta bisa juga kemudian merasa jemu dengan cinta dan memutuskan untuk tidak lagi berurusan dengan orang yang pada awalnya membuatnya jatuh cinta?

Beberapa penelitian saintifik sedang berusaha menjelaskan apa itu cinta dari berbagai pendekatan ilmu. Penelitian psikologi dan neurologi bekerjasama untuk mencari gejala fisik dan gelombang yang muncul dalam otak ketika mereka merasakan cinta. Teologi, juga teologi Kristen, sejak awal sudah merangkum inti dari ajarannya yang adalah cinta terhadap Allah dan cinta terhadap sesama manusia (Lih. Mat. 22:37-40). Filsafat juga telah menggumuli cinta sejak zaman Yunani klasik. Beberapa dari penelitian ini akan kita bahas sepanjang kuliah ini. Makalah singkat ini akan membuka semester ini sambil menjelaskan pendapat Irving Singer mengenai cinta dalam buku Philosophy of Love: A Partial Summing-Up (Cambridge, Massachusetts: MIT Press, 2009).

Siapa Irving Singer

Irving Singer adalah Professor dalam bidang studi filsafat yang mengajar selama 55 tahun di Massachusetts Institute of Technology (pensiun Oktober 2013). Karya fenomenal yang pernah diterbitkannya adalah trilogy mengenai cinta: The Nature of Love Volume 1: Plato to Luther (1984); The Nature of Love Volume 2: Courtly and Romantic (1984); The Nature of Love Volume 3: The Modern World (1987). Fokus penelitiannya adalah cinta, dan karya terakhirnya adalah Modes of Creativity: Philosophical Perspectives (2011) (semua diterbitkan oleh MIT Press).

Singer mengecap pendidikan di bidang filsafat di Harvard (Sarjana – 1948, Magister – 1949, dan Doktoral – 1952). Selain mengajar selama 55 tahun di MIT, dia juga pernah mengajar di Harvard, Cornel University, dan University of Michigan. Sebagai seorang filosof, Singer telah menulis banyak karya besar – yang sebagian besar adalah mengenai cinta.

Buku Philosophy of Love adalah sebuah rangkuman dari trilogy The Nature of Love yang ditulis belakangan, namun berfungsi untuk mengantar orang masuk dalam pemikiran Singer. Dalam buku ini Singer membahas sejarah cinta romantis mulai dari Plato sampai ke abad ke-19 lalu melanjutkannya dengan pemikiran beberapa tokoh seperti Plato, Freud, Schopenhauer, Nietzsche, Dewey, Santayana, Sartre, dan beberapa tokoh lainnya. Singer menulis buku ini dengan gaya populer, tanpa catatan kaki atau rujukan ilmiah, dengan tidak mengurangi kedalaman pembahasan tema itu sendiri. Gaya yang dipakai oleh Singer adalah dengan eksposisi tematis cinta romantis tanpa runut historis yang tepat. Karena buku ini tidak ditulis secara sistematis kronologis, pembaca harus memiliki pengetahuan dasar mengenai perjalanan ide-ide dalam filsafat Barat. Semua filosof yang disebut dalam buku ini telah dibahas secara ekstensif dalam triloginya.

Perkembangan Pandangan Mengenai Cinta dari Masa ke Masa

Singer memulai pemaparannya dengan memfokuskan diri pada tema cinta romantis. Dia percaya bahwa, meskipun banyak filosof berpikir bahwa fenomena cinta sebagai suatu hal yang romantis, seksual dan personal muncul di abad ke-19, konsep ini sebenarnya berasal dari zaman Yunani kuno.

Romantisme dimulai dengan sikap permusuhan antara jantan dan betina karena mereka tidak melihat dunia dengan pandangan yang sama. Salah satu contoh menarik yang Singer angkat adalah ketika burung Camar Amerika (Herring Gulls) memasuki musim kawin. Burung betina akan menyerang jantan yang berusaha memasuki teritori kekuasaannya, namun setelah beberapa waktu – di mana mereka menyelesaikan perbedaannya – sang betina akan menyambut sang jantan (h. 5). Setelah sebuah pasangan melalui masa penyesuaian yang penuh konflik, mereka akan mampu bersatu sepenuhnya. Karena itu, Singer menolak bahwa abad ke-19 menilai cinta sejati hanya bersifat manis dan menyenangkan.

Singer membedakan cinta sebagai bestowal dan appraisal. Kedua ide ini akan saya jelaskan kemudian. Dia juga melihat bahwa hasrat (passion) adalah penting dalam Cinta Romantis. Ada dua pandangan dalam melihat hasrat. Kaum Puritan (Rousseau) mengatakan bahwa cinta sejati harus diperoleh tanpa hasrat seksual. Sementara itu kaum pesimis menyatakan bahwa Cinta Romantis akan selalu gagal karena hasrat seksual adalah hal yang terutama dalam Cinta, karenanya cinta tunggal akan gagal (didukung oleh Schopenhauer, Freud, Tolstoy). Hal ini akan dibahas dalam bagian mengenai pandangan Singer di bawah.

1. Filsafat Cinta Plato

Buat Singer, Plato tetap mengartikan cinta sebagai usaha menuju “Kebahagiaan” (the Good). Tubuh kita telah didesain untuk menjadi agen pemenuh Kebahagiaan. Kebahagiaan bisa diperoleh melalui hubungan seksual, namun ini bukan kebahagiaan yang terutama. Seseorang harus melampaui kebahagiaan yang dicapai melalui hubungan seksual untuk mencapai kebahagiaan sejati. Setelah melampaui tingkat cinta mendasar dalam hubungan seksual, seseorang akan dapat mencari Kebahagiaan dalam cinta intelektual dan spiritual. Cinta yang melampaui kebahagiaan seksual ini akan menjadi dasar yang kuat bagi cinta seutuhnya.

Menurut Singer, dalam komunitas Plato, Kebahagiaan sepenuhnya adalah ide yang tak akan pernah dicapai sepenuhnya. Atas dasar pemikiran ini, orang Kristen mengarahkan Kebahagiaan yang sepenuhnya dalam diri Allah. Manusia berusaha menggapai Kebahagiaan ini melalui hubungan spiritual dirinya dengan Allah.

Singer menolak ide bahwa ada cinta yang sempurna dan bahwa manusia berusaha menggapai cinta ini. Menurutnya, cinta harus dilihat dalam beberapa kelompok kategori sehingga kita tidak mungkin menemukan definisi tunggal mengenai cinta yang sempurna. Dia berkata, “I don’t think that large-scale terms like love, happiness, meaning of life, meaning in life, sex, beauty, and such, are able to have any one definition” (15). Cinta selalu menunjukkan dirinya dalam bentuk plural. Filosof bertugas untuk mencari dan menajamkan pengelompokan ini.

Dalam Symposium, Plato juga telah mengajukan pertanyaan mengenai orientasi cinta sejenis. Athena adalah sebuah kota yang mentolerir komunitas homoseksual, dan Plato kemungkinan besar juga masuk ke dalam kelompok ini (h. 9). Dalam perjalanan hidupnya kemudian, Plato menentang kelompok homoseksual dengan mengatakan bahwa keluarga adalah hasil perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan.

Pada dasarnya Singer menolak dua konsep cinta dalam ide Plato, yaitu transenden: ide bahwa seseorang harus menggunakan Realitas Mutlak dalam kenyataan metafisis untuk menjelaskan cinta; dan ide merger: bahwa cinta menjadikan seseorang menyatu dengan yang lainnya.

Menurutnya, cinta tidak membuat kita menyatu dengan yang lain. Kita tidak dapat menyatu dengan yang lain. Yang ada adalah keinginan untuk menyatu. Manusia memiliki mimpi untuk menjadi satu dengan pasangannya karena keinginannya memiliki cinta transenden dan menyatu dengan Kebahagiaan (The Go[o]d). Ini adalah contoh cinta dalam abad pertengahan (23). Karena Allah adalah sempurna, kita berpikir bahwa kebahagiaan kita hanya bisa diperoleh melalui penyatuan dengan Allah. Manusia rindu untuk kembali menyatu dengan kebahagiaan sempurna di dalam Allah.

Penyatuan ini tidak mungkin terjadi. Contoh penyatuan dua individu dalam konsep Singer terlihat dalam bentuk United States of America (20) di mana kelompok bersatu namun tetap memiliki otonomi dalam dirinya sendiri. Singer mengusulkan terminologi “wedding” daripada “merging,” yaitu ide kesatuan dua individu yang tetap memeroleh individualitasnya (22).

Singer percaya bahwa cinta dan konsep mengenai cinta adalah proyeksi dari apa yang orang lakukan pada masanya. Cinta yang menyatukan dua pribadi adalah konsep kekristenan abad pertengahan yang disebarkan oleh gereja. Setelah abad pertengahan, demokrasi masuk ke dalam pemikiran Barat. Seiring dengan proses demokratisasi dalam bidang politik, cinta juga menjadi semakin demokratis. Tadinya pasangan yang menikah memiliki “Courtly Love” (Cinta Resmi). Cinta jenis ini adalah penghormatan terhadap hubungan laki-laki dan perempuan dalam sebuah institusi untuk tujuan politis atau finansial, atau untuk mengikuti aturan reproduksi yang dikeluarkan dan dikuduskan oleh gereja (33). Courtly love mendorong demokratisasi cinta.

Setelah Shakespeare, perkembangan dalam masyarakat Eropa, pengaruh revolusi Perancis, di mana ide kesetaraan, kebebasan, dan demokrasi diangkat, orang-orang juga menjadi percaya bahwa cinta adalah pilihan dan bukan paksaan (36). Perempuan kemudian memegang peran yang lebih penting daripada sebelumnya dan mulai memilih siapa yang akan menjadi cintanya. Hasilnya, ada keinginan lebih besar dalam masyarakat untuk memiliki kebebasan untuk mencintai dan bagaimana mereka mengekspresikan cintanya. Inilah yang memulai zaman Cinta Romantis di abad ke-19.

Lebih lanjut, Singer menjelaskan bahwa keinginan untuk bebas memilih kelompok seksual pasangannya juga lahir dari demokratiasi seksual ini (82). Dalam negara demokratis, revolusi seksual akan berjalan lebih cepat sebagai sebuah arah baru dalam Cinta Romantis.

 2. Filsafat Cinta Freud

Singer menempatkan teori Freud mengenai psikoanalisis dalam teorinya mengenai perbedaan antara (1) appraisal: kemampuan untuk menemukan nilai, dalam diri sendiri atau dalam orang lain; dan (2) bestowal: sebuah cara untuk menciptakan nilai, nilai baru yang tidak sama dengan appraisal. Freud melihat cinta hanya sebagai bagian dari appraisal, pertempuran antara kedua pihak untuk saling menguasai dan menundukkan. Freud juga menganggap bahwa cinta membuat orang menilai pasangannya secara berlebihan (contoh: dialah perempuan tercantik di dunia) yang sebenarnya adalah ilusi. Menurut Singer, Freud salah dalam menyatakan hal ini. Freud melupakan peran perasaan (feeling) dalam cinta. Cinta tidak dapat diteliti hanya dari kategori sains yaitu efek psikologis yang dialami oleh seseorang. Cinta memerlukan kategori dan metodologi berbeda dari sains. Menurutnya, ilmu sains dan humanistic studies perlu bekerjasama untuk memeroleh pemahaman yang utuh mengenai cinta.

Salah satu sumbangan Freud bagi pemikiran mengenai Cinta adalah ketika dia berusaha menjelaskan mengapa pasien-pasiennya bisa melakukan hubungan seksual dengan selingkuhannya namun tidak mencintai mereka; dan pada saat yang sama mereka tetap mencintai istrinya namun tidak bisa berhubungan intim dengannya. Menurut Freud, hal ini disebabkan oleh kemiripan istri seseorang dengan lingkungan adik perempuan dan ibunya, sehingga Cinta kepada mereka tidak lagi memiliki perasaan seksual seperti perasaannya kepada selingkuhannya. Menurut Singer, laki-laki itu tetap memiliki Cinta dalam level yang berbeda kepada istri dan selingkuhannya.

 3. Filsafat Cinta Schopenhauer & Nietzsche (dan Hume)

Singer membedakan dua pemikir ini sebagai pihak yang berlawanan dalam filsafat cinta. Schopenhauer berpendapat bahwa seseorang harus menolak dan melawan sang “Keinginan Alam” (the Will). Keinginan ini memanipulasi manusia untuk berhubungan seksual hanya untuk melanggengkan spesiesnya. Cinta dalam perkawinan sesungguhnya adalah hasil manipulasi alam dan bukan Cinta yang sesungguhnya. Cinta, bagi Schopenhauer, adalah “a device for getting the right man and woman to have sexual intercourse that will bring about the next generation” (66). Keberhasilan manusia dalam hidup adalah ketika dia berhasil menolak Keinginan. Ketika orang menikah, kebahagiaan mereka akan hilang karena sesungguhnya Cinta mereka adalah ilusi yang diatur oleh Keinginan (69). Cara untuk memeroleh cinta dan mengalahkan “the Will” adalah dengan memiliki Cinta Pendamping (Companiate Love), yaitu Cinta adalah soal memilih pendamping hidupnya, dan kebahagiaan terbesar akan diperoleh ketika seseorang berhasil memilikinya. Hume, seperti Schopenhauer, membedakan dua jenis cinta: seksual dan pendamping. Dia menyerahkan keputusan untuk memilih yang terbaik bagi dirinya kepada masing-masing orang.

Pandangan pesimis Schopenhauer ini kemudian diambil alih juga oleh Freud.

Nietzsche memilih sebaliknya. Menurutnya keinginan dasar dari manusia adalah keinginan untuk berkuasa. Manusia justru harus merangkul keinginan dasar ini sehingga bisa menjadi übermensch. Übermensch adalah orang yang menuruti keinginannya melalui cara yang kreatif. Meskipun demikian, Nietzsche masih memandang cinta secara sinis. Berikut adalah beberapa kutipan pandangan Nietzsche tentang cinta:

Love is a state in which a man sees things most decidedly as they are not.” (The Antichrist, Sec. 23)

What else is love but understanding and rejoicing that another lives, works, and feels in a different and opposite way to ourselves? That love may be able to bridge over the contrasts by joys, we must not remove or deny those contrasts. Even self-love presupposes an irreconcilable duality (or plurality) in one person (Human, All Too Human, Sec. 75, “Love and Duality”).

It is true we love life; not because we are used to living, but because we are used to loving. There is always some madness in love. But there is always, also, some method in madness (Thus Spoke Zarathustra, “On Reading and Writing”).

4. Filsafat Cinta Singer

Pengertian apa yang Singer ajukan mengenai Cinta? Dia memulainya dengan berbagai definisi karena dia sendiri tahu bahwa tidak ada jawaban mudah untuk menjawabnya. Dia mengajukan bahwa Cinta “menyukai” dan “menginginkan secara seksual” harus dibedakan. Cinta harusnya dapat menciptakan nilai-nilai baru (bestowal). Cinta juga adalah soal keterikatan yang mandiri dan bukan ketergantungan akan yang lain. Cinta adalah soal menerima yang lain (seperti konsep Sartre, h. 91). Berbagi adalah soal membuka diri dan membaginya kepada orang lain. Cinta memiliki berbagai tipe, namun tidak ada jenis cinta yang lebih utama dari lainnya. Cinta juga tidak selalu memiliki motif seksual seperti yang Freud katakan.

 

Penutup

Filsafat cinta Singer tentunya sangat dipengaruhi oleh Konteks Barat. Buku ini menggambarkan secara singkat apa yang ditulisnya dalam Triloginya, karena siapapun yang ingin mengetahui argumen yang lebih lengkap harus membaca ketiga buku tersebut.

Kekuatan. Buku ini menawarkan pendahuluan yang luas dan ringkas mengenai filsafat cinta dengan istilah-istilah yang menolong kita memahami batas-batas diskusi kita. Dia juga membantu kita mengenali paham beberapa filosof yang nantinya akan kita bahas ke depan.

Kelemahan. Pandangan Singer mungkin akan bertentangan dengan pemikiran teologis tentang cinta, misalnya Spinoza dan Kierkegaard. Penolakannya akan penyatuan dua individu menjadi satu pasti akan membawa masalah bagi mereka yang percaya akan laki-laki dan perempuan yang menjadi satu daging (Kej. 2:24).

Singer menolak untuk menawarkan definisi tunggal yang pada akhirnya juga tetap meninggalkan kekosongan mengenai apa kriteria dari cinta.

 

[1] Nussbaum menyatakan, “The choice between one potential love and another can feel, and be, like a choice of a way of life, a decision to dedicate oneself to these values rather than these”; liking clearly does not have this sort of “depth.” Kedalaman seperti ini bisa membedakan antara “cinta” dan “suka,” M. Nussbaum, “Love and the Individual: Romantic Rightness and Platonic Aspiration”, dalam Love’s Knowledge: Essays on Philosophy and Literature (Oxford: Oxford University Press, 1990), 328.

Viewed 25378 times by 9610 viewers

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *