SUPAYA AKU MENGERTI

logo diesRANCANGAN KHOTBAH DIES NATALIS KE-80 STT JAKARTA “ZIARAH BERAGAM RASA”

“SUPAYA AKU MENGERTI”

Bacaan I :                   Nehemia 8:1-13

Bacaan Antara:          Mazmur 119:105-112

Bacaan II :                  Kisah Para Rasul 8:26-40

 

Penjelasan teks

Nehemia hadir bersamaan dengan Ezra pada masa yang luar biasa dalam sejarah Israel. Pada + 587 sM, penduduk Yehuda baru saja dibuang ke Babilon. Lalu pada + 538 sM, beberapa orang dikirim untuk membangun kembali bait Allah. Tiga tokoh berperan penting pada masa setelah ini, sekitar tahun 430 sM, yaitu Zerubabel yang membangun kembali bait Allah, Ezra yang membawa Taurat kembali ke Israel, dan Nehemia yang membangun tembok Yerusalem. Nehemia bertugas bukan hanya membangun kembali kota Yerusalem sebagai gubernur/kepala daerah selama 12 tahun (Neh. 8:9), dia juga bertugas untuk membangun kembali umat Israel. Raja Persia Artahsasta memberinya kuasa untuk membangun kembali tembok kota dalam 52 hari. Dia dimusuhi oleh tiga kelompok musuh, yaitu Sanbalat kepala orang Horoni, Tobia orang Amon, dan Gesyem orang Arab (lih. Neh. 2:19; 4:7 dsb.).

Peristiwa Nehemia 8 tercatat dilakukan pada hari pertama bulan yang ketujuh, pada tahun mereka menyelesaikan pembangunan tembok Yerusalem. Ezra datang ke Yerusalem tiga belas tahun sebelum Nehemia, berseru melawan kejahatan yang terjadi di sana (Ezr. 7:9). Kedua orang ini kemudian bekerja sama dan saling memahami. Ezra memimpin pembacaan kitab Taurat untuk pertama kalinya dilakukan di depan gerbang Air setelah tembok dibangun. Bulan ketujuh adalah waktu untuk berpesta, merayakan Hari Raya Pondok Daun.

Pada saat Firman Allah dibacakan kembali kepada umat, banyak orang yang kembali dari buangan mungkin tidak lagi begitu memahami bahasa Ibrani karena mereka bicara bahasa Aram. Mereka juga mungkin belum pernah melihat gulungan kitab Taurat. Karena itu, dalam proses pembacaan memakan waktu lama dan sepertinya ada ke-13 nama yang disebutkan pada Nehemia 8:7 bertugas untuk menerjemahkan dan/atau menjelaskan artinya kepada mereka. Kita bisa juga membayangkan bahwa ini adalah sebuah peristiwa baru yang dilakukan di hadapan sebuah generasi yang hanya mendengar tentang Allah dan karya penyelamatan-Nya terhadap nenek moyang mereka di tanah pembuangan.

Orang Israel yang kembali dari pembuangan ini merasa haus akan Firman Allah (band. Mzm. 119:105-112). Mereka meminta Ezra membacakan Taurat Allah kepada mereka. Ketika Ezra membuka kitab, seluruh umat berdiri lalu menyambut dengan “Amin, amin!” sambil mengangkat tangan, lalu berlutut dan sujud menyembah kepada TUHAN dengan muka sampai ke tanah.

Ezra adalah tokoh utama yang membacakan Taurat, lalu ketiga belas orang tersebut menjelaskan kepada orang-orang dalam kelompoknya. Setelah pembacaan dimengerti, umat menangis. Umat menangis karena mereka menyadari dan mengingat dosa mereka sebagai sebuah bangsa setelah mendengar pembacaan Taurat tersebut. Setelah itu, orang Lewi menyuruh mereka pergi dan bersukacita karena mereka telah mendengar firman dan memahaminya. Mereka juga disuruh untuk membagi-bagi makanan dan mengundang yang lain untuk berpesta.

Inti yang bisa kita tangkap dari cerita ini adalah bahwa orang Israel harus lebih dulu membaca Firman Allah (dalam hal ini dibacakan) untuk menyadari kesalahan mereka di masa lampau. Pengertian yang mereka terima datang dari penjelasan yang diberikan oleh Ezra dan kaum Lewi yang bertugas untuk menerangkannya kepada Israel.

Pada level personal, cerita sida-sida dari negeri Etiopia menunjukkan pola yang kurang lebih sama. Seorang kasim dari pembesar Etiopia (Αίθίοψ, aithiops = Afrika) yang pergi ke Yerusalem untuk beribadah adalah seorang yang kemungkinan besar tidak boleh masuk ke Bait Allah karena dia sudah dikebiri (lihat Ul. 23). Sida-sida ini membaca kitab Yesaya karena Taurat juga sudah lama masuk ke Etiopia. Menurut cerita, Ratu dari negeri Syeba mengunjungi Raja Salomo, kembali dan membawa kepercayaan Yahudi ke negaranya sehingga pengikutnya menjadi Yahudi. Israel pada saat ini memiliki 200,000 orang Yahudi yang berasal dari Etiopia. Dengan demikian, seorang dari Etiopia yang membaca kitab Yesaya bukanlah hal yang aneh karena dia telah lebih dulu mendengar tentang Taurat Allah, dan bisa jadi juga adalah seorang yang menganut agama Yahudi. Dan secara luar biasa, orang non-Yahudi pertama yang masuk dan dibaptis menjadi Kristen adalah orang Etiopia kulit hitam dan non-Yahudi. Ini menunjukkan bahwa keselamatan ditawarkan ke luar Yahudi, bahkan kepada bangsa-bangsa.

Ketika seorang pejabat yang sedang lewat di jalan sunyi, yang ingin mengenal Allah melalui pembacaan kitab Yesaya, Roh Kudus datang kepada Filipus. Filipus diminta untuk membantu sida-sida ini untuk memahami apa yang dibacanya. Respons sida-sida itu adalah, “Bagaimanakah aku dapat mengerti, kalau tidak ada yang membimbing aku?” Filipus kemudian menerangkan isi Yesaya 53 dan mengaitkannya dengan penderitaan Kristus sebagai Anak Allah. Melalui proses ini, sang sida-sida mengerti, mengalami perubahan hati, dan meminta untuk dibaptis dengan air oleh Filipus. Setelah perubahan, dia meneruskan perjalanan dengan sukacita dan menurut beberapa penafsir, pergi kembali ke Etiopia untuk mengabarkan injil di sana (meskipun ada juga yang mengatakan bahwa Matiuslah yang pertama kali mengabarkan Injil ke sana).

Ada sebuah proses yang hampir sama yang kita bisa temukan dari dua cerita berbeda ini. Proses ini dimulai dengan kerinduan untuk menemukan dan mendengar suara Allah. Israel merindukan pembacaan Taurat Allah yang hanya samar-samar mereka dengar di tanah pembuangan. Sida-sida dari Etiopia juga berusaha memahami kitab Yesaya karena dia telah mendengar, lalu berusaha memahami melalui pembacaan pribadi, namun tidak dapat memahaminya.

Kerinduan ini dilanjutkan dengan pembacaan Firman Allah, yang tidak segera dapat mereka mengerti dan pahami. Pembacaan Taurat kepada umat Israel di depan tembok Yerusalem yang baru dibangun membutuhkan penjelasan dari 13 orang Lewi. Pembacaan kitab Yesaya oleh sang sida-sida juga membutuhkan penjelasan dari Filipus. Mereka yang membaca Firman Allah memiliki keinginan untuk memahami apa yang Firman Allah hendak katakan kepada mereka. Mereka membaca, mereka ingin mengerti, namun belum bisa memahaminya. Mereka perlu bantuan orang lain untuk memahami Firman Allah.

Penjelasan ini tentu datang dari Roh Kudus. Setelah diberi penjelasan, mereka memahami sepenuhnya apa yang menjadi Firman Allah. Hasilnya hampir sama, mereka bersukacita. Bangsa Israel menangis dan menyadari kesalahannya, lalu merayakan pegertian mereka tentang firman Allah dengan berpesta. Sang sida-sida juga melanjutkan perjalanannya dengan sukacita.

 

Poin untuk direnungkan

  1. Umat Israel yang membaca Firman Allah tersebut tidak lagi menerima Taurat pada masa mereka. mereka adalah generasi ke-sekian yang menerima dan membaca sebuah perintah yang diberikan kepada pendahulu mereka. Sida-sida dari Etiopia juga berusaha memahami sebuah kitab dari sebuah tradisi yang dibawa orang lain ke tempat asalnya. Meskipun demikian, mereka tetap memiliki kerinduan untuk mengerti apa yang Tuhan hendak sampaikan kepada mereka. bagaimana cara kita memahami Firman yang terasa jauh dari tradisi kita, yang memiliki bahasa asing, yang hanya pernah kita dengar dari legenda dan cerita turun temurun? Langkah pertama yang harus dilakukan adalah proses membaca kembali dan keterbukaan untuk menanyakan apa sebenarnya arti Firman Allah tersebut bagi kehidupan kita. Ada vulnerability yang kita miliki setiap kali kita membaca Firman Allah, namun kita tetap harus membaca untuk mengetahui pesan Allah kepada kita.
  2. Pembacaan Firman Allah tidak membuat kita otomatis akan dapat memahaminya sepenuhnya. Semua orang harus terus belajar dengan kerinduan untuk berjalan, berziarah, sama-sama mencoba mengerti dan menafsir, namun masing-masing individu memiliki kesempatan untuk memiliki refleksinya sendiri. Tiap orang perlu memiliki keterbukaan untuk berdialog dengan yang lain, dan dengan demikian bisa memiliki pemahaman yang penuh bagi dirinya yang membawa sukacita, namun pada saat yang sama memahami bahwa orang lain pun memiliki pengertian yang belum tentu serupa.
  3. Dalam usianya yang ke-80, STT Jakarta telah mengalami perjalanan yang penuh dengan berbagai rasa. Kepelbagaian adalah kekuatan yang sejak dulu dibangun dan dibiasakan untuk terjadi dalam Kampus yang telah menelurkan banyak pemimpin gereja Indonesia ini. Dalam perjumpaan yang beragam, STT Jakarta terus menerus berusaha mencari makna dari Firman Allah untuk konteks kita masa kini. STT Jakarta berada dalam proses menjadi yang menuju kepada pemahaman Firman Allah yang mengubah, sambil pada saat yang sama menyadari keterbatasannya, dan selalu terbuka untuk berdialog dengan yang lain.

Viewed 25007 times by 4068 viewers

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *