Kemarahan di Dunia Social Media

Angry-keyKemaren saya menghadapi suatu hal yang sudah sering terjadi di media sosial, perdebatan mengenai hal yang menurut orang fakta mengenai keluarga saya, yang saya tolak kebenarannya. Menurut saya menarik juga bahwa ada orang yang lebih tahu mengenai keluarga kami, dan menggunakan bahasa yang sering keluarga kami dengar di tahun 1992-1998 dari penguasa waktu itu, bahwa kami keluarga PKI. Kami sering diancam akan dibunuh pada periode itu. Di satu sisi, saya bangga bahwa ada yang merasa lebih mengenal ompung saya lebih baik dari saya – artinya he is a man of interest. Informasi salah itu dihubungkan dengan ayah saya dan gerakan buruhnya, seolah-olah itu adalah fakta yang perlu dibeberkan untuk rekonsiliasi Indonesia (entah apa pengertiannya soal rekonsiliasi – mengingat saya mendalami topik ini dalam disertasi saya). Lalu sedihnya, hal itu dihubungkan dengan gerakan buruh masa kini yang katanya mirip gerakan PKI. Sepertinya masih banyak orang Indonesia yang alergi mendengar kata PKI – sehingga sesuatu yang menurut mereka tidak benar adalah gerakan PKI. Sementara itu, gerakan buruh adalah gerakan sosial yang lebih banyak berkiblat kepada negara-negara Eropa Barat, Amerika Serikat, Brazil, yang berasas demokrasi sosial (seperti Pancasila). Di negara-negara itulah gerakan buruh maju, dan merekalah yang mendukung kebebasan berorganisasi di Indonesia. Tetapi tiap orang toh berhak berpendapat. Saya tetap mengklarifikasi meski saya tahu perdebatan tidak akan ada gunanya, karena agenda yang dibawa oleh masing-masing pihak: saya ingin menyanggah; pihak lain ingin “memberikan pendidikan politik.” Semoga mereka yang ingin memberi pendidikan politik adalah orang yang tahu apa arti kata “politik” dan perdebatan filosofis panjang di balik kata itu, bukan hanya apa kata pimpinan mereka mengenai politik kepentingannya.

Namun, ada masalah yang lebih menarik perhatian saya. Bukan perdebatan di twitter yang saya ungkap di atas dengan salah satu tim media pemenangan kandidat tertentu – yang belum tentu juga tidak saya dukung – yang membuat saya jadi merenung. Pertanyaan saya adalah: kenapa semakin banyak manusia pemarah yang muncul di socmed? Apakah mereka muncul karena mereka selalu ditekan di dunia nyata? Jika ya, maka mereka sebenarnya adalah orang-orang yang perlu dihibur. Saya sendiri sudah pernah berkhotbah soal hal ini tahun lalu: Kemarahan di dunia social media.

Di dunia social media, orang cenderung mengeluarkan pendapat tanpa pikiran yang jernih lagi, seperti pelepasan stress kepada orang lain. Jumlah orang yang berani karena mereka bisa bersuara tanpa wajah semakin meningkat. Keterputusan manusia dari hubungan interpersonal membuatnya tak bisa lagi mengontrol emosinya di social media. Semakin banyak informasi yang diketahui orang mengenai diri seseorang membuatnya “mengurangi rasa marahnya,”  dan semakin anonim diri seseorang membuatnya semakin merasa bebas untuk mengeluarkan komentar sesuka hatinya. Hal ini menguatkan analisis saya bahwa orang yang menggunakan akun twitter yang lebih bersifat anonim menjadi lebih pemarah daripada mereka yang menggunakan facebook.

Semakin banyaknya tim media dan troll internet yang dibiayai untuk menjalankan informasi pesanan juga memperkeruh suasana. Menjelang pemilu, semua kandidat yang menyadari pentingnya dunia social media mempersiapkan timnya masing-masing. Mereka saling menyerang, memfitnah, menyikut, dengan tuduhan vulgar tanpa filter lagi. Yang menjadi korban adalah orang yang tidak ikutan namun tersangkut demi sensasi rating dan follower. Orang yang tidak cukup mampu memfilter informasi pasti akan percaya begitu saja, karena dia juga tidak punya keinginan untuk memverifikasi informasi tersebut.

Mereka yang tak memiliki kemampuan filter ini jugalah yang biasanya selalu mendapat tekanan dalam dunia nyata. Mereka ini memiliki sedikit teman, sedikit waktu untuk bersosialisasi dengan dunia luar, dan merasa dirinya berada dalam tekanan tinggi. Mereka marah terhadap keadaan yang ada di sekitar mereka, namun tidak tahu bagaimana melepaskan kemarahan tersebut. Penelitian mengatakan orang seperti itu hanya akan jadi lebih marah lagi. Social media menjadi salah satu cara pelepasan emosi yang mereka pikir menjadi solusi. Di rumah, di kantor, di dunia sosial, mereka tidak didengarkan; namun di dunia maya, mereka punya audience dan bebas bersuara. Sayangnya, mereka salah jika mengira mereka akan terhibur karena sudah melampiaskan kemarahan mereka kepada orang lain. Rasa marah tidak bisa dipadamkan hanya dengan melampiaskan kepada orang lain yang juga anonim baginya. Marah itu kemungkinan besar akan menular juga kepada orang lain. Pada akhirnya, kemarahan itu hanya kembali dan mengental dalam dirinya dan menjadi penyakit yang tak tersembuhkan. Tindakan marah-marah di social media tidak bisa menyembuhkan mereka yang mencari perhatian dan ingin didengarkan.

Karena itu, kita harus merangkul mereka yang selalu melampiaskan kemarahannya di dunia social media, karena buat mereka, hanya di situ suaranya bisa disampaikan. Kita harus berempati kepada mereka. Bayangkan, suara yang mereka sampaikan dengan kemarahan juga belum tentu didengar oleh orang yang ditujunya, sehingga ujung-ujungnya dia justru jadi lebih marah lagi.

Kasih harus melampaui batas kemarahan di balik layar monitor. Inilah pesan kasih di dunia social media. Jika ada yang memakimu tanpa sebab di social media, ampuni dia, sebab dia mencari pelepasan dari beban hidupnya di dunia nyata. Ingat, bahwa mereka adalah orang-orang yang ingin dikasihi, namun mereka menunjukkan permintaan mereka akan perhatian dari yang lain dengan cara yang berbeda dengan kita. Mereka marah untuk mencari perhatian dan jawaban. Cara terbaik untuk menghadapinya adalah bertatap muka melampaui monitor yang ada di hadapan kita. Makanya saya selalu mengajak mereka yang marah untuk bertemu, supaya mereka tahu bahwa dia juga dihargai di dunia nyata, sehingga kemarahannya di dunia social media bisa berkurang.

Kasih yang ingin dimiliki Sang Maha Kuasa melampaui kemarahan yang meluap dalam dirinya. Kasih harus kita beri kepada mereka yang menyerang kita. Banyak mereka yang marah di social media adalah orang-orang decent, baik, berkeluarga, dengan tekanan kehidupan yang mereka rasa berada di luar kontrol mereka. Kalau kita mengasihi mereka, mereka akan sadar bahwa kemarahan pun bisa dibalas dengan kebaikan. Dengan kebaikan mereka akan sadar bahwa masih ada yang mengasihi mereka, bahkan dengan kebencian yang meluap dalam mereka. Dengan kesadaran ini, semoga mereka juga jadi bisa mengasihi diri sendiri, dan bisa mengasihi sesama seperti dirinya sendiri.

Alangkah damainya dunia kalau kasih juga beredar di dunia socmed, beretiket, mengeluarkan argumen tanpa kekerasan verbal :)

Viewed 91726 times by 11672 viewers

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *