Belajar Memilah dan Memilih Informasi yang Benar

truth the BELAJAR MEMILAH DAN MEMILIH INFORMASI YANG BENAR

Binsar J. Pakpahan[1]

(File dalam bentuk pdf bisa diunduh di sini)

Beberapa fenomena yang terjadi belakangan ini:

– Fenomena foto yang menjadi viral (terkenal dengan cepat online) sebuah kejadian dipakai untuk menyalahkan pihak lain, yang tidak ada hubungannya dengan foto tersebut (klik untuk foto seorang anak korban perang Siria yang tidur di makam orangtuanya).

– Fenomena gosip tsunami yang membuat banyak orang khawatir dan situasi jadi tidak terkendali.(klik untuk video contoh akibat berita palsu mengenai tsunami di Cebu)

– Berita mengenai seseorang yang terkenal melakukan hal yang aneh (klik berita Gus Dur masuk Kristen)

Pertanyaannya: Apakah Anda yakin bahwa berita yang Anda baca benar? Dari mana Anda tahu bahwa berita yang Anda percayai adalah benar?

Belakangan ini, berkat semakin bebas dan derasnya arus informasi, kita bisa membaca semua hal yang kita inginkan dari internet. Berangkat dari pengamatan, banyak sekali informasi yang tidak benar namun disetujui oleh khalayak banyak, dan ada informasi yang benar namun terlalu tidak menarik sehingga tidak disukai oleh yang lain. Bagaimana kita bisa memilah informasi yang benar dari yang kurang benar? Berangkat dari pertanyaan ini, saya mau mencoba memberi panduan mengenai beberapa kriteria. Tulisan ini saya buat dengan tidak menggunakan catatan kaki agar lebih mudah dibaca, namun mencantumkan beberapa sumber bacaan untuk mengetahui mengenai topik ini lebih lanjut.

Namun, sebelum anda membaca lebih lanjut, saya akan menyampaikan teaser berupa tips yang merupakan kesimpulan dari artikel ini, yaitu tips bagaimana memilah informasi:

1.       Apakah informasi itu dibuktikan dengan sumber-sumber (empiris) yang jelas?

Jika jawabannya adalah ya, lanjut ke pertanyaan 2, jika tidak, maka anda boleh berhenti di sini. Informasi yang anda terima hanya gosip atau teori konspirasi (lihat penjelasan di bawah). Jika anda memilih berdasarkan iman, maka informasi itu menjadi benar karena iman anda mengatakan itu benar, bukan karena informasi itu benar.

2.       Apakah informasi itu disampaikan secara rasional dan logis?

Jika jawabannya adalah ya, lanjut ke pertanyaan 3, jika tidak, anda masih bisa melihat poin di bawah, namun harus mempertanyakan motif orang yang menyampaikannya. Contoh alasan rasional: “Ini bukti saya, mana bukti anda?” Sementara contoh alasan irasional: “Buktikan saya salah (tanpa menyertakan bukti empirisnya sendiri)!”

3.       Apakah informasi itu disampaikan oleh orang yang terpercaya?

Jika informasi disampaikan secara anonim, tetapi bukti yang disampaikan adalah hard evidence (lihat apa yang dimaksud dengan bukti empiris di bawah) yang terbukti secara rasional, maka penyampai informasi itu termasuk jenis whistle blower.

Apabila anda tertarik dengan diskusi ini, sila baca lebih lanjut.

 

A. Apa itu Kebenaran? – Telaah Filosofis Singkat

Pertanyaan apa itu informasi yang benar adalah masalah sumber pengetahuan (epistemologis) yang segera terbagi menjadi dua: (1) apa itu informasi yang benar, dan (2) apakah kita bisa memeroleh informasi yang benar.

1.       Cabang pertama mengenai apa itu informasi yang benar adalah pertanyaan soal, apa yang kita maksud dengan “benar”?

(a)    Seseorang bisa saja mengatakan bahwa informasi yang benar bisa diperoleh karena hal itu dibenarkan oleh suatu lembaga atau institusi yang kita percayai (i.e. Pernyataan bumi itu rata dulu dibenarkan oleh Gereja) (justified epistemology). Jenis kebenaran ini segera dibagi menjadi institusi internal atau eksternal sang subjek sendiri.

(b)   Selanjutnya, kita juga bisa mempercayai informasi yang benar sesuatu karena hal itu benar-benar tejadi (i.e. Gereja menjadi agama resmi kekaisaran Romawi di abad ke-4) (true epistemology).

(c)    Lalu kita juga bisa mempercayai suatu informasi berdasarkan iman meskipun tidak dibenarkan oleh siapapun (i.e. Istri saya tercantik di dunia adalah kebenaran saya) (beliefs epistemology).

2.       Cabang kedua dari pencarian informasi yang benar ini terkait kepada keraguan apakah mungkin informasi yang paling benar itu ada. Hal ini berhubungan dengan pemikiran bahwa “kebenaran” adalah hal yang sangat subjektif (tergantung siapa yang membacanya).

(a)    Ada yang mengatakan bahwa kita tidak akan mungkin bicara soal informasi yang paling benar karena makhluk yang tak benar tak akan bisa memahami kebenaran (skeptis).

(b)   Sementara orang yang percaya bahwa kita dapat memeroleh informasi yang benar terbagi menjadi jenis (b1) kebenaran relatif (bahwa kebenaran saya berbeda dengan kebenaranmu), (b2) kebenaran rasional (bahwa hal itu secara rasional mungkin terjadi), dan (b3) kebenaran empiris (kebenaran yang terbukti dari pengamatan).

Jika kita percaya bahwa “informasi yang benar” itu memang ada (cabang 2b), maka kita harus berusaha menjadi cerdas mengenai informasi yang akan kita pilih.

 

B. Sumber Informasi yang Benar

Penjelasan mengenai sumber kebenaran pertama kali adalah soal sumber kebenaran. Berikut adalah keterangan sumber-sumber informasi yang bisa membantu kita memilah informasi yang benar. Sumber informasi ini terbagi atas 2 hal: Sumber Otoritas dan Sumber Pembuktian.

Sumber Otoritas

1.       Siapa yang mengatakannya

Jika Anda memilih sebuah informasi menjadi benar karena orang atau institusi tertentu yang mengatakannya, maka anda masuk dalam kelompok ini. Kebenaran informasi yang disampaikan berdasarkan kepercayaan kepada yang menyampaikannya hampir sama dengan kepercayaan iman. Mereka yang ada dalam jenis ini umumnya tidak lagi mau percaya kepada sumber yang lain, bahkan cenderung menutup diri terhadap sumber lain (seperti kebenaran iman). Contoh, “Anda pasti salah karena pak Amir, warga terhormat itu, mengatakan anda salah.”

2.       Wahyu/sumber supranatural

Tak sedikit orang yang percaya kepada kebenaran Informasi karena hal itu dianggapnya datang dari sumber supranatural seperti Allah, mimpi, roh nenek moyang, dsb. Kebenaran Informasi jenis ini tentu menjadi sangat subjektif dan sulit dibuktikan dengan cara lain. Mereka yang percaya kepada kebenaran jenis ini akan menjadi fanatik terhadap Informasi yang diperolehnya – sama dengan poin 1. Contoh, “Nenek saya yang sudah meninggal mendatangi saya dalam mimpi dan menyuruh saya melakukan hal ini.”

3.       Perasaan  Saya Sendiri

Mereka yang ada dalam kelompok ini percaya kepada kebenaran sesuatu karena mereka ingin percaya akan hal itu. Sebuah Informasi menjadi benar karena saya memilihnya menjadi benar. Kebenaran menjadi sangat subjektif dan kadang tidak lagi rasional karena tidak dapat lagi didebat. Orang jenis ini biasanya memperkeras dirinya dan akan berhasil meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia benar, sementara seluruh dunia mengatakan dia salah. Contoh, “Buat saya kue ini paling enak.”

Sumber Pembuktian

4.       Bukti Empiris

Mereka yang meminta bukti adalah orang-orang yang baru mempercayai sebuah Informasi jika ada bukti yang dipresentasikan. Bukti yang dimaksud di sini tentu bukanlah bukti siapa yang mengatakan (poin 1) atau argumen yang rasional (poin 5), melainkan bukti hard evidence. Pengadilan akan meminta bukti fisik untuk menentukan Informasi yang benar. Jika tidak ada bukti, orang yang berada dalam kelompok ini akan mengabaikan semua argumen yang diajukan. Contohnya: “Darah warnanya merah.”

5.       Argumen yang rasional

Mereka yang berada pada kelompok ini percaya kepada kebenaran sebuah informasi karena ada argumen rasional yang disampaikan. Kebenaran informasi dinilai dari rasionalitas atau besarnya persentase kemungkinan hal itu benar-benar terjadi. Meskipun hal ini baik, tetap ada yang meragukan argumen seseorang jika tidak didukung oleh bukti otentik. Dalam poin ini, seseorang juga bisa menjadi benar karena dia jago berargumen. Contohnya: “Dengan begitu banyaknya jumlah bintang di angkasa, maka pastilah ada kehidupan lain di luar planet Bumi.”

6.       Pembuktian terbalik

Pembuktian terbalik digunakan untuk memeriksa kebenaran informasi yang tidak bisa dibuktikan secara empiris (poin 4) contohnya: karena saya tidak bisa menemukan bukti bahwa dia korupsi, maka dia harus membuktikan bahwa dia tidak korupsi. Dalam banyak hal, pembuktian terbalik tidak digunakan karena memaksa seseorang untuk membuktikan bahwa tidak menjadi apa yang dituduhkan kepadanya. Pembuktian terbalik banyak dipakai untuk mengejar nenek sihir di abad pertengahan (kalau anda tidak mati terbakar maka anda nenek sihir – padahal kalau terbakar dia bukan nenek sihir dan akhirnya mati juga) atau menjadi alat penguasa untuk meredam gejolak pemberontakan. Dalam kasus korupsi, pembuktian terbalik diminta jika ada indikasi korupsi (bahwa ada bukti empiris mereka memeroleh sesuatu yang tidak seharusnya dapat mereka peroleh). Contohnya: “Karena saya tidak bisa membuktikan bahwa anda tukang santet, anda harus membuktikan bahwa anda bukan tukang santet.”

 

C. Bagaimana Memilihnya?

Daripada menyajikan satu sumber Informasi yang paling benar, mari kita lihat beberapa kemungkinan di bawah ini:

1.       Kebenaran Informasi yang Menyesatkan

Kesesatan informasi bisa bermula dari orang yang memilih untuk percaya kepada “Siapa yang mengatakannya” (1) dan/atau “Perasaan saya sendiri” (3). Tidak ada gunanya berargumen dengan orang yang memilih kebenaran sumber informasinya berdasarkan siapa yang mengatakannya atau perasaannya sendiri. Apabila anda percaya kepada sebuah sumber informasi yang anonim, yang tidak menyajikan hard evidence, maka anda termasuk penyuka conspiracy theory. Menurut penelitian, 30% warga Amerika masih menganggap bahwa astronot Amerika tidak pernah pergi ke bulan, dan itu semua hanya teori konspirasi pemerintahan AS. Sulit untuk melawan mereka yang memegang prinsip ini. Bukti apapun yang diajukan untuk melawan informasi yang dia terima tidak akan berguna, karena dia cenderung menerima data tanpa mengolahnya. Sebenarnya tiap orang harus memeriksa siapa yang menyampaikan sebuah informasi, dan mengapa dia mengatakan demikian, dan apakah orang yang mengatakan itu betul-betul dia?

Contohnya:

  1. Hoax hadiah Telkomsel karena tidak diperiksa apakah yang mengatakan itu betul-betul telkomsel.
  2. Tidak ada perkosaan etnis tionghoa yang terjadi di tahun 1998  karena pemerintah mengatakannya, maka kita menutup mata terhadap bukti yang ada.
  3. Google meluncurkan peta harta karun di Google Map banyak orang yang percaya kepada Google mencoba keberadaan peta harta karun yang diluncurkan Google pada 1 April 2013, yang sebenarnya hanya merupakan lelucon.

2.       Kebenaran Informasi yang Diimani

Jika seseorang melandaskan informasinya berdasarkan wahyu atau sumber supranatural (poin 2) maka Informasi ini akan sulit dibantah jika orang tersebut sudah meyakinkan dirinya bahwa itu adalah sumber yang benar (poin 3). Mereka yang percaya kepada hal ini akan memiliki dua pilihan: meyakinkan orang lain mengenai kebenaran supranatural itu atau menyimpannya untuk diri sendiri tapi tetap percaya kepada kebenaran tersebut. Orang yang berusaha meyakinkan orang lain akan kebenaran ini sering disebut penyebaran kepercayaan (contohnya para orang yang menyebarkan kepercayaan religiusnya). Karena itu, kebenaran informasi iman tidak bisa dipaksakan kepada orang yang tidak mau mempercayainya. Saya tidak akan mempermasalahkan kebenaran jenis ini, karena saya juga masuk ke dalam tipe ini (percaya kepada kebenaran Ilahi). Cara menguji kebenaran informasi ini adalah dengan memeriksa kembali teks-teks keagamaan dan tafsir atasnya. Ini berhubungan erat dengan penelitian teologis yang saya geluti.

3.       Kebenaran Informasi yang Menyajikan Fakta

Jenis informasi yang paling terpercaya adalah yang disajikan dengan fakta empiris. Fakta yang disajikan adalah hard evidence dan bukan berdasarkan ucapan orang yang bisa dipercaya atau informasi supranatural. Hard evidence adalah bukti fisik yang tampil dalam berbagai rupa: dokumen sejarah yang diakui, bukti arkeologis, rumus matematika/fisika yang logis, pengamatan terdokumentasi, dll. Fakta ini harus diuji dengan argumen rasional. Dalam pengadilan, sebuah pembunuhan tidak akan dapat dibuktikan jika tidak ada jasad yang meninggal. Dalam dunia penelitian, semua informasi empiris pun harus diuji lagi kebenaran dan keabsahannya, misalnya bukti dalam bentuk mangkuk porselen cina yang diduga berasal dari abad ke-5, juga harus diuji apakah mangkuk itu memang berasal dari abad ke-5. Dalam dunia sosial, fakta ucapan seseorang harus diuji dengan pertanyaan: “Siapa yang mengatakannya?” “Mengapa dia mengatakan demikian?” “Kepada siapa dia mengatakannya?” dan “Apakah dia tetap konsisten terhadap perkataannya karena dirinya sendiri atau karena ada motif lain?” Hanya dengan melalui tahapan ini baru kita bisa mengatakan bahwa informasi itu adalah benar dan terverifikasi kebenarannya.

 

D. Bijaklah dalam Memilah dan Memilih Informasi

Berdasarkan penjelasan di atas, saya memberanikan diri menyusun beberapa pertanyaan penuntun bagaimana kita bisa memilah dan memilih kebenaran informasi. Langkah-langkah berikut hanya bisa dilakukan berdasarkan urutan yang saya sebutkan.

1.       Apakah informasi itu dibuktikan dengan sumber-sumber (empiris) yang jelas?

Jika jawabannya adalah ya, lanjut ke pertanyaan 2, jika tidak, maka anda boleh berhenti di sini. Informasi yang anda terima hanya gosip atau teori konspirasi (lihat penjelasan di atas). Jika anda memilih berdasarkan iman, maka informasi itu menjadi benar karena iman anda mengatakan itu benar, bukan karena informasi itu benar.

2.       Apakah informasi itu disampaikan secara rasional dan logis?

Jika jawabannya adalah ya, lanjut ke pertanyaan 3, jika tidak, anda masih bisa melihat poin di bawah, namun harus mempertanyakan motif yang menyampaikan informasi tersebut. Contoh alasan rasional: “Ini bukti (empiris) saya, mana bukti anda?” Alasan irasional: “Buktikan saya salah!” (tanpa menyertakan bukti empirisnya sendiri).

3.       Apakah informasi itu disampaikan oleh orang yang terpercaya?

Jika informasi disampaikan secara anonim, tetapi bukti yang disampaikan adalah hard evidence (lihat apa yang dimaksud dengan bukti empiris di bawah) yang terbukti secara rasional, maka penyampai informasi itu termasuk jenis whistle blower.

 

Jika semua pertanyaan di atas anda jawab dengan ya, maka anda boleh memilih untuk mempercayai informasi tersebut sebagai informasi yang benar.

 

Akhirnya, tulisan saya ini juga harus anda pilah dan pilih kebenarannya. Yang terpenting adalah, permohonan saya agar kita tidak menjadi malas dalam mencerdaskan diri sendiri memilah dan memilih informasi yang tepat. Kemalasan dan kekeraskepalaan sering menjadi penghalang diri kita sendiri untuk memilah dan memilih informasi yang benar. Selamat mencoba!

 

E. Sumber Bacaan Lebih Lanjut:

Allen, Diogenes. 1995. Philosophy for Understanding Theology (PUT). Georgia: John Knox Press.

Blackburn, Simon. Truth. London: Oxford University Press.

Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 1 dan 2 (SSFB). Yogyakarta: Kanisius.

Kenny, Anthony. 2010. A New History of Western Philosophy (ANHWP). Oxford: Clarendon Press.

Magnis-Suseno. Franz. 1991. Filsafat sebagai Ilmu Kritis (FSIK). Yogyakarta: Kanisius.

Marion, Jean-Luc. 1997. “Metaphysics and Phenomenology: a Summary for theologians” dalam Graham Ward (ed.), The Postmodern God. Malden, Massachusetts: Blackwell Publishers Inc.,: 279-296.

Rapar, Jan Hendrik. 1996. Pengantar Filsafat (PF). Yogyakarta: Kanisius.

Russel, Bertrand. 1945 (re-printed 2007). A History of Western Philosophy (AHWP). New York: Touchstone.

Schlesinger, George N. 1994. “Truth, Humility, and Philosopher” dalam Thomas V. Morris (eds.) God and the Pilosopher. New York: Oxford University Press.

Steiner, Rudolf. The Philosophy of Freedom.

Tjahjadi, S.P Lili. 2004. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius.



[1] Penulis adalah pendeta HKBP yang ditugaskan sebagai dosen tetap STT Jakarta untuk bidang Filsafat, Etika, dan Teologi Sosial. Dapat dihubungi di b.pakpahan@sttjakarta.ac.id, @binsarpakpahan, atau di http://binsarspeaks.net

Viewed 71331 times by 15292 viewers

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *