Tanggapan atas Buku “Seruan Bertobat”

Baca buku Seruan Bertobat dengan mengklik tulisan ini:

Tanggapan atas buku “Seruan Bertobat”

 Berkat masukan beberapa orang, saya merasa perlu untuk menulis tanggapan saya atas buku “Seruan Bertobat” karya 4 orang Pendeta HKBP (1 pensiun) dan 1 orang parhalado. Saya sendiri adalah seorang pendeta, masih muda, dan bertugas sekarang sebagai dosen di STT Jakarta. Tadinya saya pikir isi buku ini terlalu kecil dan simply nonsense untuk ditanggapi. Namun, melihat perkembangan yang terjadi, maka sebagai akademisi, pendeta, seseorang yang tidak berdiri di pihak manapun kecuali pihak Kristus dan gerejanya, dan jemaat HKBP yang perduli, maka saya memutuskan untuk menganalisis buku ini dengan lengkap dan menuliskan tanggapan saya. Saya bukan pendukung pemimpin sekarang dalam SG yang lalu, karena saya juga tidak punya kepentingan dan hak suara di sana. Saya juga tidak masuk ke struktur kepemimpinan apapun di HKBP, kecuali menjadi anggota BALITBANG HKBP di bawah kepemimpinan Pdt. Daniel TA Harahap. Dengan demikian saya bisa katakan bahwa komentar saya tidak memiliki dasar kepentingan apapun. Berikut saya paparkan analisis saya atas buku tersebut.

A. DESKRIPSI BUKU

Buku ini berdimensi 5.54×8.15 inchi, memiliki 3 hlm pengantar, 17 hlm isi, 15 hlm lampiran. Bagian isi buku terdiri dari:

I. Mau dibawa kemana HKBP?

I.1. Sinode Godang 2012.

I.2.Pasca Sinode Godang:

1.2.a. Penetapan Tahun Anak

1.2.b. Paskah Raya

1.2.c. Mutasi

1.2.d. Tertib Mutasi

1.2.e. Kebohongan

1.2.f. Otoriter-Emosional

1.2.g. Poda Jatidiri (Ajaran)

1.2.h. Benarkah Ephorus membawa perdamaian?

II. Solusi

II.1. Pertobatan

II.2. Minta Pertanggungjawaban

II.3. Sinode Godang HKBP

III. Harapan ke depan

III.1. HKBP harus konsisten dalam melaksanakan program.

III.2. Ada 3 masalah dasar HKBP: Mutasi, uang, dan periodisasi

III.3. Kemandirian

III.4. HKBP Bersatu utuh demi mengasihi

III.5. Penutup à “Mari Bertobat.”

Lalu bagian lampiran, berisi 15 halaman, yang tidak bisa diklarifikasi sumbernya, kebenaran, atau bukti hal-hal yang diucapkan di sini. Saya akan menjelaskan bagian ini lebih lanjut.

ANALISIS DAN TANGGAPAN

  1. Dari susunan buku ini, maka saya bisa menyimpulkan bahwa permasalahanan muncul, paling tidak bagi para penulis buku (mungkin bersama yang mendukung mereka), setelah Sinode Godang 2012.
  2. Protes mengenai pelaksanaan SG 2012 harusnya dihubungkan dengan protes pelaksanaan SG 2008, dan bahkan 2004, yang juga memiliki suasana serupa. Tidak ada perbedaan yang mencolok di antara penyelenggaraan ketiga SG tersebut, kecuali bahwa kepemimpinan terpilih 2012 berbeda dengan 2 SG sebelumnya. Penulis buku yang merupakan pendeta HKBP juga ikut serta dalam hal yang mereka kritik, yaitu desas desus tim sukses, pengaturan penginapan, dsb. Hal ini muncul karena sistem HKBP yang “demokratis” dan bukan “teokratis” (ALLAH yang memimpin). Kritik mengenai pelaksanaan SG HKBP sudah disampaikan oleh berbagai pihak untuk direvisi melalui Komisi Aturan Peraturan HKBP yang baru dibentuk oleh Ephorus sekarang.
  3. Permasalahan yang disinggung di bagian I.2.a. mengenai penetapan tahun anak bukan kritik substansial. Mengapa HKBP memilih tahun diakonia, tahun litbang, atau tahun lainnya? Saya rasa HKBP memilih karena ada kebutuhan di bidang itu.Penulis buku menanyakan, “Apakah tahun anak-anak ada dalam RIPP HKBP?” (h.7) Pertanyaan saya, siapa yang menulis RIPP HKBP? Bukankah pimpinan berhak menulis dan menentukan program kerjanya? Kalau pertanyaan adalah mengenai proses pemilihan tema, maka penulis buku ini harus menanyakan semua program HKBP yang menjadi crash-program, dan bukan hanya Tahun Anak. Dengan analisis ini, pertanyaan mengenai pemilihan Tahun Anak menjadi tidak valid.
  4. Masalah Paskah Raya di poin I.2.b., penulis menyebut, “Atas keputusan siapa Paskah Raya ini dilaksanakan? Rencana semula peserta dari luar kota disediakan hotel yang lumayan nyatanya disuruh menginap di rumah penduduk-penduduk…Bukankah kegiatan-kegiatan besar harusnya diputuskan di Sinode Godang?” (h.8). Pertanyaan ini jelas bertentangan dengan pengetahuan saya mengenai Aturan Peraturan HKBP, dan Petunjuk Pelaksanaannya. Pimpinan HKBP berhak melaksanakan program kerja yang bersifat hatopan tanpa harus melalui SG, mereka hanya harus mempertanggungjawabkannya ke HKBP. Lalu penulis melanjutkan, “Adakah tata ibadah HKBP tepuk tangan untuk Tuhan Yesus seperti yang dilakukan liturgis pada saat itu? Pertanyaan ini mengartikan bahwa penulis sangat mengenal apa yang dimaksud dengan HKBP dan punya bayangan sendiri mengenai apa itu ibadah HKBP. Kalau para penulis yang tinggal di Jakarta ini pergi ke beberapa gereja yang sudah menyelenggarakan “ibadah alternatif”, yang direkomendasikan HKBP melalui kepemimpinan yang lalu, maka mereka tidak akan memandang hal ini aneh, terlebih karena dia tidak resmi ada dalam tata ibadah dan hanya merupakan improvisasi sang liturgis. Protes mengenai tepuk tangan ini tidak ada hubungannya dengan poin pertama mengenai pelaksanaan Paskah Raya. Jadi kesimpulan saya, poin Paskah Raya ditulis sebagai pembuka untuk protes penulis buku yang sebenarnya, yang ada di halaman berikutnya.
  5. Poin I.2.c. dan I.2.d. adalah mengenai mutasi. Pada h. 9 ditulis, “Pendeta-pendeta ressort dipindahkan ke tempat lain dan diganti dengan pendeta-pendeta yang dekat dengan pimpinan” (h.9) adalah pernyataan munafik dan menutup mata atas faktar yang terjadi di kepengurusan pemimpin HKBP sebelumnya. Setiap pergantian kepemimpinan mengandaikan terjadinya mutasi, karena pimpinan HKBP berhak melakukan hal ini. Alih-alih mengusulkan perubahan sistem mutasi, protes penulis menjadi tidak masuk akal dan mengatakan “Hadirnya Pendeta Dr. SAE Nababan sebagai Pembina para Praeses di Samosir patut dipertanyakan. Demikian juga kehadirannya pada rapat-rapat pimpinan yang sangat strategis lainnya.” Inilah yang dinamakan mangangarati. Tidak ada sangkut paut poin mutasi dan kecurigaan akan hadirnya Pdt. (Em.) SAE Nababan, karena Ephorus JR Hutauruk juga hadir dalam berbagai kesempatan. Penulis juga menanyakan, “Kelihatannya HKBP terancam bahaya perpecahan lagi. Apakah itu yang kita inginkan?” (h. 10). Pernyataan ini justru menunjukkan bahwa penulis berusaha membangkitkan memori perpecahan untuk memecah. Ungkapan ini sama dengan pertanyaan seseorang yang mengancam, “Kalau bukan mauku yang jalan, maka kelihatannya HKBP akan terancam perpecahan lagi. Apa itu yang kita inginkan?” Tujuan penulis yang sebenarnya mulai terlihat di poin ini.
  6. Masalah tertib administrasi, hal ini memang perlu diperbaiki, sejak masa ephorus sebelumnya yang mengirimkan SK Mutasi tanpa persetujuan Sekjen. Sekjen memang bertugas untuk membatalkan SK dengan perintah Ephorus setelah rapat pimpinan.
  7. Mengenai poin kebohongan (I.2.e.), saya tidak punya data untuk mengomentari bagian ini.
  8. Bagian I.2.g mengenai poda jatidiri (ajaran) lebih menarik, karena dikatakan bahwa “Segera setelah pemilihan Ephorus Pdt. WTP Simarmata, MA dan Sekjen Pdt. Mori Sihombing, MTh langsung dikukuhkan (diupa-upa) dengan ritus ha-Batakhon yang berbau hasipelebeguan” (h. 13). Dari kalimat ini, saya justru meragukan pengetahuan teologi dan budaya yang dimiliki oleh penulis yang mengatakan bahwa ritus tersebut berbau hasipelebeguan. Hal ini bertentangan dengan konfessi HKBP yang menyatakan bahwa kebudayaan berasal dari Tuhan, dan ucapan selamat dari orang-orang terdekat bukan berarti mendahulukan habatakhon daripada pengukuhan gerejawi. Kedua hal ini tidak ada sangkut pautnya dan tidak saling bertentangan. Ungkapan seperti ini adalah sebuah refleksi teologis yang sangat dangkal dari mereka yang mengenyam pendidikan teologi.
  9. Pada h.14, penulis mengatakan “Pimpinan sekarang ini sangat banyak bekerjasama dengan Pdt. Dr. SAE Nababan (Emeritus). Tetapi dengan Ephorus (emeritus) lainnya tidak pernah.” Pernyataan ini adalah kampanya negatif terhadap kepemimpinan sekarang, karena ephorus lain selalu diundang dalam berbagai kesempatan, dan Pdt. Dr. JR Hutauruk juga sering hadir, bahkan istri dari Ephorus Pdt. J. Sihombing juga hadir dalam satu kesempatan open house acara tahun baru di rumah Ephorus. Kecurigaan saya pada penulis semakin meningkat, bahwa mereka justru ingin menaikkan isu perpecahan lagi sebagai ancaman agar keinginannya dipenuhi. Namun apa sesungguhnya keinginan mereka?
  10. Penulis buku menyerukan pertobatan. Pertobatan adalah kata yang mengandung makna sangat dalam, namun juga bisa diartikan secara luas. Pertobatan yang diinginkan adalah “SG 2012 yang cacat dan ternoda (martihas jala ramun) harus ditinggalkan, karena disana sudah terjadi perebutan kepemimpinan dengan memakai uang, fasilitas dan pengaruh dunia ini” (h. 16-17). Menurut saya, ini adalah panggilan yang kadaluarsa yang harusnya diserukan sejak pemilihan di SG 2004. Mengapa baru bersuara sekarang? Saya setuju dengan pernyataan “Mari kita adalah SG yang benar dan jujur, SG yang kudus, bebas dari pengaruh-pengaruh duniawi” (17). Ini harus dilaksanakan setiap saat, dan bukan hanya untuk mengkritik SG 2012.
  11. Tuduhan money politic (h.17-18) adalah tuduhan serius yang harus dilandasi bukti kuat. Namun, bukti dalam lampiran buku ini justru terkesan seperti tabloid murahan yang menampilkan foto dengan caption buatan sendiri, tanpa ada bukti lain seperti fotokopi kuitansi, surat, atau rekening. Jika terbukti benar, pimpinan sekarang harus mempertanggungjawabkannya. Namun demikian, kalau memang yang menyumbang sendiri sekarang berbalik menyerang pimpinan terpilih, maka pertanyaannya, mengapa orang yang menyumbang itu sekarang tidak lagi mendukung? Apakah sumbangannya harus diikuti dengan kepatuhan pimpinan kepada semua permintaannya? Tidak bisakah orang memberi tanpa mengharap, apalagi untuk kebaikan bersama. Kalau sudah memberi lalu membuka aib dirinya sendiri karena tidak disetujui kemauannya, bukankah ini lebih kanak-kanak daripada orang yang bersikap tegas demi kebaikan, bahkan terhadap mereka yang menolongnya?  Logika yang digunakan oleh penulis buku “Seruan Bertobat” sangat buruk dan tidak masuk akal.
  12. Harapan penulis buku ini akhirnya kembali ke topik “Mutasi, uang, dan periodesasi” (h.19), dan tidak ada hubungannya dengan dua topik pertama (tahun anak, paskah raya, dan jatidiri HKBP) yang digunakan untuk mengantar tulisannya. Tim penulis memasukkan dua topik awal untuk menghaluskan tujuan penulisan buku ini yang sesungguhnya yaitu masalah mutasi, uang, dan periodesasi.
  13. Beberapa hal yang dituliskan mengenai saran perbaikan HKBP dalam h, 19-21 bukanlah hal baru dan sudah dibicarakan untuk dimasukkan dalam rencana perubahan Aturan Peraturan HKBP.
  14. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka saya menyimpulkan, dari kualitas tulisannya, dan cara memaparkan bukti yang mendukung tulisannya, buku ini terlihat amatir, layaknya tabloid murahan, bahkan kekanak-kanakan, seperti orang marah yang sedang mengirim sms marah (cuma agak panjang smsnya). Banyak sekali hal tidak masuk akal – atau terlalu tidak mungkin – untuk dijadikannya dasar membangun teori konspirasi.
  15. Saya merasa kasihan terhadap yang menulis buku, yang mungkin sudah sangat stress dan perlu digembalakan. Saya yakin ada juga beberapa orang lain yang mendorong tampilnya nama kelima orang penulis buku ini. Saya menduga, mereka pasti akan ditinggalkan kalau suasana berbalik melawan mereka.
  16. Saran saya kepada pimpinan HKBP, penulis buku ini perlu diminta mengklarifikasi tulisan mereka, lalu memberi penggembalaan kepada mereka apabila tuduhan mereka tidak terbukti benar.
  17. Sebagai sesama pendeta, saya merasa malu, karena tulisan seperti ini tidak perlu keluar untuk umum (meskipun mereka mencantumkan hanya untuk kalangan terbatas). Tulisan ini a) menunjukkan rendahnya kualitas argumen pendeta yang menulis buku ini; b) menunjukkan luka yang dalam, yang harusnya bisa disembuhkan oleh rekan-rekan pendeta yang lain; c) menunjukkan bahwa bekas konflik yang lalu memang masih ada dan setiap saat bisa ditampilkan oleh berbagai pihak untuk kepentingan mereka, kalau belum betul-betul disembuhkan; d) menunjukkan pemahaman teologis yang rendah dari para penulis mengenai habatakhon; e) menunjukkan dengan jelas bahwa permasalahan para pendeta (terutama yang menulis ini) hanya sekitar “mutasi, uang, dan periodesasi” sementara masih banyak masalah lain yang bisa kita pecahkan bersama demi kemajuan pelayanan HKBP untuk umat Tuhan dalam berbagai konteks jemaat sekarang ini.
  18. Mari semuanya bertobat, memfokuskan diri untuk pelayanan yang semakin excellent, mempersembahkan yang terbaik bagi Tuhan dan jemaatnya.

 

 

Demikianlah tanggapan ini saya tulis dengan hati yang sedih, semoga Tuhan membantu kita berdamai dengan diri sendiri, dengan Tuhan, dan dengan sesama kita.

 

13 Juli 2013

Pdt. Binsar J. Pakpahan

 

Viewed 48629 times by 8355 viewers

25 Comments

  1. Kalau saya menyebut buku itu koran kuning, seperti koran Lampu Hijau/Merah. Di media Elektronik, itu disebut Infotainment.

    Jadi kalau saya mau menulis buku seperti itu, begini (ini asli pengalaman percakapan dengan seorang Pendeta senior yang pernah menduduki jabatan strategis di HKBP; tetapi percakapan ini saat beliau pendeta diperbantukan di salah satu jemaat di HKBP):

    “Kok, tega yah pimpinan HKBP ini. Masakan, pendeta sesenior amang harus jadi pendeta diperbantukan. Padahal banyak Pendeta lebih muda dari amang bahkan saya jadi Pendeta resort di gereja-gereja yang besar dan punya staf pendeta pula.”, kata saya.

    Jawabnya, “Kalau kamu mau seperti mereka, begini caranya: buatlah pesta huria yang meriah dan undang pimpinan. Kasih merek ongkos besar-besar, maka kau akan diingatnya.”

    Artinya, kelakuan yang dikisahkan oleh para “Tim Pencari Fakta” (TPF)berlangsung di “Sinode Godang” (SG, itu juga terjadi dari para Pendeta di akar rumput (jemaat dan resort.

    Yesus sendiri melakukan praktek kolusi dan nepotisme sebagai satu metode penunjukan murid-muridnya.

    Praktek-praktek tersebut saya sebut sebagai “sogok” atau “gratifikasi” seperti istilah sekarang. Dan, saya menganggapnya sebagai suatu kewajaran belaka.

    Pertanyaannya, bukankah sikap saya itu disebut sebagai “Pembiaran” dan apakah sikap tersebut benar mengingat saya sebagai seorang Pendeta?

  2. Kok ga bisa komentar aku masuk, ya?

  3. rev thomson sinaga

    Minta share y bro…..

  4. ok bang, sila digunakan.

  5. Begitulah adanya bang Erwin. Memang masih begitu orang, tapi begitu kalah jadi marah-marah.

  6. pdt elisa tambunan

    Pdt Binsar: saya baru tahu ada terbit buku Seruan Bertobatt. Siapa sih para penulis buku tersebut? Boleh diberitahu? Thanks..

  7. alfonso hutagalung

    Go public bang
    HKBP Kebayoran Baru mendukung ompui Ephorus
    Penulis buku tidak lebih dari gerombolan hipokrit yang sakit hati

  8. huria i do pusat pelayanan…
    kalau kita memberikan hati untuk melayani di gereja di mana kita di tempatkan nggak ada waktu membuat buku seperti itu apalagi menjelek-jelekkan.
    tahobasi be ma angka huria i dohot denggan, ai disi do Tuhan i rap dohot hita, gok las ni roha…

  9. Saya sangat setuju dengan ulasan bapak, tulisan yang sangat tidak bermutu untuk status mereka sebagai pendeta dan seorang Sarjana Theologia.
    Issu yang mereka tuliskan sudah ada sejak tahun 2004 tetapi hingga saat ini tidak ada bukti nyata yang bisa diperlihatkan kepada kami warga jemaat HKBP.

  10. Setelah Membaca sekilas buku “seruan bertobat”, maka comment saya sbb :
    1. Sakit Hati & Provokatif
    2. Jangan Libatkan Jemaat dalam persoalan ini.
    3. “Bertobat” mari kita mulai dari diri sendiri.
    4. Coba Cek dimana dulu para penulis bertugas-apa beres administrasi Jemaat dan keuangan gereja( Dokumen Harus Tersimpan dalam 10 Tahun )-Sudahkah menggunakan Sofware Akuntasi Keuangan ? Ini bisa kita lihat dari sistim dan prosedur serta Formulir yang digunakan di Huria tersebut.
    5. Solusinya adalah : Amendemen AP Thn 2002-Libatkan Huria dan di Publish di website HKBP draftnya-agar semua mengetahui-tentu hemat biaya tanpa harus berkumpul di suatu tempat.

    Horas 3X

  11. setuju….pendapat pak Binsar.

  12. Buku seruan untuk bertobat saya dapat secara softcopy kurang lebih awal Juli 2013 dan ibu saya menerima hardcopy dalam minggu ke tiga Juli ini. Bagi saya buku ini salah Judul karena isinya adalah paparan tentang berbagai hal yang berkenaan tentang tata kelola organisasi HKBP yang sudah menjadi rahasia umum bagi jemaat HKBP, bukan hal baru, dimana sejak AP 2002 sudah mulai secara bertahap terlihat perbaikannya. Bagi saya buku ini judulnya seharusnya berjudul “Seruan Untuk Pembuktian”, karena masih banyak yang harus dibuktikan dalam buku ini. Apabila memahami AP HKBP, buku ini tidak selayaknya timbul karena tidak mewakili jemaat HKBP Manapun. Didalam AP HKBP dipaparkan jelas bahwa ujung tombak pelayanan adalah jemaat dan seluruh kegiatan jemaat ditentukan melalui mekanisme rapat jemaat termasuk pernyataan-pernyataan kepada distrik dan pimpinan pusat HKBP. Pada suatu kesempatan saya pernah mengungkapkan hal ini kepada Pdt.Mori Sihombing sebelum beliau menjadi sekjen HKBP. Jbatan Struktural dan jabatan Fungsional di HKBP masih belum dipahami secara utuh dan sesuai dengan AP HKBP. Disisi lain ada sementara jemaat yang menginginkan untuk dilakukan perubahan terhadap AP tersebut. Apapun yang dilakukan tentunya harus melalui mekanisme yang tersedia mulai di rapat jemaat sampai ke sinode godang. Karena itu saya berharap agar jemaat HKBP yang membaca buku ini tidak terpancing emosi sehingga melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan AP HKBP. Mohon titip pesan kepada badan LITBANG HKBP, pesan yang saya sampaikan juga kepada amang Pdt.Mori Sihombing, sudah selayaknya HKBP memulai pendidikan berkelanjutan, semacam sekolah staf dan komando di TNI, agar terjadi pemahaman yang sepadan diantara pelaksana pelayanan di gereja kita. Terima kasih dan semoga buku ini tidak membawa jemaat HKBP kepada perpecahan (Lagi?).

  13. Terima kasih amang, kami sudah memikirkan sistem kepangkatan dan pendidikan berjenjang untuk para pelayan, sehingga dengan adanya SOP, semua iri hati dan kecemburuan bisa diminamilisir. Hal pertama yang perlu dibenahi juga adalah spiritualitas HKBP, baik pelayan maupun jemaatnya, sehingga HKBP kembali kepada fitrahnya (meminjam istilah) yaitu sebagai gereja dan tubuh Kristus, bukan sebagai organisasi masyarakat :)

  14. Betul bang. Setuju sekali!

  15. Terima kasih untuk saran-sarannya amang, kami akan menindaklanjuti saran ini dalam BALITBANG HKBP.

  16. Betul amang, tulisannya memang menunjukkan kualitas yang rendah. Mari doakan untuk peningkatan kualitas dan mutu para pelayan.

  17. Keluhannya memang harus ditindaklanjuti, tapi media yang digunakan tidak tepat, dan cara melakukannya kekanak-kanakan. Banyak hal yang harus ditingkatkan dalam pelayanan di HKBP, bukan hanya urusan dapur pendeta (mutasi, uang, periodisasi) seperti kata para penulis buku ini.

  18. Jon Warif Sitorus

    Seketika setelah baca buku ini, tentunya sebagai jemaat HKBP saya miris.. Saran saya yang pertama ada baiknya untuk link download buku tersebut tidak perlu di-publish dan/atau dapat dihapus saja(mengingat kita masih gampang terprovokasi),, Kedua terkait kepemimpinan memang harus kita akui bila semakin tinggi tingkat kepemimpinan tentu meningkatkan kemungkinan penyalahgunaan kewenangan tersebut,, Kemudian bila memang benar terjadi praktek suap di SG 2012 sesuai yang dituliskan dalam buku tersebut, bukan berarti kita harus membiarkan hal yg menurut kita sudah “biasa” (kalau tidak sekarang kapan lagi mau berubahnya?) kita jangan mencari pembenaran bila mau berubah, tentunya bila memang tidak terbukti ada praktek suap ya dipidanakan saja yang membuat buku tersebut, tapi bila terbukti benar ya saya rasa ada prosedur di tingkat pusat HKBP untuk menangani hal tersebut.. Tentunya alangkah baiknya bisa segera diselesaikan masalah ini karena kami jemaat tentu berharap yang terbaik untuk HKBP… alangkah lebih bijak kita tidak “menjudge” pihak manapun di sini agar tidak ada yang namanya fitnah.. Di titik ini sebenarnya ditantang kredibilitas kita sebagai “HURIA” untuk bisa pada akhirnya mengatakan “ya” jika memang “ya” dan “tidak” untuk “tidak”.. Kami jemaat hanya berharap kemajuan untuk HKBP untuk tegas dalam mengambil sikap karena saya rasa kalimat “untuk kalangan terbatas” dalam buku itu saya rasa sudah tidak berlaku lagi karena sangat bebas untuk didownload di dunia maya..

    Horas ma di hita.

  19. Ferdinan Sitohang

    Ulasan yang sangat menarik, walaupun saya tidak membaca mengenai buku ini, namun saya ingin menyampaikan disini bahwa HKBP bukanlah sistem yang menganut kerajaan dan kekuasaan. Sebetulnya saya sedih dan teramat sedih karena banyak pendeta yang berkoar-koar memberikan khotbah mengenai keselamatan, kasih, pertobatan namun pada pelaksanaannya hanyalah bualan belaka, mereka lebih mementingkan kekuasaan dan jabatan. Seruan saya buat pendeta yang masih demikian adalah pertobatan. Sepertinya pendeta-pendeta yang haus akan kekuasaan, jabatan dan ego harus sadar dan bertobat bahwa tanggungjawab penggembalaan nantinya harus dipertanggungjawabkan dihadapan TUHAN, karena kekuasaan di dunia ini tidak ada gunanya nanti di akhirat

  20. Bagus sekali ulasannya, pak pendeta. Sangat mencerahkan (apalagi kalau yang disampaikan adalah jujur, jelas, dan jernih).

    Dengan segala kekurangannya dalam menuliskan “Seruan Bertobat”, paling tidak, ada yang bisa diartikan positif, yakni “keberanian” dalam menyampaikan pendapat (apalagi kalau kemudian bisa membuktikan semua yang disampaikan di dalamnya, jadi bukan sekadar menuduh alias fitnah …).

    Kalau sudah “kadung” begini, menurutku ‘nggak ada langkah lain yang harus dilakukan selain membenahi HKBP dengan kembali ke pengakuan bahwa HANYA Yesus Kristus sajalah yang layak dijadikan dasar dalam melakukan semua tindakan. Dibersihkan dari unsur-unsur yang mencemari, dan harus dilakukan oleh orang-orang yang pantas melakukannya, yakni yang juga jujur, jelas, dan jernih. Dan hasilnya bisa dibuktikan, paling lambat saat SG 2016 yang akan datang.

    Muak, sedih, prihatin, dan memalukan melihat dan mendengar kejijikan yang sudah lama terjadi di gereja HKBP.

    Horas jala gabe! Hobas ma hita pature hakabepe!

  21. Horas, amang pandita! Mohon izin untuk membuatkan link-nya ke blog-ku http://www.tanobato.wordpress.com supaya bisa juga dibaca para pengunjung untuk tulisan yang menarik dan berguna ini.
    Mauliate.

  22. Jenson F Sibarani

    Stelah membaca buku ini Dan Kalau isi buku ini Benar 100%. Berarti para pemimpin hkbp Sudah 100% berbohong pada semua jemaatnya, Kalau para pemimpin hkbp tidak jujur lg ini merupakan cikal bakal awal kehancuran hkbp 5 atau 10 Tahun kedepan, Oleh krn itu para pemimpin hkbp yg terhormat BERTOBATLAH

  23. Fransiska Htpea

    Saran Saya untuk pendeta-pendeta yang berkonflik, sebaiknya selesaikan dulu konflik masing-masing pribadi antarpendeta dalam hal ini kontestasi atau pemilihan Ephorus, lalu setelah itu baru melayani dan bertemu kami jemaat.

    Kalau saja konfliknya belum selesai, lebih baik tidak perlu berkotbah.
    Mungkin baru bisa berkotbah, itu saat ketika muda-mudi HKBP semakin muak lihat pendetanya karena hipokrit, itulah saat mereka pindah gereja atau memilih jalur atheis dan agnostik. Salam.

  24. Mohon doanya ya bu :)

  25. Ucok Pardoloksanggul (Pardosa)

    Uee tahe…. HKBP masa kini….. Kiranya Tuhan mendengar doa kita untuk kebaikan huria kita tersayang ini. Kalo melihat semua permasalahan di HKBP, ingin rasanya cari gereja lain. Tapi tak kuat hati ini pergi, sebab tata ibadahnya sudah melekat sejak lahir. Kemudian……, Ompungku adalah Guru Zending dan Bapakku adalah Pendeta Domines (jebolan Seminare Sipoholon Tahun 50-an) yang pada tahun 70-an terjungkal akibat KKN di HKBP saat itu (Usia saya baru 6 tahun). Kiranya Tuhan memberkati semua jemaat HKBP dan Pangula Huria-nya. Amen.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *