Dasar Negara Indonesia: Ketuhanan = Ya. Agama = Tidak!

Dalam masa kampanye terbuka menjelang Pemilu Indonesia bulan April nanti, banyak cara yang digunakan kelompok/orang untuk menjual diri/ide nya. Ada yang mempromosikan diri dengan ideologinya, atau dengan visinya untuk Indonesia, bahkan ada yang menawarkan gambar dirinya sendiri seperti orang ini!

Satu hal yang sensitif dan selalu laku untuk dijual adalah ideologi agama dan kepercayaan. Agama menjadi komoditas yang paling mudah untuk dijual karena beberapa faktor. Yang pertama adalah faktor umat yang pasti. Konstituen agama adalah pasti dan bukan massa mengambang. Kedua, faktor kurangnya pendidikan bagi umat membuat umat beragama tidak kritis terhadap suatu pandangan dan cenderung menuruti apa kata pemuka agama mereka. Taktik “mendekati raja untuk mendapatkan seluruh negeri” bisa digunakan di sini. Apabila anda berhasil menggaet seorang pemuka agama yang populer, maka popularitas anda bisa terdongkrak. Ketiga, lagi-lagi karena kurangnya pendidikan, menjual isu agama lebih popler dibandingkan visi kenegaraan. Orang masih lebih memilih partai tertentu karena “jaminan masuk surga” atau “kalau anda memilih partai ini maka agama kita akan jaya” daripada isu-isu seperti “menciptakan lapangan kerja” hingga “melindungi lingkungan hidup”.

Baru-baru ini ada sebuah diskusi hangat di milis PPI Amsterdam mengenai agama dan Tuhan. Saya jadi nimbrung dalam diskusi itu karena ada kesalahan logika dalam memandang dasar negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan agama.

Menilik Pembukaan UUD 1945 dan juga Pasal 29 UUD 1945, maka Indonesia adalah negara yang berdasar kepada Tuhan, atau Ketuhanan. Seorang teman diskusi saya mengatakan, “Nah kalo menurut UUD 45, justru politik dan agama tidak bisa dipisahkan, karena negara Indonesia berdasar atas Ketuhanan Yang MahaEsa (Pasal 29 ayat 1), jadi dalam penyelenggaraan dan peraturan2 negara, harus berdasar kepada Tuhan Yang Maha Esa, bukan yang lain.” Lebih lanjut dia juga menjelaskan, “kalau memang negara berdasarkan atas Tuhan Yang Maha Esa, maka aturan2 negarapun harus berdasar kepada Tuhan Yang Maha Esa, jadi adalah tidak benar bahwa urusan politik/negara harus dipisah dari urusan agama.”

Di sinilah letak kesalahan dari kebanyakan kita. Pembukaan UUD ‘45 menyebutkan kata “Ketuhanan”, dan “Allah” bukan agama! Fakta yang bisa kita lihat adalah, negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Logika terbaliknya adalah justru politik dan agama tidak bisa dipisahkan.

UUD 45 dalam bagian pembukaannya jelas mengatakan Ketuhanan Yang Maha Esa, lalu dielaborasi di batang tubuh pasal 29 pasal 1 bahwa Indonesia berdasarkan “Ketuhanan yang Maha Esa”. Kata “Ketuhanan” di sini sebenarnya ditujukan untuk mengakomodir kepercayaan yang tidak memiliki konsep Tuhan (bisa juga diartikan memiliki konsep Tuhan(s) jamak… atau tidak ada sama sekali seperti Buddha). Bagi yang berasal dari latar belakang agama Semit (Yahudi, Kristen, Islam) konsep Tuhan adalah jelas: Tunggal dan Esa. Sedikit agama monoteis lainnya yang memiliki konsep Tuhan yang seperti ini. Nah, karena itu para negarawan kita (bless them for their wisdom) memilih kata Ketuhanan. Jika kita mau selidik lagi arti Ketuhanan (yang sangat sulit diterjemahkan ke bahasa apapun) maka dia berasal dari kata “ke-Tuhan-an” . Singkatnya, yang memiliki sifat Tuhan.

Kemudian di pasal 29 ayat 2 dipaparkan bahwa negara menjamin kebebasan setiap orang untuk memeluk agama dan beribadat karena dasar negara yang percaya konsep Ketuhanan (meskipun di sini kita bisa juga berdebat tentang masalah bagaimana dengan kebebasan orang yang tidak mau memeluk agama tetapi percaya konsep Tuhan). Jadi, logika yang tepat adalah negara memberi kebebasan beragama karena negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan bukan agama yang menyebabkan Indonesia berdasarkan Ketuhanan.

Nah paparan saya ini membangun argumen saya ke arti kata agama yang sesungguhnya dari bahasa sanskrit, A gama = tidak kacau. Sementara Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan agama sebagai “ajaran, sistem yg mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kpd Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yg berhubungan dng pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.” Arti kata agama dalam KBBI adalah penjelasan yang dipengaruhi latar belakang agama Semit yang saya sebut di atas. Coba lihat KBBI mengartikan agama sebagai ajaran, sistem (saya artikan dengan institusi) kepada Tuhan Yang Mahakuasa (sementara dasar negara kita menyebutkan Ketuhanan Yang Mahaesa) serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia (norma dan etika).

Dari poin ini orang bisa menjadi terjebak dan mengatakan bahwa “Jadi kalau negara memang berdasar kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka acuannya adalah aturan2/sistem yang dibikin oleh Tuhan….kalau memang negara berdasarkan atas Tuhan Yang Maha Esa, maka aturan2 negarapun harus berdasar kepada Tuhan Yang Maha Esa, jadi adalah tidak benar bahwa urusan politik/negara harus dipisah dari urusan agama.”
Kata-kata “aturan yang dibikin oleh Tuhan” bisa menimbulkan perselisihan yang tak berujung dan tak ada gunanya. Orang akan bertanya, aturan apa? apa otoritas peraturan itu sehingga kita bisa bilang itu dari Tuhan? Tuhannya siapa? Bukannya perdebatan mengenai legitimasi ini juga telah memecah para pemeluk agama itu sendiri? Lihat saja sejarah peperangan atas nama Tuhan yang memakan korban lebih banyak dari total perang manapun di dunia ini.

Kembali saya tekankan bahwa tujuan awal saya adalah menjelaskan dan memberi argumen kalau “Agama” bukanlah “Tuhan”. Agama adalah institusi yang membawa kita semakin dekat dengan Tuhan. Ketika institusi ini dicampuradukkan logikanya dengan institusi lain, yaitu politik, yang terjadi adalah perselingkuhan logika, dan perputaran fakta untuk memilih sebuah institusi politik berdasarkan kedekatan sebuah institusi agama dengan Tuhan! Jadi Agama dan Tuhan tidaklah berada pada level yang sama. Makanya banyak orang memiliki cara yang berbeda (institusi) untuk menuju ke Tuhan. Bahkan dalam institusi agama itu sendiri banyak ruangan (baca: aliran) yang tidak bisa didamaikan dengan ruangan lainnya.

Agama adalah (memakai KBBI) ajaran dan sistem yang mengatur kepercayaan kepada Tuhan, dan bukan sistem yang dibuat oleh Tuhan. Agama adalah interpretasi manusia yang membuat sistem kepercayaan berdasarkan interpretasi mereka akan wahyu Tuhan terhadap mereka. Adalah benar bahwa berbicara tentang Tuhan tentu tidak lepas dengan bicara tentang bagaimana kita bisa kenal Tuhan (mayoritas akan bilang melalui agama, meskipun ada juga yang bilang lewat mimpi dan penampakan). Tetapi kata-kata negara harus berdasarkan agama tidak terdapat di dasar negara kita. Negara berdasarkan Ketuhanan. Dan sekali lagi, agama tidak sama dengan Tuhan dan mereka tidak ada di level yang sama.

Apabila anda menempatkan agama dan Tuhan pada level yang sama, alasan yang digunakan untuk menjual popularitas sebuah partai politik berdasarkan agama menjadi hal yang berbahaya.Coba lihat contoh di bawah ini,

Tesis a: Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Tesis b: Agama A membawa orang dekat kepada Tuhan
Tesis c: partai politik “ABC” berdasarkan agama A

Logika yang salah akan sampai kepada kesimpulan: “Partai ABC membawa orang dekat kepada Tuhan”; atau lebih parah lagi: “Yang tidak memilih Partai ABC tidak dekat dengan Tuhan.”

Saya tahu ada partai tertentu yang berkampanye dengan menggunakan logika ini di daerah pedesaaan di Indonesia. Saya mau mengatakan bahwa logika seperti ini salah kaprah dan cenderung menjadi selingkuh ideologi agama dan politik! Saya khawatir bahwa sebagian rakyat Indonesia yang gampang terbawa berita supranatural (batu ajaib, batu mujarab, menteri agama yang mencari harta karun) inilah yang akan terjerumus masuk ke logika yang salah yang saya sebut di atas.

Bijaklah memilih!

Viewed 14914 times by 5140 viewers

One Comment

  1. dan bukan agama yg menyelamatkan tapi iman….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *