BERSUARA MELAWAN KETIDAKADILAN

Cross from the movie the passion“We will have to repent in this generation not merely for the vitriolic words and actions of the bad people but for the appalling silence of the good people.” Martin Luther King Jr. A Letter from Birmingham Jail.

King menulis kegundahannya ini ketika dia berada di balik jeruji besi Birmingham karena dituduh aktif memobilisasi massa untuk menentang pemisahan hak kulit putih dan kulit hitam di Birmingham. Menurutnya, kejahatan terjadi bukan hanya karena ada kelompok kecil yang melakukan kesalahan, tetapi juga karena diamnya kelompok mayoritas atas tindak kejahatan tersebut.

Banyak mata, termasuk saya, menonton seolah tak percaya, bahwa pembongkaran gedung gereja HKBP Setu dilakukan oleh Satpol PP Kabupaten Bekasi. Dialog yang dilakukan oleh Pdt. Adven Nababan dan Pdt. Torang Simanjuntak dengan Ketua Satpol PP Kab. Bekasi, Komandan Daerah Militer Bekasi dan Kapolsek Bekasi untuk menunda pembongkaran HKBP Setu menemui jalan buntu. Pada Kamis, 21 Maret 2013, pkl 14.00, sebuah eskavator yang digunakan Pemda Bekasi merangsek masuk dan menghancurkan bangunan HKBP Setu. Tidak lama kemudian, bangunan gereja yang sedang direnovasi itu roboh ke tanah.

Setahun sesudah saya kembali dari studi ke Indonesia, saya melihat eskalasi sikap intoleran yang ditoleransi oleh bangsa ini. Peristiwa yang menimpa HKBP Setu hanya puncak dari serangkaian tindak kekerasan yang dilakukan semena-mena oleh pemerintah daerah di Bogor dan Bekasi. Bupati/Walikota setempat memilih untuk menuruti keinginan sekelompok kecil masyarakat intoleran dan mengorbankan kehidupan kerukunan umat beragama. Pemerintah atau aparat negara yang selama ini (sepengamatan saya) membiarkan kekerasan terjadi pada pemeluk agama tertentu, sekarang menjadi pelaku tindak kekerasan, dengan alasan tidak ada IMB.

Selembar surat Izin Mendirikan Bangunan menjadi senjata ampuh untuk menutup atau menghancurkan bangunan rumah ibadah yang sudah atau akan didirikan oleh umat beragama. Hebatnya lagi, proses berbelit yang berlindung di balik Peraturan Dua Menteri, seakan menjadi senjata ampuh untuk menolak penerbitan surat tersebut. Dengan logika IMB diperlukan untuk mendirikan rumah ibadah, maka mereka yang sudah memeroleh IMB untuk bangunan gerejanya seperti GKI Taman Yasmin harus dibuka. Tetapi, tampaknya IMB bukan masalah utamanya. Dia hanya digunakan sebagai alasan untuk menghalangi kebebasan beragama di Indonesia.

Seolah mendapat angin segar, kelompok intoleran langsung merajalela setelah HKBP Setu dibongkar. Gereja Katolik Damai di Tambora, Jakarta Barat, diganggu pada hari Sabtu 23 Maret dan GPdI di Sleman dilempar bom Molotov oleh kelompok tak dikenal. Rabu, 27 Maret, kelompok FPI di Bekasi juga meminta GKI Gembrong untuk menghentikan kegiatan ibadah mereka. Dalam 1 tahun terakhir, setelah gereja di Aceh Tenggara ditutup, GKI Taman Yasmin, HKBP Filadelfia, HKBP Setu, tidak sulit membayangkan bahwa sebentar lagi akan lebih banyak lagi gereja di Jawa Barat dan Banten yang akan ditutup.

Filadelfia Religious Freedom 2011 005Gereja bukanlah gedungnya. Penutupan gedung gereja bukanlah masalah, karena kita akan terus bertumbuh. Betul, gereja bukanlah gedungnya, melainkan orangnya. Kegundahan saya muncul bukan karena pembongkaran gedung gereja HKBP, yang notabene adalah gereja saya. Bukan. Rasa geram muncul karena pemerintah daerah sudah melakukan pembongkaran dan kekerasan terhadap kehidupan umat beragama. Pemerintah seolah-olah menjadi perpanjangan tangan kelompok kecil massa intoleran. Hal yang sama harus juga kita perdengarkan ketika ada Mesjid ditutup di Tapanuli Utara, Manado, atau Papua. Bukan penutupan gedung yang harus kita protes, tetapi ketidakadilan dan kekerasan yang justru dilakukan oleh pemerintah atas rakyatnya sendiri yang harus dilawan. Karena itu kita harus menunjukkan aksi bersama. Ketidakadilan harus dilawan. Kesewenang-wenangan pemerintah daerah dan pusat harus digugat. Doa-doa yang kita panjatkan sudah harus kita imbangi dengan aksi protes. Bersama dengan berbagai elemen bangsa, mari kita angkat suara, dan sampaikan hal itu kepada wakil rakyat.

Kenapa sekarang? Karena inilah waktu yang tepat untuk menyampaikan aspirasi dan keluhan kita atas kinerja buruk pemerintah yang menjadi penurut terhadap suara kelompok kecil kaum intoleran. Kehidupan dan tujuan politik sesaat membuat individu penguasa yang baik sebagai seorang manusia, menutup telinganya terhadap keluhan rakyat yang dipimpinnya. Kesibukan Presiden menangani partai politiknya membuat saya semakin yakin bahwa kehidupan umat beragama di Indonesia tidak akan didengar hanya melalui jalan biasa. Kita perlu bereaksi dengan luar biasa.

Kehancuran bangsa Indonesia berada di jalur yang tepat. Mediasi hukum yang tak berguna, media yang memihak, ke-tak-acuhan Presiden terhadap rakyatnya, dan kontrak politik penguasa daerah dengan kelompok preman berbaju agama, adalah resep untuk kehancuran hidup berbangsa. Kita harus menolong bangsa ini dengan memperdengarkan suara kita.

Perlawanan ini harus dilakukan bersama, dan bersifat jangka panjang. Kita harus akui, HKBP terbilang lebih lambat bergerak dibandingkan beberapa elemen-elemen bangsa yang lain yang sudah aktif dalam advokasi kasus-kasus serupa. Namun, meskipun terlambat, kita bisa bergerak sekarang. Karena itu, kami mengajak semua teman yang mau ikut untuk menyampaikan aspirasi dan meminta jaminan pemerintah untuk melindungi kebebasan beragama. Karena show off force sepertinya menjadi jalan normal di negara ini untuk menyampaikan pendapat supaya didengar, dan kita juga perlu menunjukkannya dengan damai. Hal ini bukan semata lahir dari kegeraman, tapi juga dari refleksi teologis.

Johann-Baptist-MetzPemikiran mengenai aksi ini lahir dari sebuah refleksi teologis. Jumat Agung (memoria passionis) dan kebangkitan Kristus (memoria ressurectionis) merupakan momen yang tepat untuk berefleksi atas berbagai peristiwa yang terjadi di bangsa Indonesia. Johann Baptist Metz, seorang teolog Katolik dari Jerman mengatakan bahwa inti dari teologi berasal dari ingatan yang menuntut kita, yang disebutnya sebagai dangerous memory. Dangerous memory adalah memori yang meminta kita untuk mengingat mereka yang menderita dan kemudian bertindak atasnya. Ingatan seperti ini akan menentukan ekklesiologi sebuah Gereja dan keterlibatannya di duna (Johann Baptist Metz 1980, 184). Ingatan ini juga bisa menjadi basis dalam peran gereja di dunia ini. Yang dimaksud dengan dangerous adalah,

Remembering the past can let dangerous thoughts arise and established society appears to be afraid of the subversive content of these memories. Remembering is one way to become detached from the ‘given facts’, a way which, for a brief moment, breaks through the almighty power of things as they are. Memory summons back to mind past screams as well as past hopes.

Ingatan dapat menjadi bahaya karena dengannya kita bisa melepaskan diri dari masa kini dan melihat apa yang telah terjadi dan menyadari kenapa masa kini terjadi, dan kemudian mengambil langkah untuk masa depan. Mengingat dapat menjadi sesuatu yang berbahaya ketika dia mengubah persepsi kita mengenai masa kini dan bertindak atasnya.

Ingatan fundamental orang Kristen adalah memoria passionis. Melalui memoria passionis kita mengingat kehidupan, penderitaan, kematian dan kebangkitan Kristus, dan bahwa Allah menjanjikan pembebasan dari semua penderitaan. Karena janji Allah, kita harus selalu memiliki harapan. Ingatan kita akan penderitaan, membawa kita kepada memoria resurrectionis. Metz menjelaskan, “The Christian memory of suffering is in its theological implications an anticipatory memory: it intends the anticipation of a particular future of man as a future for the suffering, the hopeless, the oppressed, the injured and the useless of the earth.”  Ingatan penderitaan akan membawa Gereja sebagai komunitas orang percaya untuk terlibat dalam praktik solidaritas bersama mereka yang menderita.

Solidaritas yang membawa harapan hanya dapat muncul ketika kita mengingat Allah. Metz menekankan,

“Cerita-cerita mengenai pembebasan dan harapan, cerita-cerita mengenai penderitaan dan penindasan, cerita-cerita mengenai perlawanan dan pemberontakan, ada di pusat dari pengertian kekristenan mengenai Allah. Mengingat dan bercerita adalah, karenanya, bukan hanya untuk hiburan; mereka adalah bentuk dasar bahasa Kristen mengenai Allah.”

Karena itu, solidaritas datang dari cerita mengenai Allah. Cerita ini kemudian menuntut kita untuk melakukan hal yang sama terhadap mereka yang sedang menderita. Atas dasar memoria passionis, orang Kristen tidak boleh diam atas ketidakadilan yang terjadi. Penderitaan harus diingat justru untuk membela mereka yang menderita.

Metz percaya bahwa tugas mengingat ini harus dilakukan dalam level komunitas, yaitu jemaat Kristen. Gereja adalah komunitas orang yang mengingat karena Gereja adalah “sebuah institusi individu dari kebebasan sosial-kritis,” “pembawa ingatan yang mengancam (dangerous) dalam proses modernisasi,” “sebuah komunitas ingatan dan narasi dalam pengikut Yesus, yang fokus kepada penderitaan orang lain, dan bicara mengenai sebuah Gereja yang penuh belas kasih.”  Gereja memegang peran penting dalam mengingat penderitaan dan akan mendorong umat percaya untuk membawa harapan kepada mereka yang menderita.

Gereja tidak boleh tuli dari suara penderitaan yang ada di konteksnya karena cerita ini bisa disandangkan dengan ingatan penderitaan Kristus di salib. Dengan mengatakan hal ini, Metz ingin memberi tempat mengingat bagi suara-suara yang tak terdengar dalam komunitas. Sementara itu, Martin Luther King Jr., mengatakan bahwa kita tidak boleh diam terhadap ketidakadilan. Kita harus mengingat dan bereaksi atas suara-suara mereka yang menderita dalam konflik. Sekarang, mari mengingat suara para korban ketidakadilan tindakan kekerasan oleh pemerintah dalam kehidupan beragama di Indonesia.

Aksi ibadah keprihatinan akan dilakukan dengan berjalan ke Gedung DPR/MPR untuk menyampaikan aspirasi bersama pada 8 April 2013, pkl 08.00 berangkat dari HKBP Sudirman. Kami meminta para pimpinan agama untuk ikut dan dan mengangkat kasus ini. Aksi ini juga bertujuan untuk menunjukkan bahwa kita sebagai orang Kristen juga punya hak sebagai warga, dan kita bisa menunjukkannya dengan damai tanpa kekerasan. Mari ikut dalam aksi ini sebagai pertanggungjawaban kita terhadap panggilan Kristus untuk mengingat mereka yang menderita.

Pdt. Binsar J. Pakpahan

 

Viewed 23910 times by 5244 viewers

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *