LOGIKA KEBLINGER

Filadelfia Religious Freedom 2011 005   Penetapan Palti Panjaitan, pimpinan jemaat HKBP Filadelfia sebagai tersangka oleh Polres Kabupaten Bekasi merupakan sebuah penggunaan logika yang keblinger. Laporan tindak penganiayaan ringan di malam Natal 2012 yang dimasukkan “korban” Abdul Aziz dari Forum Umat Islam adalah pemutarbalikan nalar. Hampir seluruh stasiun televisi nasional memperlihatkan bahwa jemaat HKBP Filadelfia disiram dengan air comberan dan kotoran binatang pada malam Natal itu. Entah Polres Bekasi yang tidak melaksanakan tugas penyelidikannya dengan baik, atau pemihakan yang sengaja dilakukan oleh badan yang harusnya melindungi dan melayani ini, bukti yang menunjukkan ketidakbersalahan Panjaitan bisa dilihat bertebaran di dunia maya. Bukan hanya itu, yang terjadi justru sebaliknya. Sekelompok orang terlihat dengan jelas di beberapa video youtube mengancam nyawa Panjaitan, baik dengan gerak tubuh atau suara di pengeras suara yang dipakai untuk mengganggu kebaktian yang dilakukan. Namun demikian, pada tanggal 22 Maret ini, Panjaitan akan dipanggil ke kantor Polres Bekasi untuk diperiksa sebagai tersangka.

Aristoteles sang filsuf, menggunakan teori deduktif pada silogismenya. Menurutnya, deduktifi adalah “Pembicaraan yang dalamnya, beberapa hal pasti telah diandaikan, sehingga sesuatu yang berbeda bisa hadir sebagai keharusan dari pengandaian sebelumnya” (Prior Analytics I.2). Model logika deduktif ini sangat dihormati oleh Immanuel Kant dan banyak diikuti oleh tradisi Arab dan tradisi berbahasa Latin abad pertengahan. Dari Aristoteles, kita banyak belajar mengenai penyimpulan. Teorinya yang umum adalah, jika pada premis mayor “Manusia adalah fana” dan premis minor “Aristoteles adalah manusia,” maka dapat disimpulkan bahwa “Aristoteles adalah fana.” Rumus ini dianggap sebagai pemikiran yang mencengangkan tentang cara menarik kesimpulan dari dua premis yang ada.

Dengan menggunakan teori Aristoteles, kita akan mengetahui bahwa pemeriksaan Panjaitan sebagai tersangka adalah sebuah kesalahan logika berpikir yang terlalu nyata untuk terlewatkan.

filadelfia maluPertama, mari kita coba simpulkan apa yang terjadi malam itu. Anggota Polres Bekasi hadir pada malam kejadian. Kita bisa melihatnya di rekaman kejadian tersebut, baik milik stasiun televisi maupun rekaman amatir. Tetapi “korban” memutuskan untuk melaporkan kejadian tersebut beberapa minggu setelahnya, dengan kesaksian anggota kelompoknya sendiri, tanpa hard evidence yang mendukung, atau visum luka yang dideritanya. Dua belas saksi dari kelompok Abdul Aziz mengaku melihat insiden penganiayaan tersebut. Berdasarkan pengaduan dan kesaksian, Panjaitan ditetapkan sebagai tersangka. Apabila kita menggunakan silogisme Aristoteles di sini, maka premis yang digunakan adalah “A mengaku telah dianiaya oleh B” dan “12 orang melihat A telah dianiaya oleh B” maka kesimpulan yang ditarik oleh polisi adalah bahwa “B telah menganiaya A.” Menurut Aristoteles, untuk sampai pada sebuah kesimpulan logika, premis mayor harus bersifat universal, dan istilah yang muncul sebagai objek di premis mayor harus menjadi subjek di premis minor. Karena pengakuan A tidak bersifat universal, maka dia tidak bisa dijadikan premis mayor, sehingga menggugurkan kesimpulan yang dihasilkannya. Pengakuan 12 orang tidak menjadikan keterangan A benar untuk menarik kesimpulan yang logis. Karena itu dalam pemeriksaan, polisi selalu membutuhkan bukti lain, dan ini tidak ditampilkan dalam pemeriksaan kasus ini. Tanpa bukti fisik dan penyelidikan lebih lanjut, sebuah pengaduan tidak dapat ditanggapi dengan penetapan seseorang sebagai tersangka.

Filadelfia Banner menolak HKBPDalam peristiwa ini, dua belas orang dari satu kelompok yang berniat menyerang Panjaitan, beramai-ramai bersaksi dan mengadukan Panjaitan sebagai penganiaya. Pengaduan ini mengandaikan keduabelas orang plus Abdul Aziz yang mendatangi Panjaitan – karena kecil kemungkinan Panjaitan berani menantang tiga belas orang – lalu karena merasa didesak, Panjaitan melakukan penganiayaan ringan terhadap Aziz, tanpa ada reaksi dari dua belas orang kelompok Aziz yang menyaksikannya.

Hal semacam ini hanya pernah terjadi di film kung fu di mana orang yang diserang sangat mahir dalam ilmu bela diri, sehingga dia dapat memukul mundur semua orang yang menyerangnya. Dalam film, kecil kemungkinan kelompok yang lebih banyak akan mengadukan penganiayaan karena itu berarti mengakui kehebatan seseorang yang diserangnya. Tetapi logika ini ternyata tidak berlaku dalam kasus Panjaitan. Pengaduan tetap disampaikan sebagai bagian dari kasus penyerangan di malam Natal 2012. Perlu dicatat, penyerangan di malam Natal itu sendiri tidak pernah diproses polisi.

Kedua, pengaduan ini ternyata ditanggapi dengan serius oleh pihak kepolisian. Dengan cara Polres Bekasi menanggapi kasus ini, maka kalau ada kelompok A yang tidak menyukai kelompok B, maka kelompok A hanya tinggal mengganggu dan menyerbu kelompok B, lalu melaporkan mereka ke polisi. Berdasarkan laporan kelompok A, kepolisian akan menetapkan kelompok B sebagai tersangka. Premis mayor “A tidak suka B” dan premis minor “A mengadukan B” yang berakhir pada kesimpulan “B bersalah,” adalah sebuah kesalahan penalaran dari semua segi.

Nalar yang sembarangan ini menunjukkan betapa mudahnya pihak kepolisian Bekasi menetapkan status tersangka kepada satu kelompok atas pengaduan kelompok yang lain. Apabila kepolisian memegang teguh asas penyidikan, kedua kelompok akan dipertemukan dan diperiksa sebagai saksi, seperti yang terjadi pada kasus penganiayaan selebriti seperti Nikita Mirzani dan Obilia Maesandy, atau Diego Michiels dan Meff Paripurna.

Proses normal yang harusnya dilalui dalam kasus apapun adalah pemanggilan semua pihak sebagai saksi dan memeriksa semua bukti yang ada. Bukti kasus Panjaitan sangat banyak terekam di internet, di mana cara ini juga sering digunakan oleh kepolisian dalam memeriksa kasus lainnya seperti kasus Anas Urbaningrum dan Muhammad Nazaruddin. Namun, entah karena ketidaktahuan akan keberadaan bukti yang lain, atau kepercayaan sepenuhnya terhadap pengaduan lisan pihak Aziz, alih-alih memeriksa sebagai saksi, Panjaitan langsung dinyatakan sebagai tersangka.

Kasus “membuat korban jadi tersangka” ini ternyata bukan yang pertama kali terjadi. Anggota GKI Yasmin di Bogor juga diadukan menganiaya Kepala Satpol PP Bambang Budiyanto pada Oktober 2011. Pengaduan ini kemudian tidak terbukti dan ditarik kembali.

Sementara itu, hal yang berbeda terjadi di kasus HKBP Ciketing pada tahun 2010. Pelaku penusukan anggota jemaat dan pemukulan terhadap Pendeta Luspida Simanjuntak dari HKBP Ciketing (tahun 2010) dikenai hukuman masa tahanan paling lama 7 bulan 15 hari. Dengan cara penanganan seperti ini, tidaklah mengejutkan kalau nanti ada pengaduan dan penetapan status tersangka terhadap anggota HKBP Setu yang juga ditutup oleh Pemda Bekasi berdasarkan Perda No. 7/1996 sejak 7 Maret 2013.

filadelfia058Desakan berbagai pihak atas ketegasan pemerintah pusat atas berbagai kasus intoleransi ini seperti angin berlalu. Toleransi Indonesia ternyata hanya berlaku bagi kaum intoleran. Martin Luther King Jr. pernah berkata bahwa kehancuran terjadi bukan karena kerasnya suara kaum ekstrimis, melainkan karena diamnya kaum moderat. Tidak ada yang bersuara mengenai eskalasi ketegangan antar umat beragama karena semakin kerasnya aksi kaum kanan belakangan ini. Beberapa kebaktian yang dilakukan di depan Istana Negara tidak memiliki pengaruh apapun. Presiden Yudhoyono sibuk mengurus Partai Demokrat yang terjerat berbagai kasus korupsi sambil menekan tombol auto pilot untuk kasus yang berkaitan dengan sikap intoleran ini. Sementara hal ini terjadi, Presiden terus menyatakan betapa tolerannya kehidupan umat beragama bangsa Indonesia kepada dunia luar. Dialog antar umat beragama di tingkat elit sebagai tanda kerukunan di Indonesia terus dilakukan, sementara benturan langsung di tingkat arus bawah di berbagai tempat diacuhkan.

filadelfia gusdur2Kalau logika keblinger kepolisian resort Bekasi pada kasus ini terus digunakan, maka kecil kemungkinan hukum dan keadilan akan ditegakkan di bumi Pancasila. Cara penyelidikan dan penanggapan pengaduan yang tidak profesional seperti ini akan membuat orang semakin tidak percaya kepada sistem hukum yang dibangun. Rakyat bahkan bisa jadi akan menjalankan penegakan “hukum”nya sendiri seperti yang sudah banyak terjadi pada kasus “main hakim sendiri.” Mari berharap, aparat Polres Bekasi akan kembali ke logika berpikir yang benar dan menegakkan kebenaran sehingga kasus ini bisa diselesaikan dengan baik dan damai.

Binsar J. Pakpahan. Pendeta HKBP. Dosen Filsafat dan Etika Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.

Viewed 20962 times by 5180 viewers

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *