Teologi, Teolog, dan STT Jakarta

Posted (binsar) in Opinion, Theology on February-13-2008
Dalam perbincangan dengan rekan mahasiswa ketika masih kuliah dulu, mereka mengeluh karena menjadi semakin jarang beribadah semenjak masuk STT Jakarta. Hati mereka menjadi guncang ketika sepertinya harus menentukan apakah mereka akan menjadi teolog atau pendeta. Entah pilihan ini sedang jadi trend atau bukan, kebimbangan ini dirasakan justru sesudah masuk STT. “Toh, STT Jakarta kan berfungsi melahirkan teolog, bukan pendeta” katanya. Sepertinya STT Jakarta berfungsi mencetak pemikir-pemikir tangguh dalam bidang teologi (baca: teolog), dan gerejalah yang mencetak pendeta. Pameo yang berkembang kemudian adalah, kita bisa belajar teologi tanpa mengimaninya. Teologi adalah ilmu, jadi kita tidak perlu menjadi seorang yang percaya untuk dapat mempelajarinya. Pertanyaan utamanya adalah apakah teologi dan iman bisa dipisahkan? Apakah seorang bisa menjadi teolog tanpa mengimaninya? Ini adalah sebuah perdebatan sepanjang masa yang masih hangat sampai saat ini.Apakah teologi itu? Banyak definisi tentang teologi. A. van de Beek, professor sistematika asal Belanda mengatakan bahwa teologi adalah menceritakan kembali bagaimana Allah bisa menyentuh hati manusia. Teologi tidak bercerita tentang apa yang engkau lakukan, melainkan bercerita tentang apa yang telah terjadi dan apa yang menyebabkan hal itu terjadi. Kita adalah subyek dari kalimat pasif Allah. Apakah yang disebut orang percaya? Menjadi percaya berarti telah disentuh oleh Allah, mengubah sikap dan gaya hidup menjadi hidup yang takut akan Allah, dan terbuka atas segala hal yang terjadi di sekeliling kita. Menceritakan bagaimana Allah menyentuh manusia mengandaikan bahwa kita juga percaya dan sudah disentuh oleh kisah itu. Kita tidak dapat menceritakan kisah Allah yang telah menyentuh kecuali kita juga telah disentuh.

Seorang teolog juga harus terbuka terhadap hal-hal yang datang kepada dirinya. Dia harus memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap segala sesuatu. Karena keterbukaannya, seorang teolog juga akan menjadi rentan. Sikap terbuka dan rentan ini diperlukan untuk menjaga kekritisan kita terhadap hal-hal di sekitar.

Seseorang yang tidak percaya juga bisa mempelajari cerita-cerita mengenai kasih Allah ini. Namun ketika dia tidak percaya, yang dia lakukan hanya mempelajari tentang ceritanya, belajar latar belakang cerita tersebut, mengenali sejarahnya, tanpa membiarkan cerita itu menyentuhnya. Dia tidak belajar mengenai bagaimana Allah bisa menyentuh orang-orang yang menceritakan kisahnya di dalam Alkitab, karena dia sendiri tidak pernah mengalaminya.

Alkitab adalah sumber utama untuk menjadi seorang teolog. Membaca Alkitab adalah hal yang paling utama yang harus dilakukan seorang teolog. Luther dan Calvin adalah tokoh reformator yang berusaha menekankan hal ini dengan lebih banyak mengacu kepada sumber Alkitab dalam tulisan-tulisan mereka. Firman Allah harus menyentuh pembacanya, karena Alkitab adalah kitab yang dapat membaca kita. Kesadaran akan konteks penulisan dan pengembangan Alkitab itu juga penting untuk mendapatkan makna yang sesungguhnya dari cerita tersebut. Alkitab bukanlah rumusan moral atau etika, melainkan cerita dan kesaksian orang-orang percaya mengenai perjumpaannya dengan Allah. Kesaksian di dalam Alkitab harus didialogkan dengan konteks kita, pengalaman kita sendiri, dan dengan seluruh tradisi orang-orang percaya. Sebuah jaringan hermeneutis dalam menafsir dibutuhkan untuk mengerti apa yang hendak dikatakan oleh teks tersebut.

Seorang teolog harus memiliki pengertian yang lebih mendalam tentang Allah dengan berani dihadapkan dengan pengalaman-pengalaman baru, dan mencoba memikirkan ulang ide-ide dan sikap mereka. Untuk tahu di mana posisi pemikiran kita yang sebenarnya, kita justru harus mendengarkan mereka yang tidak setuju dengan kita. Kita bisa mengetahui di mana kita dengan bercermin dari ujung yang lain dari pemikiran kita, mendengarkan, dan berdialog dengan mereka, lalu menjadi semakin diyakinkan akan kasih Allah. Karena itu tidak ada teolog yang berdiri statis, mereka selalu mengembangkan pemikirannya dan tidak jarang kelihatan seperti menentang sendiri pemikirannya yang terdahulu. Tidak ada bab yang selesai dibahas dalam teologi, semuanya selalu dibicarakan kembali dalam semangat baru.

Teolog harus menghubungkan dirinya ke gereja, karena Gereja adalah mempelai Kristus. Gereja adalah tubuh Kristus di mana terang kasihnya dibawa kepada seluruh manusia dan telah disucikan oleh Allah melalui Roh Kudus. Calvin menyebut Gereja sebagai ‘the external means or aids by which God invites us into the Society of Christ’. Manusia masih membutuhkan pertolongan dari luar dirinya untuk meningkatkan dan meneguhkan imannya, di sinilah Gereja berperan sebagai komunitas yang mengaku percaya. Teolog tidak dapat melepaskan dirinya dari Gereja sebagai orang yang telah disentuh oleh Allah dan perlu terus memperbarui pemikirannya dan Gereja membutuhkan teologi sebagai pemberi arah dan dialog dalam menjalankan misi Allah.

Saya tahu bahwa pemaparan yang saya berikan di atas bisa mengundang banyak pertanyaan bahkan penolakan. Teori yang menyatakan bahwa teologi tidak membutuhkan kacamata iman juga memiliki dasar logika yang kuat. Yang saya coba berikan hanyalah respon dari pernyataan itu. Kita bisa belajar teologi dengan membaca Alkitab sebagai sumber utama di dalam teologi. Kita bisa membaca Alkitab dan tahu pesan yang benar-benar ingin disampaikannya kalau kita juga “merasakannya” karena the bible reads you. Kita bisa merefleksikan kesaksian tersebut karena kita bersekutu dalam sebuah komunitas di mana kita bisa bercerita ulang mengenai bagaimana kisah tersebut juga menyentuh kita, mendengarkan cerita orang lain, dan berefleksi kembali akan pemikiran tersebut. Jika anda setuju dengan pemikiran saya maka mulailah baca Alkitab anda, dan jika tidak kita selalu bisa mendiskusikannya bersama.

Read More

Comments: vera on February 15th, 2008 at 9:16 am #

Yups,sebaiknya teolog menghubungkan dirinya dgn gereja,mesti balance antara orientasinya melayani/people oriented bukan hny meneliti,mempelajari atau sbg knowledge,ya jgn sampai jd spt ahli taurat,ahli taurat itu pasti jg menguasai kitab/ahli/pakar,makanya dibilang ahli taurat,yg sgt disayangkan tjd pd ahli taurat adalh di Matius 23.
Kita jg sbg org percaya bisa jd spt ahli taurat jika hidup kt ngak balance:membaca alkitab,merenungkn tp tdk melakukan,tdk balance dlm melayani dan touching people hearts.
Peace & luv all..

abuchanan on February 15th, 2008 at 11:46 am #

Well spoken. Cuma, banyak pakar Alkitab yang tidak mengaku percaya yang tetap bisa menyumbangkan pengamatan, ilmu dan pertanyaan yang berguna dalam batas tertentu (mungkin seperti seorang antropolog yang meneliti budaya asing, memandang dari luar). Yang tidak berguna adalah sikap gelisah–entah itu terhadap fundamentalis, liberal, pentakosta dsb. Biasanya gejala itu bukan dari orang yang mengaku tidak percaya tetapi dari orang percaya yang sepertinya pernah menjadi trauma. Sikap itu yang menghambat dialog dan saling belajar.
Saya rasa juga bahwa pendeta semestinya dianggap sebagai teolog. Bisakah pendeta memberitakan Alkitab tanpa berteologi? Bukankah pertanyaan jemaat diajukan pertama-tama kepada pendeta? Pemisahan antara teologi (yang “berilmu”) dan pastoralia (yang “praktis”) adalah salah satu warisan pasca-Pencerahan Barat yang mungkin tidak pernah sehat di gereja Barat, apalagi di Asia.
Thanks for your thoughts…

binsar on February 19th, 2008 at 6:54 pm #

Thanks abu.. saya rasa teolog tidak harus terbatas kepada pendeta atau para tokoh2 agama. semua orang bisa berbicara mengenai Tuhan dan membangun teologinya sendiri. Namun perlu pendidikan formal untuk bisa mempertanggungjawabkan teologinya secara akademis. Nah, orang yang bisa menelaah teologi secara akademis tidak selamanya menjadi pendeta atau tokoh agama. Gereja yang menguji para pendetanya untuk menyampaikan teologi yang masih berada dalam ajaran institusi mereka. Artinya orang yang menyumbangkan ilmunya terhadap ilmu teologi adalah mereka yang siap membedah dan menjelaskan apa teologi itu dalam sebuah cara yang sistematis dan akademis.

Saya setuju bahwa pemisahan sains teologi dan praktika teologi tidak baik untuk jemaat, namun dalam tatanan akademis hal ini mungkin lebih baik. Karenanya gereja punya kewajiban menyaring para pendetanya untuk tidak memisahkan kedua hal tersebut (meskipun lebih banyak fokus pada hal yang praktis).

Vera, terima kasih juga untuk pendapatnya. saya setuju!

Togar Silaban on February 21st, 2008 at 4:26 am #

Entah analogi ini relevan atau tidak..
Di olah raga ada yang namanya “playing captain”, ‘non playing captain”, dan pakar atau pengulas. Sejatinya pemainlah dan “playing captain” yang betul-betul tau bagaimana kesulitan dilapangan, mendrible dan mengolah bola hingga bisa menghasilkan gol (itu di sepakbola). Non-playing captain, biasanya bisa mengarahkan, tapi kemungkinan besar, kalau diminta main tidak bisa. Pengulas malah biasanya tidak bisa main samasekali.

Teolog, kalau penangkapan saya tidak salah dari tulisan diatas, sepertinya non-playing captain yang faham TENTANG, tapi belum tentu mengimani dan menjalani Alkitab. Masyarakat (jemaat) membutuhkan yang meneladani, tidak hanya yang sekedar menjelaskan TENTANG Alkitab.

Apakah betul di STT Jakarta, orang menjadi sekedar ahli TENTANG Alkitab ???. Kalau dari namanya, tidak salah sih jadi sekedar ahli, kan Sekolah Tinggi Teologi.

Tapi apakah itu tujuan STT?.

lambas siregar on February 26th, 2008 at 2:17 am #

teolog tanpa iman hanyalah seorang ilmuan dan tidak cocok sebagai pendeta. Karena tidak mungkin diharapkan teolog yang tidak sungguh-sunguh beriman menginjili,mengajar dan menggembalakan jemaat dengan baik. Sejarah membuktikan kemerosotan gereja di Eropa adalah karena peran teolog-teolog yang mempermainkan firman Tuhan seenak pikirannya(liberal). STT Jakarta sangat perlu koreksi diri, saya sebagai jemaat mengamati STT ini cenderung mengikuti arus sekuler bukan mempengaruhi dan memenangkan jaman untuk Kristus. Iman adalah supra ratio dibutuhkan iman yang lebih tinggi dari ratio yaitu pergumulan mengerti kehendak dan kedaulatan Allah untuk mengerti Firmannya. sangat disayangkan mahasiswa teolog dan para pendeta alumni STT Jakarta malas menginjili yang secara langsung merusak gereja dan merusak dunia ini yang semakin gelap ini.

binsar on February 28th, 2008 at 3:29 am #

Bung Lambas. Saya setuju dengan anda bahwa teolog tanpa iman tidak cocok jadi pendeta. Karena itu gereja juga punya kepentingan dalam menyaring para calonnya juga dalam memberi masukan kepada stt yang ada. kemerosotan gereja di eropa berbanding lurus juga dengan kemajuan jaman rasional yang kita nikmati saat ini. Abad pencerahan membawa hasil baik dan buruk. Saya rasa liberal dalam arti sesungguhnya tidak jelek. Liberal artinya bebas. STT Jakarta memang mengikuti arus sekuler, dan ini menjadi kelemahan sekaligus kekuatannya. Yang perlu kita tahu, seringkali yang masuk ke STT Jakarta juga bukan orang yang memiliki tujuan untuk menjadi Pendeta. Banyak yang memang adalah pemberontak masuk ke sana karena STT adalah sebuah sekolah tinggi akademis. Buat mereka yang memang memiliki kerinduan untuk melayani, plus pendidikan liberal stt jakarta, akan melahirkan tokoh-tokoh yang memberi warna pada dunia kekristenan indonesia seperti alm. eka darmaputera, alm. sumartana, alm. abineno, sae nababan, dan beberapa pemikir sekarang seperti js aritonang, martin sinaga, joas adiprasetya, robert borrong, septemmy lakawa, yang semuanya saya yakin sangat spiritual dan religius. Saya juga tidak tutup mata terhadap beberapa alumni yang akhirnya kurang begitu berhasil di jemaat
Tetapi klaim bung Lambas yang mengatakan STT Jakarta ’secara langsung merusak gereja dan dunia’ itu agak berlebihan. Kalau memang STT Jakarta yang melakukan itu semua, peran yang lain di mana dong hahaha. Maaf, saya coba bawa percakapan ke arah yang lebih ringan. Saya juga produk STT Jakarta loh hahaha… berarti saya ikut merusak dong? Tapi, terima kasih untuk masukannya, saya rasa STT Jakarta dan gereja-gereja pendukungnya tetap berusaha menjadi garam dan terang kok. Mungkin caranya saja yang berbeda.

binsar on February 28th, 2008 at 3:37 am #

Bung Togar, wah sepertinya maksud saya bukan begitu. Teolog bukan non playing captain, karena mereka bukanlah captain. Yang ada kan Tuhan pemilik klub. Pemain-pemainnya adalah semua orang percaya. Teolog juga bisa jadi pemain (karena semua orang percaya juga berteologi), dan bisa jadi komentator. Pemain bisa memilih untuk mendengar komentator atau pelatihnya. Pendapat komentator juga kadang-kadang berguna, dan kebanyakan komentator juga pemain, makanya bung ronny patinasarani paling laku. kalo yang lain biasanya disebut pemandu acara. Nah, itulah dia yang diajarkan di stt jakarta justru bukan hanya tentang alkitab, tetapi juga bagaimana menerapkannya dalma masyarakat, termasuk dari segi sosial, ekonomi, politik, hidup sehari-hari. Justru karena ini STT Jakarta sering dicap liberal karena mencampuradukkan hal di atas dengan Alkitab. Saya rasa STT Jakarta berusaha menyiapkan orang-orang yang paham dan kritis akan teologi, paling tidak mengerti tentang apa yang akan dihadapi di jemaat, sekaligus siap untuk menerjemahkan Alkitab dalam konteks masa kini. Memang tugas yang berat untuk sebuah institusi. Tetapi masukan dari kita semua akan membantu STT (in general) untuk lebih memperlengkapi diri dalam melayani Tuhan dan jemaatNya.

lambas siregar on March 12th, 2008 at 2:23 am #

Maaf lae/sdr Binsar maksud utama saya adalah bahwa mahasiswa atau alumni STT yang kurang dalam gerakan penginjilan akan mengurangi masa depan gereja dan pengaruhnya menggarami jaman ini. Ini yang saya amati dari STT jakarta. Ini pengalaman saya sebagai jemaat yang concern dan bergerak dalam pelayanan penginjilan/memenangkan jiwa bagi Kristus. Apa gunanya hanya sebagai ilmuan agama tanpa semangat penegakan iman ortodoksi/amanat agung.Tanpa injil dunia ini bagaimana ? kacau bukan?

feeey on March 30th, 2008 at 8:34 am #

Duh..diskusinya hangat banget…salut..salut…

menurut pemahamanku sederhana aja…
ini semua tetap berpulang ke pribadi masing-masing menjalankan panggilan Tuhan buatnya,
sperti kt BE 510 : 2 :

Sulingkit rohami, manang na piga naung niarahon mi tu Debata???

artinya :

Mari sama-sama selidiki hati kita, sudah berapa orang yang udah berhasil kita bawa dan arahkan ama Bapa ???

ini terlepas dari Profesi apa pun kita…baik teolog, pendeta,penginjil,de el el atau pun jemaat-awam masing-masing kita lakukan dalam tanggungjawab kpd Nya.

feeey on March 30th, 2008 at 8:38 am #

eh..lupa..Laos ta endehon ma :

Silu sosoi ma…..Dohot udut na….

hahaha…

tohap on April 4th, 2008 at 9:12 am #

Aduh.. topiknya sebenarnya berat bgt tp aq coba baca dan memahaminya.
Entah kenapa pula selama ini aq memang lebih suka mendengar ‘teolog’ (pendeta yg q anggapdan q defenisikan sendiri sbg teolog) berkotbah, beda aja penyampaiannya.
Thx ya buat artikelnya

nirwan on April 18th, 2008 at 10:42 am #

Horas jalagabe….
kalo ada informasi tetntang pendaftaran skolah theolog, kasi tau ya…?! krim ja k email na.

Viewed 16593 times by 3859 viewers

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *