Profesi penghancur bangsa

siklus profesiBeberapa artis Indonesia diberitakan akan masuk ke ajang demokrasi Indonesia 2014 sebagai calon anggota legislatif, baik di pusat atau daerah. Meskipun kita masih belum bisa memiliki definisi yang pasti mengenai apa itu profesi artis (bukan turunan kata artist: seorang yang bergerak di bidang seni), namun profesi baru di dunia politik sepertinya menggoda untuk dicoba. Berbekal wajah yang ganteng/cantik, popularitas yang sudah dikenal massa, dan kemampuan finansial yang lumayan, para ‘artis’ pun tergiur untuk mencoba peruntungannya di dunia politik, sebutkanlah nama-nama yang muncul di media massa belakangan ini seperti Raffi Ahmad, Yuni Shara, Krisdayanti, Ahmad Dhani, Sonny Tulung, Nico Siahaan, dan beberapa nama lain. Nama-nama ini akan menambah jajaran selebriti nasional dan lokal yang sudah lebih dulu menikmati profesi politisi seperti Dede Yusuf, Rano Karno, Tantowi Yahya, Nurul Arifin, Angelina Sondakh, Vena Melinda, Wanda Hamida, Rahel Maryam, Eko Patrio, dkk.  Seperti gayung bersambut, partai politik pun senang dengan kehadiran para vote getter ini. Trend memasukkan para artis ke dalam calon legislatif sebagai perwakilan vox populi pun meningkat.

Ada beberapa masalah dalam hal pencalonan ini.

Pertama. Definisi artis yang tidak jelas. Mungkin banyak orang akan mengernyitkan dahi mereka, ada apa dengan definisi artis? Artis menurut KBBI adalah “n ahli seni; seniman, seniwati (spt penyanyi, pemain film, pelukis, pemain drama)“. Berdasarkan definisi ini maka beberapa nama yang selama ini muncul di berita-berita gosip seputar keartisan di layar televisi harus ditiadakan. Saya sendiri menawarkan definisi artis yang baru, yakni “orang yang berita tentangnya begitu menarik perhatian massa, sehingga kalau ditampilkan di TV, orang akan melihatnya.” Artis tidak lagi berhubungan dengan keahlian yang mereka miliki dalam dunia seni, melainkan dengan berita yang dapat dijualnya, newsworthy.

Dengan definisi yang baru ini kita bisa memasukkan orang-orang dengan peristiwa berikut sebagai artis seperti 1) orang yang terjebak dalam kasus kriminal yang kemudian menjadi terkenal karena disorot televisi; 2) anggota kepolisian yang bernyanyi karaoke, 3) orang yang terkena kasus video seks; 4) orang yang aksen bahasa Indonesianya menarik; 5) pemain bola ganteng; 6) alim ulama; 7) pengacara untuk “artis” dalam definisi baru itu; 8) politisi; 9) pengusaha; 10) orangtua dari “artis” dalam definisi baru itu.

Masalah kedua, tampilan luar mengalahkan kualitas. Penjualan profil para newsworthy adalah berdasarkan tampilan luar dan bukan kualitas di dalam. Definisi artis yang begitu luas ini membuat hampir semua orang yang termasuk dalam  bisa menjadi artis. Tanpa kualifikasi yang tepat, pendidikan yang terbatas, hikmat yang dipertanyakan, kemampuan menganalisis masalah kebangsaan yang minim, bahasa yang menyinggung orang setiap terlontar, para artis ini akan menjadi perwakilan suara rakyat di tingkat daerah dan nasional. Mereka terpilih, kalau terpilih nanti, based on their looks and popularity instead of their capability (berdasarkan tampilan luar dan bukan kualitas dalam diri mereka). Saran saya, Para artis ini sebaiknya berkonsentrasi mengurus persatuan artis mereka yang terpecah, dan tidak mengurus masalah kebangsaan.

Memang ada artis yang memiliki kualitas pendidikan dan komitmen tinggi terhadap masyarakat, seperti Nurul Arifin, Rieke Dyah Pitaloka, dan beberapa nama lain, yang sudah aktif dalam masalah kemasyarakatan sebelum mereka terjun di dunia politik. Sayangnya, sebagian besar nama artis yang sudah masuk di badan legislatif justru membawa masalah baru – seperti korupsi – atau tidak terdengar kontribusinya terhadap rakyat.

Persoalan ketiga, tidak kenal diri sendiri. Ada kecenderungan para profil newsworthy merasa dirinya mampu bersaing untuk memenangkan suara rakyat karena popularitasnya. Orang di pelosok Indonesia tentu akan lebih mengenal Raffi Ahmad dan Krisdayanti dibanding nama politisi kawakan sekelas Sabam Sirait, Enggartiasto Lukito, atau Emir Moeis, thanks to pointless yet popular TV gossip shows. Mereka ingin menggaet suara pemilih selagi mereka dikenal orang banyak karena sadar kepopuleran mereka yang sesaat itu akan hilang. Dengan beralih profesi sebagai politisi, masa depan keuangan dan gaya hidup tinggi mereka akan terjamin, plus status kepopuleran tetap terjaga. Ironinya, mereka tidak sadar apakah mereka mampu atau tidak mengurus masalah legislasi, membaca draft undang-undang, menyetujui peraturan yang akan mengatur nasib 240 juta orang. Sedihnya, orang Indonesia pun memilih karena popularitas dan bukan kualitas.

Persoalan terakhir, karena popularitas menjamin kesuksesan, percampuran profesi dalam diri satu orang pun tak terelakkan. Percampuran profesi mengaburkan fungsi seseorang dalam melaksanakan tugasnya. Kita tidak bisa membedakan apakah seseorang bicara sebagai seorang politisi atau seorang pengusaha, berbicara di depan umat membawa janji Sang Maha Kuasa sebagai tokoh agama atau janji partai sebagai politisi.

Beberapa profesi ini akan kita masukkan dalam siklus: 1) Artis (definisi yang kita diskusikan di atas); 2) Politisi (mereka yang terjun di dunia politik sebagai legislatif atau eksekutif); 3) MC/Presenter (pembawa acara talkshow, gosip, radio, dll); 4) Tokoh Agama (alim ulama yang memiliki basis massa); 5) Pengusaha (bergerak di bidang bisnis dan memiliki modal besar).

Sambil melihat siklus profesi ini, bayangkan sebuah nama yang cocok dengannya. Siklus bisa dimulai dari mana saja dan biasanya melibatkan profesi artis dan berakhir di politisi (minimum 3 siklus):

1. Artis -> MC -> Pengusaha -> Politisi

2. Pengusaha -> Artis -> Politisi

3. Tokoh Agama -> Artis -> Politisi

4. MC/Presenter -> Pengusaha -> Politisi

5. Artis -> Tokoh Agama -> Politisi

Bahkan kemungkinan pertukaran profesi ini bisa dimulai dari politisi:

6. Politisi -> Artis -> Pengusaha

Dengan bercampurnya berbagai profesi dalam diri seseorang, maka kemungkinan perselingkuhan motif pribadi, Ilahi, ekonomi, dan politik menjadi bahaya utama yang dihadapi bangsa Indonesia. Kita harus hati-hati dengan orang-orang dengan perpindahan profesi seperti ini. Motif umum yang bisa muncul dari orang-orang yang terjun ke politik dari siklus ini, menurut analisis saya, adalah keuntungan pribadi dan bukan untuk memperbaiki nasib rakyat banyak. Beberapa contoh ‘artis’, pengusaha, dan/atau tokoh agama yang menjadi politisi tidak pernah berakhir baik, paling tidak dari jejak rekam orang yang melakukannya.

Pemilihan 2014 yang semakin dekat membuat 10 partai politik peserta pemilu memasang kuda-kuda kampanye mereka dengan berbagai kegiatan, baik sosial atau keagamaan. Beberapa orang juga mulai menjual citra dirinya di berbagai iklan dan acara di televisi. Proses perekrutan akan terlihat bagi kita semua melalui media massa. Bijaklah dalam memilih, hindari memilih para caleg yang terlibat dalam siklus di atas. Pilihlah mereka yang sudah terbukti kualitas kerja dan pengabdiannya dibanding mereka yang menginginkan keuntungan pribadi yang dibangun atas popularitasnya.

Viewed 23494 times by 4692 viewers

One Comment

  1. Setuju Lae, profesi ini memang perusak kehidupan berbangsa dan bernegara karena digunakan bukan pada tempatnya dan salah kaparah pulak lagi….hati nurani tidak bisa berbicara lagi karena disumpal dan ditawari hal2 yang memuaskan nafsu diri sendiri dan juga kelompoknya (mis keluarganya, partainya…)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *