Belajar mengingat dan menghargai sejarah

jakarta banjir

dari tribunnews.com

Ini adalah sebuah paper akhir matakuliah teologi pembebasan (footnotes are not attached) yang ditulis pada tahun 2002. Cikal bakal disertasi saya ini juga ditulis setelah banjir besar melanda Jakarta. Melihat balik, saya merasa paper saya ini kurang ilmiah dan lebih menyerupai khotbah dan ungkapan kekesalan atas apa yang pada waktu itu terjadi – dan ternyata berulang lagi di tahun 2013. Enjoy!


Belajar mengingat dan menghargai sejarah: Upaya membebaskan bangsa Indonesia dari penyakit lupa

A. Pendahuluan

“Bangsa yang maju adalah bangsa yang menghargai pahlawannya.” Itu adalah sebuah slogan yang sering didengungkan belakangan ini, terutama melalui mass media radio. Secara eksplisit, kalimat itu ingin mengatakan bahwa kita harus menghargai para pahlawan bangsa, atau mereka yang telah berjuang bagi kita, agar kita bisa maju. Ada juga pesan lain di balik slogan tersebut, bahwa kita harus mengingat sejarah dan tidak melupakannya agar kita boleh belajar dari sejarah.

Belajar dari sejarah dapat mencegah kita mengulangi kesalahan yang telah kita lakukan di masa lampau, dan mengulangi apa yang baik, atau bahkan melakukan dengan lebih baik lagi apa yang telah kita lakukan di masa lalu. Sejarah adalah guru yang paling baik. Melalui pengalaman-pengalaman, terutama dalam usia bangsa Indonesia yang tidak muda lagi, 57 tahun, maka sudah seharusnya kita bercermin dari perjalanan kita selama ini sepanjang sejarah. Belajarlah dari sejarah!

Kenapa penulis mengungkapkan kalimat di atas? Mengapa penulis mengangkat tema ini sebagai paper akhir untuk mata kuliah teologi pembebasan. Tugas yang diberikan, menulis sebuah teologi pembebasan di Indonesia, telah menggelitik penulis untuk mengatakan sesuatu tentang tema ini. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang pelupa. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kurang menghargai para pahlawannya. Kalaupun ada penghargaan yang diberikan kepada para pahlawannya, itu pun hanya bersifat karitatif, sejauh nama jalan raya, atau nama gedung. Proses pengenangan akan jasa mereka tidak dilakukan. Yang ada hanyalah ke-tahu-an bahwa memang ada pahlawan tertentu, tanpa mengetahui cerita di balik nama tersebut.

Tema-tema sentral di dalam teologi pembebasan bagi Asia adalah cerita kemiskinan, religiositas yang multi wajah, kebudayaan yang beragam, dan persoalan keselarasan dengan bumi. Masalah-masalah ini menjadi tema utama di dalam berteologi. Inilah konteks yang sedang dihadapi oleh kebanyakan negara dunia ketiga saat ini. Khusus bagi Indonesia, penulis hendak menawarkan sebuah cara teologi pembebasan, yang mungkin saja dapat berarti bagi pembebasan orang Indonesia dari masalah-masalah di atas. Penulis akan mencoba membahas permasalahan tersebut secara sistematis, dan mencari akar permasalahannya, baru kemudian menawarkan sebuah cara yang mungkin bisa menjadi jalan keluar bagi permasalahan tersebut. Penulis sendiri tidak begitu banyak menggunakan literatur buku, namun, penulis harap itu tidak menjadi penghalang kita untuk menikmati paper ini. Selamat membaca.

B. Beberapa Kasus Yang Dilupakan

Seperti sudah menjadi tradisi, bangsa Indonesia memiliki masalah yang bertumpuk-tumpuk, yang mana setiap masalah itu tidak pernah diselesaian, melainkan ditutup dengan masalah yang lain! Hal ini mungkin sudah disadari oleh banyak orang di Indonesia, namun penulis akan mencoba untuk memperlihatkan beberapa contoh kasus yang sampai sekarang belum terungkap. Kasus-kasus itu biasanya didiamkan dan kemudian ditutupi dengan kasus yang lain, atau bisa juga sengaja ditutupi dengan kasus lain.

Penulis akan mencoba memaparkan beberapa peristiwa penting yang terjadi di Indonesia selama tahun 1997-2000, dan juga beberapa peristiwa yang baru saja terjadi seperti bencana banjir yang melanda Jakarta dan beberapa bagian lain di Indonesia belum lama ini. Peristiwa-peristiwa ini sengaja penulis pilih, karena mereka mungkin masih segar di dalam ingatan kita, kalau kita juga belum melupakannya.

Pada tahun 1997, tepatnya 29 Mei 1997, Indonesia mengadakan Pemilihan Umum. Pemilihan Umum kali ini adalah sebuah pemilihan umum yang cukup bersejarah, karena Golkar, partai yang secara resmi diakui sebagai partai politik pemerintah, memperoleh jumlah suara yang sangat signifikan, 74,5 %, dibandingkan partai muslim PPP: 22,4 %, dan PDI seperti yang sudah diduga sebelumnya mengalami kemerosotan perolehan yang sangat drastis, hanya 3 % suara. Mengapa sudah diperkirakan? Karena setahun sebelumnya, yaitu tanggal 27 Juli 1996, terjadi peristiwa berdarah yang diakibatkan oleh perebutan tampuk kepemimpinan PDI oleh Soerjadi dan Megawati. Peristiwa ini diwarnai dengan adanya campur tangan yang sangat keras dari pemerintah dan militer yang mendukung Soerjadi – banyak yang mengatakan bahwa hal ini terjadi karena pemerintah takut akan kharisma Megawati apabila dia mencalonkan diri di dalam Pemilu 1997.. Di dalam peristiwa berdarah itu, konon, ratusan orang menjadi korban, meskipun pemerintah tidak pernah mengakui jumlah korban yang sebenarnya.

Pemerintah pada waktu itu dengan mudah menunjuk PRD (Partai Rakyat Demokratik) sebagai dalang kerusuhan itu dan kemudian menangkap juga beberapa tokoh-tokoh yang dianggap sebagai aktor di belakang layar dari peristiwa berdarah tersebut. Yang terjadi kemudian adalah masyarakat dibuai dengan peristiwa-peristiwa lain, seperti pengejaran Ketua PRD, Budiman Sudjatmiko yang dianggap buron, dan kemudian melupakan apa yang sebenarnya terjadi pada 27 Juli tersebut. Kasus 27 Juli belum pernah diusut tuntas sampai sekarang. Ini adalah salah satu contoh ke-lupa-an masyarakat Indonesia, atau mungkin sengaja dilupakan oleh pihak-pihak tertentu.

Seusai peristiwa ini, Pemilu berlangsung. Proses kampanye yang dilakukan banyak menimbulkan kerusuhan di mana-mana. Ujung Pandang, Pekalongan, Medan, Jakarta, adalah beberapa tempat di mana bentrokan fisik antar massa pendukung partai terjadi. Namun, dengan cepat semua orang melupakannya, bahkan mungkin menganggap hal itu adalah proses yang biasa di dalam kampanye.

Kemudian krisis moneter menimpa Indonesia sejak akhir 1997. karena hal ini, orang mulai melupakan apa yang terjadi di dalam kampanye dan kasus 27 Juli. Indonesia disibukkan oleh masalah baru yang kemudian membuat masalah lama, yang belum terselesaikan itu, tetap tak terselesaikan. Nilai tukar dollar mengalami peningkatan yang tajam terhadap rupiah, dimulai dari sekitar Rp. 2000 per US dollar hingga menembus level Rp. 18.000.berbagai peristiwa terjadi dalam masa ini. Gerakan mahasiswa mulai menuntut reformasi di segala bidang. Mereka mengadakan orasi di kampus-kampus dan memilih taktik perjuangan moral. Mahasiswa menuntut agar Soeharto tidak menjadi presiden lagi di periode berikutnya.

Dengan perolehan suara yang sangat signifikan, Golkar mengumumkan pencalonan H. M. Soeharto kembali sebagai Presiden RI periode 1998-2003. Ketika pemilihan terjadi di Sidang Umum MPR bulan Februari 1998, Soeharto resmi menjadi Presiden RI kembali secara aklamasi. Tepuk tangan yang menggemuruh mewarnai proses pemilihan tersebut. Ketidakpuasan akan hal ini merebak di mana-mana. Demonstrasi semakin menghebat. Bentrokan antara aparat keamanan dan mahasiswa semakin sering terjadi.

Pada tanggal 12 Mei, bentrokan antara aparat dengan mahasiswa, di mana para petugas keamanan menggunakan amunisi sebenarnya, telah menewaskan 4 orang mahasiswa Trisakti. Pada tanggal 13 dan 14 Mei 2002, kerusuhan yang lebih besar berlangsung di Jakarta, Solo, Medan dan Surabaya. Puluhan gedung komersial, dibakar atau dilempari dengan batu. Ribuan massa turun ke jalan dan menjarahi setiap toko dan bangunan komersil lainnya. Secara khusus, keturunan Cina mendapat perlakuan yang sangat tidak manusiawi. Mereka dihadang di perjalanan, dirampok, dibunuh, ditelanjangi, bahkan dibakar hidup-hidup. Kaum perempuan keturunan Cina juga diperkosa secara massal, bahkan ada yang kemudian dibunuh. Pada waktu itu exodusnya keturunan Cina ke luar negeri meningkat secara signifikan, Soeharto sendiri berada di Kairo ketika peristiwa ini berlangsung.

Pada 17 Mei, mahasiswa menduduki gedung parlemen. Mereka meneriakkan slogan “reformasi atau mati”. Pada tanggal 18 Mei, setelah berunding dengan para mahasiswa, Harmoko, ketua MPR waktu itu, dan juga beberapa ketua fraksi lainnya akhirnya memutuskan bahwa Presiden Soeharto akan diminta untuk mengundurkan diri. Kesepakatan ini diambil oleh seluruh anggota MPR, dan disambut dengan tepuk tangan oleh para jurnalis dan mahasiswa yang hadir. Menarik, bahwa tiga bulan sebelumnya para anggota MPR dengan aklamasi menepukkan tangan mereka untuk memilih Soeharto sebagai presiden, dan tiga bulan kemudian tangan yang sama juga bertepuk untuk meminta sang Presiden mundur.

Setelah Soeharto akhirnya mundur, dan digantikan oleh Habibie, keadaan tidak menjadi lebih baik. Bentrokan juga terjadi antara aparat keamanan dan demonstran yang menuntut ditolaknya Rancangan Undang-Undang Hak Kebebasan Berbicara, yang justru lebih mengekang kebebasan itu sendiri. Namun hal ini kembali ditutupi dengan penembakan mahasiswa Atma Jaya yang juga sedang berdemonstrasi di kampus mereka sendiri. Penembakan ini membuat ribuan mahasiswa kembali menduduki MPR, dan menuntut Habibie untuk mundur. Peristiwa berdarah ini kahirnya hilang oleh hiruk pikuk waktu, dan kemudian digantikan dengan sibuknya mempersiapkan pemilihan umum tahun 1999.

Di masa pemerintahan transisinya Habibie, beberapa kasus yang sempat dipendam, diungkap kembali oleh para korban. Penembakan-penembakan misterius yang dulu terjadi, penculikan aktivis mahasiswa, pengusutan kekayaan Soeharto dan keluarganya, kasus Timor-Timur, kasus Aceh, kasus Tanjung Priuk, dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya mulai diungkap. Namun kembali, semua kasus itu tidak ada yang pernah tuntas diusut, kecuali mungkin Timor-Timur yang sudah memperoleh kemerdekaannya melalui referendum. Semua kasus tersebut dilupakan atau terlupakan karena kasus-kasus lain yang datang kemudian.

Kita sampai pada tahun 2002. Peristiwa banjir adalah peristiwa yang mungkin paling dikenang pada tahun 2002, kalau tidak ada kasus bom Bali. Banjirnya Jakarta telah mengundang banyak reaksi. Bahkan pada saat itu semua orang ramai mendiskusikan menganai penyebab dan bagaimana menangkal banjir tersebut. Tetapi sekarang, tidak sampai satu tahun berselang, kita juga sepertinya telah lupa akan banjir tersebut. Belum ada yang dilakukan pemerintah, atau masyarakat, yang cukup berarti untuk mencegah bencana empat – enam tahunan itu terulang kembali. Kita lupa akan hal tersebut karena kita sudah kembali disibukkan oleh kasus bom Bali. Kisah-kisah di atas hanya sebagian kecil dari kisah-kisah yang tak terselesaikan lainnya, yang terjadi di Indonesia. Peristiwa-peristiwa itu menjadi borok di dalam sejarah Indonesia. Namun borok itu tidak ada yang pernah dapat diobati sampai sembuh. Semuanya terlupakan oleh waktu dan juga borok lainnya.

 

C. Pemimpin Yang Tidak Belajar Dari Sejarah

Bangsa Indonesia juga adalah bangsa yang dipimpin oleh mereka yang tidak menghargai sejarah. Banyak orang yang mengatakan bahwa lebih baik di jaman Soeharto ketika mereka bisa hidup dengan tenang dan suasana lebih aman dibandingkan sekarang. Banyak juga yang mengatakan bahwa pemimpin bangsa sekarang tidak berbeda dengan pendahulunya – yang berarti tidak lebih baik dari yang dulu.

Sejarah bangsa Indonesia adalah sejarah yang dicatat oleh penguasa. Manipulasi sering terjadi di sana sini. Siapa yang berkuasa, dialah yang berhak menulis sejarah. Dulu, ketika Soekarno masih menjabat sebagai Presiden, demonstrasi di akhir tahun 1964 dan 1965 merebak. Para mahasiswa (waktu itu) menuntut dia mundur karena keadaan ekonomi yang sangat sulit. Devaluasi bahkan dilakukan untuk menolong kesulitan ekonomi negara. Banyak yang mengharapkan dia mundur, meskipun jasanya juga tidak kecil dalam memperjuangkan Indonesia merdeka.

Kemudian di era Soeharto, Soekarno dikucilkan. Perebutan kekuasaan terjadi melalui peristiwa Gerakan 30 September oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Soekarno dituduh bersalah telah menyuburkan gerakan komunis di Indonesia. Soeharto kemudian dipuja oleh banyak orang (meskipun kita masih bisa memperdebatkan siapa saja orang yang memujanya), dan memperoleh gelar Bapak Pembangunan. Namun kemudian Soeharto tidak belajar dari sejarah. Dia lupa, bahwa kesalahan Soekarno yang terbesar dulu adalah memproklamirkan bahwa dia adalah presiden seumur hidup bagi Indonesia. Soeharto ingin mencoba hal ini juga. Namun keserakahan telah membawanya jatuh. Sekarang nasib Seoharto, kurang lebih sama dengan apa yang dialami oleh Soekarno dulu. Diejek, dan dibenci, meskipun kadar kebencian masyarakat lebih memuncak pada yang terakhir mundur ini. Kekuasaan para pemimpin datang dengan perjuangan, dan dielu-elukan, namun turun dengan memalukan. Rakyat Indonesia juga lupa bagaimana mereka bisa memperoleh pemimpin mereka itu.

D. Akibat Melupakan

Apa akibat dari melupakan sejarah seperti di atas? Kondisi bangsa Indonesia tidak menjadi semakin baik sekarang. Banyak daerah yang menuntut melepaskan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia. Kasus-kasus yang ditimbun dan dipeti-eskan, ibarat sebuah bom waktu yang tiap hari semakin ditambah bahan peledaknya, yang sangat rentan dan bisa meledak setiap saat.

Seperti penjelasan di atas, kasus-kasus yang terjadi di Indonesia, bukan diselesaikan, melainkan ditutupi dengan kasus baru. Hal ini terjadi berulang-ulang sepanjang sejarah. Namun, sayangnya bangsa Indonesia tidak mau belajar dari sejarahnya. Akibatnya, perjuangan untuk membebaskan bangsa ini dari kemiskinan dan segala konflik yang dideritanya, seperti sia-sia belaka.

Para pahlawan, yang katakanlah telah berjuang bagi perbaikan nasib bangsa, dimulai sejak jaman penjajahan, hingga jaman reformasi ini, banyak yang dilupakan. Masih banyak pahlawan olahraga bangsa kita, seperti kasus Hendrawan, seorang pebulutangkis keturunan Cina, yang telah menetap di Indonesia sejak kakek neneknya, meskipun telah membawa harum nama bangsa Indonesia melalui gelar juara All England-nya, tetap menemui kesulitan untuk mengurus kewarganegaraan anaknya. Sungguh menyedihkan nasib bangsa yang tidak menghargai pahlawannya seperti itu!

 

E. Mengingat di dalam Budaya

Melihat penjelasan di atas, timbul sebuah pertanyaan: apakah benar masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang tidak menghargai sejarahnya? Apakah benar bangsa Indonesia memang pelupa? Di sini penulis akan mencoba memperlihatkan beberapa kebudayaan lokal yang justru sangat menghargai sejarahnya.

Di dalam adat Batak, seperti yang penulis ketahui, budaya mengingat justru adalah budaya yang sangat dihargai. Setiap orang Batak harus tahu sejarahnya masing-masing. Di dalam suku Batak, poenggunaan silsilah (tarombo) sangat menentukan. Setiap orang harus mengetahui dari siapa dia berasal, keturunan nomor berapakah dia, siapa saja keluarganya, dan masih banyak lagi karena budaya menuntut hal ini. Apabila dia melupakan asal usulnya, maka dia akan hilang dari kebudayaannya itu.

Pembangunan tugu-tugu, di kampung Tapanuli Utara, Sumatera Utara, sebagai sebuah sarana pengenangan para keturunan terhadap nenek moyang mereka, adalah sebuah praktek kebudayaan yang masih marak dilakukan sampai sekarang. Terlepas dari terjebaknya orang Batak dalam proses pemegahan diri dan prestise yang ingin ditunjukkan dalam pembangunan tugu tersebut, peristiwa itu bisa dipandang sebagai sebuah proses pengingatan kembali akan nenek moyang dan jasa-jasa yang telah mereka lakukan. Ini berarti di dalam suku Batak, tidak ada yang boleh melupakan asal usulnya. Karenanya, tidak ada budaya lupa dalam adat Batak.

Di Toraja, proses pembangunan tongkonan, sebuah rumah adat sebagai simbol persatuan dari keturunan marga tersebut, atau orang tertentu, adalah proses yang menunjukkan bahwa tetap ada proses pengenangan di situ. Orang Toraja bahkan memestakan orangtua mereka yang telajh meninggal dan menempatkannya di sebuah tempat yang khusus. Di dalam pelaksanaan pesta ini, keluarga bersatu demi terselenggaranya acara tersebut dengan baik. Tongkonan menjadi simbol pemersatu dari semua keturunan yang ada. Orang Toraja mencatat kisah-kisah mengenai nenek moyang mereka melalui perjumpaan dalam tongkonan. Tidak perduli dia merantau jauh atau dekat, tongkonan menjadi pemanggil mereka untuk bersatu. Tongkonan menjadi bagian dari proses mengingat dalam budaya Toraja. Tidak ada yang dilupakan di situ.

Proses ziarah yang dilakukan oleh mereka dalam kebudayaan Bali, terutama dengan menyucikan diri dari kesalahan mereka dan nenek moyang mereka menandakan ada sesuatu yang diingat dari nenek moyang mereka. Kebudayaan Bali tetap menghargai pendahulu mereka. Boleh dikatakan masih menyimpan kebudayaan asli mereka dan berusaha melestarikannya dengan baik sebagai sebuah identitas dan penghargaan terhadap orangtua mereka.

Budaya Batak, Bali, dan Toraja, adalah sedikit contoh yang bisa dilihat dari kebudayaan di Indonesai yang menghargai sejarahnya. Kalau begitu, mengapa banyak peristiwa yang terlupakan. Apakah orang Batak bukan orang Indonesia? Apakah orang Toraja dan orang Bali bukan orang Indonesia, sehingga tidak ada proses penghargaan terhadap sejarah secara umum di dalam bangsa ini? Kalau memang ada proses penghargaan sejarah, berarti tesis awal yang mengatakan bangsa Indonesia adalah bangsa yang pelupa adalah salah? Jangan-jangan proses pelupaan sejarah ini terjadi di tingkat pusat dan kemudian dinasionalisasikan melalui pendidikan? Penulis akan mencoba memaparkannya lebih lanjut di bawah ini.

 

F. Sengaja Melupakan dan Atau Memang Lupa?

Sebelum menguraikan lebih lanjut bagian ini, penulis ingin menyatakan sesuatu yang sangat umum didapati di Indonesia. Ini adalah budaya mengucap syukur. Budaya mengucap syukur ini secara positif memberikan arti bahwa orang Indonesia selalu melihat segala sesuatu yang positif di balik suatu peristiwa. Sebagai contoh, di dalam berbagai peristiwa bencana seperti banjir di Jakarta, masih banyak terdengar “syukur, kita tidak mati”, atau “syukur banjirnya tidak lama”. Masih banyak peristiwa lain yang dilihat dari segi postifnya oleh orang Indonesia, “syukur masih begini”, “syukur tidak begitu”. Proses mengucap syukur memang sesuai dengan ajaran Kristus yang dituliskan bahwa kita harus mengucap syukur dalam segala hal. Orang Indonesia di dalam hal ini menjadi sangat kristiani.

Namun, apa yang sebenarnya terjadi di balik ucapan syukur itu? Apakah pemaknaan syukur itu berarti kepuasan terhadap sebuah situasi, di mana sebuah hal yang lebih buruk dapat terjadi namun tidak terjadi, atau syukur karena dirinya memang selalu positif melihat segala sesuatu? Atau dia mengucap syukur karena dia memang Kristen? Budaya mengucap syukur, paling tidak menurut penulis, adalah budaya yang positif sekaligus membuai banyak orang di dalam sebuah situasi semu yang dikirinya seharusnya lebih buruk, namun tidak terjadi. Ucapan syukur itu tentu berasal dari perkiraan bahwa sesuatu yang lebih jelek sebenarnya bisa terjadi, dan itu tidak terjadi, jadi sudah seharusnya disyukuri. Peristiwa pengucapan syukur ini seringkali berhenti kepada kepercayaan bahwa dirinya sudah beruntung dalam tidak menghadapi hal yang lebih buruk. Pemaknaan syukur tidak dilanjutkan kepada sebuah pelajaran bahwa sebenarnya hal yang buruk itu bisa saja dihindarkan apabila diantisipasi sebelumnya, dan bukan disyukuri karena sesuatu yang lebih jelek bisa saja terjadi. Pengucapan syukur ternyata membuat orang terlena dalam proses syukur “sesudah peristiwa” dan bukan proses “mengantisipasi peristiwa”.

Mengucap syukur seharusnya dimaknakan dari sisi teologis bahwa Allah amsih memberikan kita kesempatan satu kali lagi untuk memperjuangkan dan memperbaiki kehidupan kita, dan bukan sebagai sebuah sarana tanggapan akan pertolongan Allah yang masih melindungi kita dari sesuatu yang lebih buruk. Di dalam peristiwa banjir, kita harus mengucap syukur dan memikirkan kesempatan yang diberikan Allah untuk memperbaiki diri kita agar peristiwa yang sama tidak terjadi lagi.

Di dalam berbagai peristiwa yang dipaparkan di dalam paper ini, jangan-jangan rakyat Indonesia tidak melupakannya, melainkan mensyukuri bahwa sesuatu yang sebenarnya lebih buruk dapat terjadi tetapi tidak. Dan karenanya, mereka terlena dalam situasi syukur tersebut dan akhirnya sengaja untuk tidak mengingatnya lagi. Proses melupakan, dari sisi psikologis, bukanlah sebuah jalan yang baik untuk melampaui trauma. Peristiwa-peristiwa di atas pastilah telah menimbulkan trauma. Namun trauma tersebut berhenti di kehendak untuk melupakan karena “masih untung kita tidak tertimpa sesuatu yang lebih buruk lagi!”

 

G. Belajar dari Sejarah Sebagai Sebuah Pembebasan Bagi Indonesia

Berbagai peristiwa yang mewarnai kehidupan umat manusia telah terjadi sepanjang sejarah. Sejarah mencatat keberhasilan dan juga kegagalan. Sejarah mencatat karunia dan juga hukuman Allah akan dunia ini. Sejarah adalah guru yang baik dalam menjalani kehidupan ini. Seperti ada pepatah yang mengatakan “Keledai bodoh pun tidak akan jatuh ke lubang yang sama dua kali”, maka kita juga harus lebih baik dari keledai tersebut dan belajar dari pengalaman kita. Jangan sampai kesalahan yang sama terulang lagi dan lagi.

Budaya tradisional dalam beberapa suku di Indonesia telah memperlihatkan bahwa mereka sebenarnya adalah orang yang menghargai sejarahnya. Ada sebuah proses keterikatan emosional di dalam sejarah suku-suku tradisional tersebut. Namun ketika mereka berada dalam konteks kelompok yang lebih besar sepertinya budaya mengingat itu hilang. Perasaan sebagai “orang Indonesia” memang sepertinya masih dikalahkan oleh perasaan sebagai “orang Toraja”, atau “orang Ambon”. Proses pengenangan sejarah yang ada pada Indonesia adalah romantisasi historis yang membutakan dan tidak menyajikan fakta yang sesungguhnya.

Untuk memulai proses pengenangan sejarah ini, penulisan sejarah yang sesungguhnya adalah krusial. Sejarah yang tercatat harus juga menyajikan kebenaran dan bukan heroisme yang bersifat membuai orang. Sejarah yang sesungguhnya juga harus mencatat kekalahan-kekalahan yang diderita dalam pertempuran-pertempuran yang dihadapi bangsa Indonesia dulu. Sejarah harus jujur mengatakan bahwa – seperti yang Einar Sitompul katakan – “bangsa Indonesia juga mundur terbirit-birit dalam menghadapi Belanda. Ketika tentara Indonesia mundur, dikatakan mundur secara teratur, sedangkan ketika tentara Belanda mundur dikatakan lari tunggang langgang. Itu adalah romantisasi sejarah yang tidak benar. Penulisan sejarah yang sesungguhnya akan menjadi awal dari pembebasan kita terhadap rasa lupa itu.

Iklim tropis yang begitu nikmat membuat sebgaian besar dari masyarakat Indonesia hidup dalam budaya harmoni dengan alam dan berusaha tidak melawan “takdir”. Takdir ini yang membuat kita bisa bertahan sampai sekarang, dan kita harus mensyukurinya juga.

Rasa syukur yang kerap diucapkan orang Indonesia harus dimaknai bahwa syukur tidak berhenti sampai di situ, namun harus ada upaya aktif di dalam mengantisipasi agar peristiwa yang sama tidak terulang dua kali. Rasa syukur juga bukan menandakan bencana yang terjadi harus didiamkan karena tidak menjadi lebih buruk, namun rasa syukur harus dicerminkan dalam penyelesaian masalah-masalah yang terungkap. Berbagai kasus yang tak terselesaikan seperti di atas harus diusut tuntas dalam rangka mensyukuri berkat Tuhan karena kita masih diberikan kesempatan untuk menyelesaikan masalah tersebut.

 

H. Sebuah Refleksi        

Sadar akan kesalahan dan belajar agar tidak mengulangi kesalahan yang sama adalah proses pembebasan bagi bangsa Indonesia. Ketika kita mengenang Kristus, kelahiran-Nya, kematian-Nya, dan kebangkitan-Nya, kita juga melihat kepada sejarah: Yesus yang lahir, dan kalah untuk sementara masuk ke dalam kerajaan maut, dan pada akhirnya menang. Sadar akan kelemahan bukan berarti mensyukuri bahwa tidak ada sesuatu yang lebih buruk yang terjadi saja, namun juga harus berlanjut kepada keinginan untuk memperjuangkan sesuatu yang lebih baik agar pada waktunya kita juga akan dimenangkan bersama dengan Kristus.

Budaya Indonesia memang bukanlah budaya yang mencatat sejarahnya secara tulisan. Cerita-cerita lisan lebih banyak diberikan kepada generasi penerus. Namun kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis. Kebudayaan juga berubah pada waktunya, apalagi di tengah dunia yang mengglobal ini. Romantisasi sejarah harus dihindarkan. Bangsa Israel mencatat semua perjalanan hidup mereka di dalam Alkitab. Kemenangan, kekalahan dan penderitaan, semua tercatat dengan baik. Bangsa Indonesia harus belajar untuk jujur kepada diri sendiri. Jujur terhadap diri sendiri akan membuka mata kita terhadap berbagai peristiwa yang telah mengoyak bangsa ini.

Peristiwa pembebasan akan terjadi ketika kita mulai mengingat sejarah dan belajar darinya, dan dengan demikian kita akan tahu siapa sebenarnya yang telah berjuang bagi kita. Hal ini secara otomatis akan membawa penghargaan kepada mereka yang telah mengorbankan dirinya bagi kemajuan bangsa ini. Jika proses penghargaan berjalan dengan baik, maka orang tidak akan segan mengorbankan dirinya karena dia dihargai atas perbuatannya tersebut, dan bukan malahan dipersulit membuat surat kewarganegaraan anaknya!

Ketika proses penghargaan yang sebenarnya sudah ada di dalam suku-suku tradisional Indonesia, dan juga dengan disadarkan bahwa Allah masih memberikan kita kesempatan sekali lagi untuk memperbaiki diri melalui bencana yang kita syukuri itu sudah berjalan dengan baik, maka pahlawan-pahlawan baru Indonesia akan muncul dan membebaskan kita dari permasalahan yang menghimpit bangsa kita ini.

Bukan tidak mungkin, bahwa para calon pahlawan segan untuk muncul ke permukaan karena dia menyadari bahwa dia tidak akan dihargai oleh karena perjuangannya, bahkan bisa saja nanti dia disalahkan apabila usahanya tidak membuahkan hasil. Marilah kita bebaskan bangsa melalui proses mengingat sejarah, karena Allah masih memberikan kita kesempatan untuk mengucap syukur atas berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia, dan belajar untuk memperbaikinya!

Viewed 31105 times by 8263 viewers

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *