Membuat Presiden Bersuara

Suara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai konflik KPK dan Polri yang sudah lama dinantikan akhirnya terdengar juga hari Senin malam yang lalu (Kompas 8/10). Efeknya, Kapolri Jenderal Timur Pradopo menegur Kapolda Bengkulu Brigjen Albertus Julius Mokalu. Hal ini ditengarai sebagai sebuah angin segar di tengah hilangnya kepemimpinan bangsa yang telah membuat toleransi terhadap gerakan intoleran meningkat. Waktu perenungan lama yang diambil Presiden dalam menyikapi sebuah masalah mendorong berbagai pihak untuk menyelesaikan masalah dengan caranya masing-masing. Sikap diam Presiden sering menghasilkan ketidakpastian bagi para pembantunya dalam menjalankan pemerintahan. Kalau begitu, bagaimana cara membuat Presiden bicara dengan tegas lagi menyikapi berbagai kasus yang belum terselesaikan?

Suara pernyataan sikap tegas ini tidak datang dengan sendirinya. Selama ini kita mengenal Presiden yang selalu berhati-hati, kalau tidak dapat disebut lambat, dalam menyikapi berbagai kasus bangsa. Dalam kasus KPK vs Polri, yang gesekannya semakin tajam semenjak pengungkapan kasus pengadaan simulator ujian SIM di Korlantas Polri 2011, Presiden tidak memberikan sikapnya sampai Senin 8/10 lalu. Alasannya adalah keengganannya untuk melakukan intervensi ke dalam proses penegakan hukum, meskipun dalam pidatonya beliau menyatakan bahwa dia dapat menjadi penengah institusi yang memiliki perbedaan paham. Lalu apa yang membuat Presiden akhirnya berbicara?

Ancaman terhadap imej dirinya dan partai dari protes keras para tokoh masyarakat dan agama cukup ampuh memaksa Presiden mengambil keputusan. Beberapa hari sebelum anggota Polda Bengkulu dan Metro Jaya menyambangi KPK untuk menjemput Komisaris Novel Baswedan terkait kasus penganiayaan yang terjadi 8 tahun yang lalu, beberapa tokoh masyarakat, agama, akademisi, mahasiswa, dan berbagai kelompok masyarakat telah memberikan dukungan mereka terhadap KPK terkait ancaman dikebirinya kekuatan KPK oleh DPR melalui revisi Undang-Undang KPK. Partai Demokrat tadinya mendukung rencana Komisi III DPR untuk merevisi UU No. 30 tahun 2002. Ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum berkata, “Prinsipnya kalau konteks untuk perbaikan dan penyempuraan tentu Partai Demokrat bukan hanya mendukung, tapi juga menghormati” (Kompas 16/3). Dengan demikian, kemarahan publik semakin tampak terhadap Partai pendukung utama pemerintahan ini, dan banyak orang menduga Presiden juga ada di balik ini untuk memukul balik KPK yang membuka kasus Century kembali.

Protes yang mulai marak dan kedatangan tokoh-tokoh masyarakat ke gedung KPK membuat isu revisi tidak lagi populer. Partai Demokrat mulai mengubah sikap dan beberapa anggota fraksi secara pribadi menyatakan penolakannya akan revisi ini. Sehari sesudah pidato Presiden yang mengkritik rencana ini, Ketua DPR Marzuki Alie mengatakan bahwa pembahasan undang-undang ini akan mati dengan sendirinya.

Ketika citra diri dan partainya terancam, berkat protes keras yang disampaikan oleh mereka yang memiliki pengaruh besar dalam masyarakat Indonesia, terutama dalam hal ini para tokoh agama yang bersatu, maka Presiden SBY harus bersuara.

Proses yang terjadi di kasus KPK dan Polri ini menunjukkan beberapa hal. Pertama, protes keras dan dukungan yang nyata dari berbagai elemen masyarakat seperti tokoh agama, akademisi, praktisi hukum, dan mahasiswa ternyata masih mampu membuat telinga Presiden merah dan mendorongnya untuk bicara. Hal ini mengingatkan kita akan waktu ketika para tokoh agama sepakat menyebut Presiden sebagai pembohong di awal Januari 2011. Protes keras ini membuat Presiden bereaksi dan mengundang para tokoh agama untuk bertukar pikiran. Suara keras yang ditunjukkan melalui protes intelektual dan pernyataan sikap semua lapisan masyarakat ternyata mampu memecah ke-diam-an Presiden.

Kedua, suara Presiden ternyata masih didengar oleh anggotanya, baik Partai Demokrat maupun  jajaran pemerintahan. Semua pihak segera menunjukkan reaksi terhadap pidato Presiden tersebut. Hal ini adalah sisi positif yang harusnya bisa mendorong Presiden lebih berani lagi dalam mengawal proses penegakan hukum di Indonesia. Carut-marutnya situasi perpolitikan nasional juga muncul karena ketidakpastian mau ke mana langkah orang nomor satu di Indonesia ini.

Ketiga, harapan kita adalah bahwa suara tegas Presiden ini akan terdengar lagi untuk kasus-kasus yang selama ini seperti terkatung statusnya seperti beberapa kasus korupsi lainnya yang melibatkan petinggi Partai Demokrat, kasus kekerasan di Papua, kekerasan antar kelompok berbasis agama, atau penutupan tempat ibadah yang memiliki izin yang sah seperti GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia. Kedua kasus terakhir belum memeroleh sikap tegas Presiden karena hal ini belum memengaruhi imejnya dan para tokoh agama belum memiliki kesatuan hati menyuarakan hal ini.

Ki Hajar Dewantara pernah berkata, “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”yang kira-kira berarti seorang pendidik berada di depan untuk memberi contoh, di tengah untuk memberi prakarsa dan di belakang untuk memberi dorongan adalah. Seorang pendidik atau seorang pemimpin yang baik diharapkan bisa menjalankan ketiga peran tersebut dengan baik. Di saat keadaan dalam sebuah negara menjadi tegang, maka kepemimpinan yang tampil ke depan dan memberi contoh menjadi sangat dinantikan. Idealnya, suara seorang pemimpin harus memberi arah yang jelas ketika terjadi kekacauan. Belajar dari situasi ini, kita sekarang tahu bagaimana membantu sang pemimpin bersuara tegas ketika bangsa sedang membutuhkan pengarahannya.

Binsar Jonathan Pakpahan adalah Dosen STT Jakarta dan Pendeta HKBP.

Viewed 23167 times by 4715 viewers

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *