“Wani Piro”

Khotbah Minggu Kebaktian Pemuda GKI Kayuputih

Daniel 1:1-21
Saudara-saudara terkasih dalam Kristus,

Ada sebuah video iklan yang menggambarkan situasi di mana seseorang sedang mencari pekerjaan. Orang ini kesal karena yang mewawancarainya meminta uang kepadanya untuk bisa diterima di situ. Lalu tanpa sengaja di luar gedung tersebut dia tersandung sebuah lampu aladin ajaib yang mengeluarkan seorang jin. Jin itu berkata bahwa dia bisa memberikan satu permintaan. Sang laki-laki yang tidak memperoleh pekerjaan ini meminta agar semua korupsi, kolusi, dan suap di dunia ini dihapuskan. Sang jin berkata, “Kalau itu sih bisa diatur, wani piro (berani bayar berapa)?”

Iklan tersebut menunjukkan sindiran kepada kehidupan rakyat Indonesia yang banyak terlibat dalam masalah korupsi, bahkan sang jin sendiri harus disuap dulu untuk menghilangkan suap itu sendiri. Indonesia memang terkenal juara dalam hal korupsi. Kalau di negara Barat korupsi itu dilakukan di bawah meja, dan katanya di India dan Cina korupsi dilakukan di atas meja, maka di Indonesia meja itu pun ikut dikorupsi sehingga tidak ada meja lagi.

Korupsi terjadi karena kita tidak memiliki integritas dan nilai yang kita pegang teguh, sehingga kita cenderung ikut kebiasaan buruk ini yang sudah menjadi makanan sehari-hari di Indonesia. Hari ini kita akan belajar mengenai kehidupan seorang pemuda Yahudi yang berada di tanah buangan, yaitu Daniel, yang tetap memiliki integritas dan nilai kehidupannya, meskipun dia dipaksa untuk berubah.

Saudara-saudara terkasih,

Pada waktu Daniel hidup, Kerajaan Yehuda kalah dan sedang berada di Tanah Babel (2 Raj. 20:12-19; atau Yer. 25:4-12). Babel atau Babilonia, artinya “kebingungan”.  Mereka juga berusaha mencuci otak orang yang masuk ketanah Babel. Mereka diajarkan bahasa mereka, lalu membaca buku-buku tentang Babel, dan akhirnya, mereka semua harus berganti nama. Bangsa Babel merasa bahwa dengan melakukan hal-hal itu, orang Yahudi yang masuk ke tanah mereka akan merasa bahwa mereka lebih Babel dari Yahudi. Ini adalah proses integrasi yang mereka ciptakan kepada orang Yahudi.

Yang terjadi di Belanda beberapa tahun terakhir ini adalah sebaliknya. Banyak pendatang yang bekerja ke Belanda, tidak berbaur dengan masyarakat sekitar. Apalagi para pendatang yang tinggal di Amsterdam. Amsterdam pernah menjadi kota paling global di dunia dengan 120 paspor yang berbeda yang menetap di sana. Orang yang datang tidak belajar tentang daerah yang ditinggalinya, mereka tetap membawa kebudayaan masing-masing. Akhirnya, terjadilah benturan-benturan antara orang Belanda dan pendatang yang menetap. Beberapa tahun terakhir ini, pemerintah Belanda mengharuskan orang-orang yang datang dan berkeinginan tinggal untuk mengikuti kursus integrasi. Di kursus ini orang belajar bahasa Belanda dasar, lalu belajar mengenai kebiasaan orang Belanda. Mereka berharap bahwa para pendatang akan mengenal dan menjadi lebih ‘Belanda’.

Dalam hal ini Bangsa Babel juga melakukan proses integrasi terhadap orang-orang Yahudi terpilih dan terbaik yang mereka bawa kembali ke Babel untuk bekerja pada mereka. Empat pemuda Yahudi yang akan menjadi tokoh utama dalam kitab Daniel ini sudah juga mengikuti kebiasaan yang ada di Babel, terutama dalam hal mengganti nama. Daniel (Allah adalah hakim) diganti menjadi Beltsazar (Semoga dewa Bel melindungi jiwanya); Hananya (Allah penuh kasih) menjadi Sadrakh (perintah dari dewa Aku); Misael (Siapa Allah itu) menjadi Mesakh (Siapa dewa Aku ini); dan Azarya (yang Allah tolong) menjadi Abednego (hamba dewa Nebo). Mereka berusaha mengganti identitas keempat orang ini dengan nama yang diberikan sesuai dengan penyembahan berhala di Babel.

Saya juga ingat ketika dulu Pak Harto memaksa orang-orang keturunan Chinese untuk mengganti nama mereka menjadi nama Indonesia. Alasannya sama dengan bangsa Babel dan Belanda, demi masalah integrasi. Demi penyesuaian, mereka diharapkan mengganti penampilan luar mereka, nama, pakaian, dan dipaksa mengenal budaya baru. Padahal ini bukanlah yang utama dalam hal kesuksesan integrasi. Meskipun penampilan luar berubah, isi di dalam hati seseorang belum tentu juga berubah.

Tidak berhenti sampai di situ, mereka juga diminta untuk makan makanan mereka. Seperti saudara mungkin ketahui, orang Yahudi memiliki banyak pantangan dalam makanan mereka. Mereka seperti saudara-saudara kita Muslim, bahkan mungkin lebih ketat lagi dalam hal makanan. Semua makanan mereka harus kosher, yang didoakan dan tidak mengandung unsur yang haram. Karena itu mungkin mereka menolak makanan yang disediakan raja karena mengandung daging-daging yang haram buat mereka. Mereka tidak mau memakannya karena mereka masih tunduk kepada Allah. Mereka memutuskan untuk memakan sayur, yang mereka tahu aman dan sesuai dengan kehendak Allah, daripada harus makan daging yang haram.

Namun setelah sepuluh hari mereka terlihat lebih baik dan gemuk dari yang memakan makanan raja. Sebenarnya hal ini juga bisa dijelaskan. Dulu seorang konsultan diet memberi tahu kepada saya bahwa semua binatang bertubuh besar di dunia ini adalah herbivora. Mereka menjadi besar karena memakan tumbuhan dalam jumlah yang banyak. Sementara binatang yang berdiet protein tinggi seperti macan, harimau, serigala justru bertubuh langsing dan kekar. Dia berkata, apabila seseorang memutuskan hanya memakan sayur saja dalam jumlah yang banyak, maka orang itu tetap bisa gemuk. Karena itu, saya bisa mengerti mengapa Daniel dan ketiga rekannya justru menjadi lebih gemuk dari yang lainnya.

Tetapi perubahan di luar, nama, lingkungan, dan sebagainya, ternyata tidak mengubah hati mereka. Mereka tetap teguh berpegang pada prinsip. Sampai pada satu titik, mereka tidak rela mengubah prinsip mereka, yaitu untuk terus menyembah dan setia kepada Allah. Mereka memiliki integritas, dan keteguhan berpegang kepada nilai-nilai yang diajarkan oleh Allah. Apa yang mereka lakukan sebenarnya sesuai dengan teori perkembangan moral tertinggi, yaitu mendengarkan prinsip, atau nilai-nilai yang benar yang ada pada diri mereka.

Ada beberapa prinsip dalam pengambilan keputusan etis. Yang pertama adalah prinsip utilitarian, artinya orang hanya mengambil sebuah keputusan kalau itu lebih menguntungkan dirinya/orang banyak. Lalu ada prinsip hak asasi, bahwa orang boleh melakukan apa saja selama tidak mengganggu hak-hak yang paling dasar dari manusia lain. Kemudian ada prinsip untuk kebaikan semua orang, di mana kepentingan semua orang yang terlibat menjadi penting. Lalu ada juga prinsip keadilan yang mempertanyakan apakah apa yang kita lakukan itu membawa keadilan bagi semua orang. Prinsip yang terakhir adalah teknik yang mengambil keputusan berdasarkan prinsip nilai-nilai yang dimilikinya, misalnya nilai-nilai agama.

Apa yang Daniel lakukan adalah mengambil keputusan berdasarkan prinsip yang dimilikinya, yaitu firman Allah. Semua hal yang tidak berlawanan dengan prinsip dasarnya tetap dilakukannya. Namun, pada satu titik, dia tidak lagi mau menuruti perintah atasannya karena hal itu sudah melanggar prinsipnya. Ini adalah teknik pengambilan keputusan yang tertinggi standarnya.

Saudara-saudara, bagaimana dengan kita sendiri?

Apakah saudara teguh berpegang pada hati nurani anda, atau anda sendiri juga sudah mengambil keputusan berdasarkan “amannya saja.”? Apakah ketika kita dihadapkan pada suatu pilihan, kita akan tetap jujur atau kita akan mengikut apa yang dilakukan orang lain?

Karena itu, kisah Daniel ini menjadi relevan bagi cerita di awal tadi. Budaya sogok menyogok dan suap menyuap merupakan suatu hal yang sangat lumrah dan biasa terjadi di Indonesia ini. Hal ini dimulai dengan hal-hal kecil misalnya kena tilang atau mengurus surat-surat penting. Sering kali kita menyelesaikan permasalahannya dengan jalan pintas yaitu menyuap atau dengan uang pelicin. Kenapa kita melakukanya? Karena prinsip kita adalah kita mengambil keputusan kalau dia menguntungkan bagi kita, meskipun hal itu melanggar peraturan. Karena itu korupsi menjadi budaya di tengah-tengah bangsa kita.

Mari kita bandingkan dengan Daniel. Daniel yang penuh hikmat dan takut akan Tuhan, berani mengambil resiko untuk tidak kompromi dengan peraturan raja yang dikeluarkan saat itu. Dia berpegang kepada prinsip yang lebih tinggi lagi, yaitu prinsip Allah. Meskipun baju dunianya sudah dikenakan kepadanya, bagian dalamnya, atau hatinya tidak menjadi sama dengan sekitarnya.

Di saat ini kita perlu lagi belajar mengenai kata integritas. Kita perlu belajar mengenai berpegang teguh kepada prinsip yang ktia miliki dalam hidup. Pelajaran memegang prinsip ini adalah pelajaran untuk jujur kepada diri sendiri. Ketika kita sendiri tidak bisa jujur terhadap diri sendiri, maka terhadap siapakah kita bisa jujur? Contoh orang yang tidak jujur kepada diri sendiri adalah orang yang bermain video game sendiri, namun selalu mematikan mesin gamenya ketika dia akan kalah. Dia melakukan kecurangan hanya untuk dirinya sendiri, meskipun tidak ada orang lain yang melihatnya. Ketika menang pun dia tahu bahwa dia tidak menang dengan murni. Karena itu, orang seperti ini menjadi tidak jujur terhadap dirinya sendiri. Bagaimana kita bisa mengharapkannya jujur kepada orang lain ketika dia sendiri tidak memiliki integritas terhadap dirinya sendiri?

Dalam kehidupan kita sekarang banyak sekali kompromi yang harus kita lakukan dalam hal-hal seperti ini. Sialnya lagi, hal ini juga dilakukan oleh orang lain, namun sebenarnya salah di mata Tuhan. Pertanyaannya kepada kita semua, apakah kita akan ikut arus, atau apakah kita akan tetap memegang teguh integritas kita, nilai nilai kita, yang berarti belajar jujur juga terhadap diri sendiri? Atau apakah kita justru akan mengikuti arus?

Kisah Daniel mengajarkan kita bahwa orang yang memiliki integritas akhirnya juga diberi reward oleh Allah. Keempat pemuda Yahudi ini kemudian menjadi yang terbaik di antara hamba-hamba lainnya. Mereka menjadi 10 kali lebih cakap dan pintar. Karena itu, saudara-saudara berpeganglah teguh kepada integritas anda, jangan mau dibeli, karena wani piro berarti semua hal ada harganya, tetapi integritas anda terhadap Allah adalah tak terbeli, karena Allah selalu setia kepada kita. Amin.

 

 

Viewed 40345 times by 6577 viewers

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *