Identitas Kristen Sebagai Pembawa Suara Kenabian

Identitas kita sebagai Nabi

(Bagian dari Khotbah Seri GKIN, Identitas kita sebagai Imam, Raja, dan Nabi)

 

Ulangan 18:14-22

Saudara-saudara terkasih dalam Kristus,

Dalam minggu kedua Januari, para tokoh agama di Indonesia mengeluarkan sebuah pernyataan bahwa Presiden Indonesia telah membohongi masyarakat. Mereka menyebutkan 9 kebohongan yang dilakukan oleh Presiden Indonesia. Salah satu kebohongan yang mereka angkat antara lain mengenai janji pemerintah untuk menjunjung tinggi pluralisme, toleransi, dan kebebasan beragama. Padahal kenyataannya, janji tersebut tidak terpenuhi. Mantan Kepala Polisi Indonesia Bambang Hendarso Danuri mengatakan, 2009 terjadi 40 kasus kekerasa, 2010 menjadi 49 kasus. Ini artinya janji pemerintah tidak terpenuhi. Sementara janji ini tidak terpenuhi, Presiden mengatakan bahwa tahun 2010 sudah lebih baik dari 2009. Para tokoh agama yang sudah geram mendengarkan hal yang tidak benar akhirnya memutuskan untuk bersuara. Ini adalah salah satu suara nabiah dari para pemimpin agama di Indonesia. Mereka berani menyuarakan yang benar.

Suara nabiah, yaitu suara yang menyatakan kehendak Allah, dan juga yang menyatakan apa yang benar dan salah, sudah cukup lama hilang dari tengah-tengah masyarakat kita. Belakangan ini, apalagi di Belanda, kebenaran menjadi sesuatu yang relatif. Filsafat post-modernisme berkata bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak. Dan ini membuat kita berpikir seakan-akan semua hal adalah relatif, sehingga kadang-kadang kita selalu bertanya, “kalau sesuatu itu benar, maka kebenaran menurut siapa?” Karena pemikiran yang seperti ini, orang menjadi takut menyatakan sesuatu itu salah.

Sebagai orang Kristen, kita sebenarnya terpangil untuk menyatakan kebenaran Allah. Identitas Kristen memberi juga tuntutan kepada kita untuk berusaha mencontoh Kristus. Kita berusaha juga menyatakan kebenaran kalau sesuatu itu benar, dan salah kalau sesuatu itu salah. Kalau begitu bagaimana kita bisa menyatakan sesuatu itu benar dan salah berdasarkan kehendak Allah? Khotbah hari ini merupakan sebuah bagian dari khotbah seri “Identitas kita sebagai Imam, Raja, dan Nabi”. Khotbah ini akan diberikan sebagai bagian dari pengajaran yang diberikan untuk pertumbuhan iman kita bersama. Pdt. Linandi dan Pdt. Tjahjadi akan melanjutkan seri khotbah ini. Kenapa tema khotbah ini identitas? Karena sepertinya GKIN masih sering bergumul pada tahap identitas. Apakah identitas kita sebagai umat GKIN? Apakah GKIN kumpulan gezelegheid yang harus ditinggalkan kalau tidak nyaman lagi? Apakah GKIN kumpulan senang-senang saja? Apa bedanya identitas saya sebagai Kristen dan identitas saya yang lain? Apakah identitas saya di dalam gereja? Apa yang membuat saya bisa berkata bahwa saya adalah orang Kristen, dan bagaimana saya bisa bertindak berdasarkan identitas itu?

Untuk bisa menjawab apa yang menjelaskan definisi kita sebagai orang Kristen, maka kita juga harus melihat identitas Kristus. Ada tiga identitas Kristus yang juga akhirnya menjadi identitas kita sebagai pengikut Kristus. Identitas ini adalah Kristus sebagai Imam Besar (Ibrani 9:11 – di mana Kristus digambarkan sebagai Imam Besar); Raja (Matius 21:5 di mana Kristus disambut sebagai Raja ketika memasuki Yerusalem), dan Nabi (Kis. 3:22 di mana Paulus menunjuk Kristus sebagai nabi terbesar yang pernah dinubuatkan Musa). Ketiga identitas ini melekat di dalam Kristus. Ketiga identitas ini juga melekat dalam kita sebagai pengikut Kristus karena kita diminta untuk “menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” (Filipi 2:5). Dengan meneladani Kristus, kita menjadi seperti Kristus menjalani fungsi nabi, imam, raja. Dengan menghadirkan tanda kerajaan Allah dalam diri kita, kita bisa menghadirkan syalom di bumi ini.

Pada kesempatan ini kita akan melihat apa yang dimaksud dengan pernyataan Kristus sebagai Nabi, dan apa implikasinya terhadap identitas kita sebagai Nabi.

Apa tugas nabi? Di masa itu, orang Israel tinggal di tengah-tengah bangsa yang percaya kepada peramal dan juru tenung (orang yang bisa melakukan sihir). Ada masa-masa di mana Israel akan selalu mencari bimbingan dan mereka selalu jatuh dalam cobaan. Mereka sering melawan Allah dan lebih percaya kepada tukang tenung atau peramal. Untuk menjaga kesetiaan Israel, Allah mengirimkan nabi untuk membimbing dan menyuarakan firman Allah.

Sebenarnya situasi Israel jaman dahulu tidak terlalu jauh dengan situasi kita masa kini. Sekarang kita memiliki peramal yang lain, yaitu uang, google, teknologi canggih, atau weer.nl.  Banyak orang lebih percaya akan pengetahuan mereka sendiri, atau teknologi, daripada suara kebenaran.

Musa kemudian menyampaikan kriteria nabi untuk bisa membedakannya dari peramal ataupun tukang tenung. Yang pertama adalah seorang nabi berasal dari antara kita, artinya seorang nabi biasanya berasal dari lingkungan kita. Lalu dia akan mengatakan apa yang Allah katakan kepadanya. Ini artinya apa yang dia ucapkan adalah perkataan Allah dan bukan perkatannya sendiri (Ulangan 18:19). Apabila seorang nabi berani mengucapkan perkataan lain maka nabi itu harus mati  (Ul. 18:20). Lalu kita juga bisa mencek seorang nabi palsu atau tidak, melalui kebenaran ucapannya.  Apabila ucapannya tidak terjadi maka dia tidaklah benar seorang nabi (ayat. 22).

Intinya, seorang nabi adalah orang yang menyampaikan kehendak Allah. Kehendak Allah bisa disampaikan dalam dua hal utama.

Yang pertama adalah memberi komentar mengenai situasi yang terjadi pada masa kini, seperti contoh Nabi Natan yang memberikan peringatan keras kepada Raja Daud ketika Daud mengambil Batsyeba (isteri Uria) sebagai isterinya. Nabi ini menyatakan suara Allah kepada penguasa, dengan resiko nyawanya. Nabi Natan berani menyatakan kesalahan Daud meskipun dia tahu bahwa seorang penguasa bisa sewaktu-waktu menghabisi hidupnya.

Yang kedua adalah nabi yang memberitakan tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Berita kelahiran Yesus sudah lama dinubuatkan oleh para Nabi seperti Yesaya, Yeremia, Mikha, dan masih ada beberapa yang lain. Musa juga diduga sudah memperoleh penglihatan mengenai kedatangan Kristus sebagai nabi yang terutama ketika dia mengatakan “Seorang nabi dari tengah-tengahmu, dari antara saudara-saudaramu, sama seperti aku, akan dibangkitkan bagimu oleh TUHAN, Allahmu; dialah yang harus kamu dengarkan (ayat. 15).”

Kita sebagai orang Kristen juga diberi karunia untuk bersuara, mengeluarkan suara yang sesuai dengan kehendak Allah. Sebagai orang Kristen, kita bahkan diminta untuk menjadi penyampai suara Allah. Kita diminta untuk berperan sebagai nabi. Sudahkah anda berperan sebagai pembawa suara Allah sebagai salah satu identitas anda?

Satu hal yang mungkin bisa kita lakukan dalam kehidupan kita tiap hari adalah dengan menyatakan apa yang benar dan apa yang salah. Tapi menyatakan apa yang benar dan salah juga tidak mudah. Ada beberapa hal yang menghalangi kita untuk menyatakan apa yang benar.

Halangan pertama adalah keraguan kita untuk menyatakan bahwa sesuatu itu benar atau salah karena kita juga tidak tahu yang mana yang benar. Sebenarnya alasan pertama ini bukanlah halangan. Kalau hal ini terjadi, maka sebenarnya kita juga tidak merasakan suara kenabian. Panggilan untuk menyuarakan kehendak Allah terjadi ketika kita tahu bahwa kita harus mengatakan sesuatu. Hal ini akan terasa begitu dalam di hati kita, dan kita tidak akan merasa ragu lagi. Karena itu, suara menyatakan kehendak Allah selalu datang dengan kepastian bahwa yang akan kita sampaikan itu adalah yang benar.

Halangan kedua adalah: keengganan untuk ikut campur dalam masalah orang. Kita hanya mau mengurus urusan kita sendiri. Selama dia tidak melukai saya, maka saya tidak akan berkomentar apa-apa. Sebenarnya mengurus urusan sendiri juga tidak salah. Ini yang sering terjadi bagi orang-orang yang memiliki sifat individualistis. Di satu sisi hal ini positif. Ambil contoh di daerah yang masih tradisional di Indonesia, semua orang ikut campur dalam urusan orang lain yang berada di komunitasnya. Semua kejadian melibatkan orang-orang yang ada di sekitar. Sementara di Belanda, kita mau tidak mencampuri urusan orang lain kalau tidak mengganggu diri kita sendiri. Berdasarkan sebuah laporan Badan Psikiater Belanda, “tiap tahun ada 300-an pasien yang meminta psikiaternya untuk bunuh diri.” Lihat sekeliling kita, banyak orang yang kehilangan semangat hidup justru karena tidak ada lagi yang perduli kepadanya. Saya juga baru tahu bahwa ada Yayasan yang menawarkan nasihat bagaimana orang bisa mengakhiri hidupnya sendiri di Belanda. Mereka tidak menawarkan bantuan kepada mereka yang bunuh diri, karena menurut mereka “membantu psikologi mereka bukan tugas kami.” Bukan urusan kami. Bukankah ini juga saatnya untuk menyampaikan suara kenabian dan mulai ambil perduli terhadap mereka yang tidak diperhatikan?

Halangan ketiga: kita takut akan akan konsekuensi dari menyampaikan kebenaran.  Menyampaikan kebenaran juga memiliki berbagai resiko. Nabi Elia harus bersembunyi karena menyampaikan kritiknya kepada Raja Ahab karena membangun kuil untuk dewa Baal. Seseorang bisa saja kehilangan pekerjaan ketika kita memperingatkan boss yang korupsi. Seseorang bisa saja kehilangan sahabat ketika memperingatkan sesuatu yang salah. Seseorang bisa menjadi tidak populer ketika menyuarakan kebenaran. Atau, seseorang bisa kehilangan nyawanya ketika dia menyatakan apa yang benar. Langkah yang diambil para tokoh agama di Indonesia menunjukkan bahwa mereka menyatakan kebenaran dengan konsekuensi yang berat. Tapi kita bertugas menyampaikan yang tidak benar kalau itu tidak benar.

Dengan identitas kita sebagai nabi, sebagai penyampai suara Allah, orang Kristen dipanggil untuk menyampaikan kebenaran. Kita memiliki tugas untuk bersuara apabila ada ketidakadilan, apabila ada ketidakbenaran, dan apabila ada kejahatan bagi Allah. Menjadi pembawa suara nabi tidak selamanya menyenangkan, dan karena itu kita kadang-kadang harus keluar dari zona nyaman kita. Hal ini menantang kita untuk melakukan sesuatu yang di luar gezelegheid. Suarakanlah kebenaran ketika hal itu benar.

Dalam skala kecil, apabila kita melihat sesuatu yang tidak benar, hendaklah kita memperingatkannya. Hal ini juga berlaku kepada saudara seiman, bahkan juga untuk diri sendiri. Kita juga harus terbuka untuk peringatan dari yang lain. Paulus mengatakan dalam 1 Tesalonika 5:11: bahwa hendaklah kita saling menasehati seorang dengan yang lain, dalam kasih.

Hari ini kita belajar bahwa sebagai orang Kristen, kita juga diminta bertindak meniru Kristus, yang juga bertindak sebagai Nabi dalam menyuarakan kehendak Allah. Di Belanda kita juga harus bersuara ketika kita melihat sebuah hal yang tidak benar menurut nurani kita. Di gereja sendiri, kita juga harus bersuara ketika kita melihat sebuah hal yang tidak benar. Kita harus menjadi pembawa suara Allah. Hendaknya kita dimampukan untuk menghidupi panggilan kita sebagai nabi, sebagai pembawa suara nabiah di dalam kehidupan kita masing-masing. Amin.

 

Onze identiteit als profeet

(GKIN deelpreek over onze identiteit als priester, koning en profeet)

Deuteronomium 18: 14 – 22

Dierbaarste gemeente in Christus,

In de tweede week van januari, geven de religie leiders in Indonesia een verklaring uit, dat de Indonesische president de samenleving heeft belogen. Ze noemen 9 leugens. Een van de leugens is de belofte van de overheid om pluralisme, tolenrantie en vrijheid van godsdienst te handhaven. In de praktijk is er niets daarvan terug te zien. Ex hoofd van de politie van Indonesia Bambang Hendarso Danuri zei, in 2009 waren er 40 geweldadige gevallen, en in 2010 49 gevallen. De overheid is haar belofte niet nagekomen. Ondertussen zei de President, dat 2010 beter is dan 2009. De religie leiders waren boos en besloot hun stem te verheffen. Dit is een profetische stem van de religie leiders in Indonesia. Zij durven de stem van de waarheid uit te brengen.

Een profetische stem, profeten verwoorden Gods wil, en ook wat juist of fout is, verdwijnt al lang uit onze samenleving. De laatste tijd, vooral in Nederland, is de waarheid iets relatiefs. Post-moderne filosofie zegt dat er geen absolute waarheid bestaat. Dit maakt ons denken dat alles relatief is, dus vragen wij ons soms af, ‘iets wat waar is, maar volgens wie?’ Door zo’n denkwijze, is men bang om iets fouts te zeggen.

Als een christen, ben je geroepen om voor de waarheid Gods te pleiten. Christelijke identiteit verwacht van ons ook als Christus te zijn. Wij proberen ook aan te tonen, dat waar waar is en fout fout is. Maar hoe kunnen wij nou volgens Gods wil besluiten wat goed en fout is? Deze overdenking is een gedeelte van de prekenserie over onze identiteit als priester, koning en profeet. Deze overdenking is een gedeelte van de leer voor onze geloofsgroei tezamen met ds Linandi en ds Tjahjadi. Waarom gaat onze thema over identiteit? Omdat de GKIN lijkt te blijven steken in haar identiteit. Wat is dan het identiteit van de GKIN? Verlies de GKIN haar identiteit als zij haar gezelligheid verlaat? Als het leuk blijft, is dat onze identiteit? Wat is het identiteitsverschil tussen mij als christen en iemand anders? Wat is mijn identiteit in de kerk? Wat maakt dat ik kan zeggen, ik ben een christen, en hoe kan ik mij dienovereenkomstig gedragen?

Om te definieren wie wij als christen zijn, moeten wij eerst kijken naar het identiteit van Christus.  Er zijn drie identiteiten van Christus, wat ook onze identiteit als Zijn volgeling bepaalt. Christus als Hogepriester (Hebreen 9: 11), Christus als Koning (Mattheus 21: 5, Jezus’ binnenkomst in Jeruzalem) en Christus als Profeet (Handelingen 3: 22, volgens de voorspelling van Mozes over de grootste profeet). Deze drie identiteiten horen bij Christus. Deze drie identiteiten zijn ook de onze, (Filippenzen 2:5) ‘U moet die gezindheid hebben die ook Christus Jezus had.’ Door Christus na te volgen, worden wij net als Christus, profeet, priester en koning. Is het Koninkrijk Gods in ons aanwezig, dan laten wij ook syaloom in deze wereld heersen.

Vanmiddag overdenken wij de Christus als Profeet en haar implicatie over onze identiteit als profeet.

Wat is de taak van een profeet? Toendertijd leven de Israelieten temidden van volkeren die in waarzeggers, zieners en tovenaars geloven. In zware tijden zoekt Israel wel ‘ns een orakel en valt zodoende in verzoeking. Dan keren zij zich tegen God, omdat zij meer in tovenaars en waarzeggers geloven. Om Israel’s trouw te handhaven, stuurt God een profeet om te leiden en Gods stem te zijn.

Eigenlijk is Israel’s situatie toen, niet veel anders dan de onze nu. Nu hebben wij andere waarzeggers, geld, Google, knappe technologie of weer.nl.

Veel mensen geloven in hun eigen kunnen, of technologie, in plaats van de waarheid.

Mozes heeft eens het criterium voor een profeet vastgesteld, om het verschil ten opzichte van een waarzegger of een tovenaar vast te leggen. Een profeet komt uit ons midden. Een profeet spreekt Gods woord en niet zijn eigen (Deuteronomium 18: 19) Wie wat anders zegt gaat dood (Deut 18: 20). Wij kunnen ook checken of het een valse profeet is, via zijn woorden. Als het niet uitkomt, dan is hij of zij een valse profeet (vers 22)

De kern is, dat een profeet iemand is die Gods wil doorgeeft. Gods wil kan op twee belangrijke manieren worden verkondigd.

Ten eerste, kommentaar geven over de huidige situatie, net als de profeet Nathan die koning David waarschuwde over Bathseba. De profeet praatte in naam van God als de Almachtige, ondanks het doodsgevaar. De profeet verklaarde de fout van koning David, die hem te allen tijde de doodsvonnis kan geven.

Ten tweede, een profeet vertelt over wat er in de toekomst zal gebeuren. Het geboortebericht van Jezus was lang tevoren in de profetie van profeten zoals Jesaja, Jeremia, Micha en nog anderen. Ook Mozes heeft een visioen over de komst van Christus, als belangrijkste profeet, Hij zal in uw midden profeten laten opstaan, profeten zoals ik. Naar hen moet u luisteren. (vers 15)

Wij als christenen krijgen ook de gave van spreken, volgens de wil van God. Het wordt zelfs aan ons als christenen gevraagd om Gods stem door te geven. Wij mogen als profeten fungeren. Hebt u dat wel ‘ns gedaan? In een van uw identiteiten als voorspreker van God?

Wat wij waarschijnlijk in ons leven kunnen doen is iedere dag eerlijk te praten over goed en kwaad. Maar ook dat is niet gemakkelijk. Wat ons daarin kunnen hinderen, zijn een paar dingen.

Eerste hindernis is ons twijfel of iets goed is of kwaad, want ook dat weten wij niet zeker. Eigenlijk is dit geen hindernis. Want dit heeft dan met profetie niets te maken. De roeping om Gods wil te vertellen, gebeurt ten tijde dat wij Gods wil moeten door vertellen. En ten tijde dat wij dat in ons hart voelen, is die twijfel al lang weg. Daarom komt de stem om Gods wil door te vertellen ook tegelijkertijd met de zekerheid, dat wat wij gaan verkondigen de waarheid is.

Tweede hindernis is een afkeer om zich met andermans zaken te bemoeien. Laat ons maar met ons eigen zaken bezig zijn. Zolang hij of zij ons niet kwetsen, geef ik ook geen kommentaar. Eigenlijk is eigen zaken regelen voor individualisten niet fout. Het is aan de ene kant positief. Vergelijkt u maar met het raditioneel gedoe in Indonesia, waar iedereen zich mee bemoeit met iedereen binnen de eigen samenleving. En alle gebeurtenissen neemt iedereen ook mee. Terwijl wij in Nederland gewend zijn om je eigen boontjes te doppen. Een nederlandse psychiater institutie zegt, dat er ieder jaar wel 300 patienten hun psychiater om zelfmoord vragen. Kijk om u heen, zo veel mensen die hun levenslust verliezen, omdat niemand zich om hen bekommert. Ik ben ook pas maar te weten gekomen, dat er een stichting bestaat om mensen met raad en daad in zelfmoorden bijstaan. Omdat psychologische hulp niet hun taak is. Niet mijn zaak. Is dit niet de gelegenheid voor een profetische stem en om belangstelling te tonen in hen die verwaarloosd worden?

Derde hindernis, wij zijn bang voor de konsequenties van berichtgeving over de waarheid. Waarheid verkondigen brengt risiko’s met zich mee. De profeet Elia moest zich verbergen door zijn kritiek tegen koning Ahab bij de bouw van een Baal tempel. Iedereen kan zijn job verliezen door kritiek aan de baas over koruptie. Iedereen kan zijn beste vriend verliezen door over fouten te praten. Of je eigen leven verliezen, door de waarheid te zeggen. De stappen die door de religie leiders in Indonesia zijn genomen, duidt op waarheid vertellen met zware konsequenties. Maar onze taak is verkondigen als fout wat fout is.

Onze identiteit als profeet, de doorgever van Gods stem, maakt dat een christen de waarheid hoort te spreken. Het is onze taak om te spreken, bij onrecht, bij onwaarheid, bij misdaad, alles voor God. Het is niet altijd leuk, en daarom moeten wij uit ons veilig stulpje komen. Een uitdaging iets te doen buiten de gewone gezelligheid. Laat de stem van waarheid horen als het waar is.

Binnen kort bestek, bij het zien van onwaarheid, laat een waarschuwing horen. Ook ten opzichte van een geloofsmakker, of onszelf. Wij staan ook open voor zulks. Paulus zegt in 1 Tessalonika 5: 11 Dus troost elkaar en wees elkaar tot voorbeeld, zoals u trouwens al doet.

Vanmiddag leren wij als christenen, om te handelen als Christus, die als profeet fungeert de wil van God een stem te geven. Ook in Nederland horen wij ook onze stem te verheffen bij onwaarheden. Ook in de kerk, bij het zien van ongeregeldheden. Wij brengen immers God stem. Moge wij de gave krijgen om onze taak als profeet met profetische stem in ons leven te volbrengen. Amen

Ds Binsar Jonathan Pakpahan

 

Viewed 18630 times by 6813 viewers

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *